Mengapa Ada Ujian?
Bismillahirrahmanirrahim
Sekian lama menghilang, ingin rasanya sesekali kemari.
Bukan karena tidak ingin membagi banyak kisah disini, tetapi lebih karena tidak punya waktu untuk kembali bercerita.
Baiklah, here we go!
Bulan Februari kemana aja aku kok ga muncul sama sekali di blog?
Baik begini ceritanya...
Januari lalu, tanggal 22, aku melakukan kuret untuk mengetahui penyebab gangguan haid yang aku alami.
Lanjut dengan diklat ke Jakarta yang kisahnya aku tulisakan di postingan sebelumnya.
Saat menulis postingan itu, aku dalam antrian menunggu dokter kandungan di Bintaro, setelah dua hari sebelumnya salah seorang dokter mengatakan bahwa 'aku tidak serius dalam menjalani pengobatan' yang mana hal itu mencabik-cabik perasaanku.
Kemudian, masuk bulan Februari, aku dihadapkan pada drama pindahan kos karena mess akan direnovasi.
Pada bulan Februari ini, aku bolak balik Denpasar-Surabaya tiap weekend untuk melakukan satu dan lain hal, salah satunya ketika suamiku tiba-tiba kecelakaan yang menyebabkan dia belum bisa berjalan normal.
Baiklah, singkat cerita, bulan Februari seperti itu adanya.
Sabtu lalu, tepat di hari terakhir bulan Februari, ketika masuk shalat waktu shalat ashar, ada suara orang mengetok pintu kosku.
"Siapa ya?" pikirku.
Tak pikir panjang, aku pun membuka pintu,
dan ternyata itu adalah...
suamiku.
Kaget? Banget!
Beberapa menit sebelumnya kami telponan dan aku mengira bahwa dia sedang di kantor.
Dia datang untuk mendampingi aku yang akan berobat ke dokter kandungan lain, setelah dokter Naivah merekomendasikan dokter lain yang lebih berpengalaman.
Setelah menikah, aku memang takut sekali ke dokter kandungan,
bukan karena apa atau bagaimana...
aku takut dilakukan USG Transvaginal, yang mana bagiku metode itu sakit untuk dirasakan.
Kembali ke cerita, dokter yang akan aku datangi ini adalah dokter ahli fertilitas. Sayangnya beliau tidak buka di akhir pekan, jadilah kami harus menunggu hari Senin untuk ke dokter.
Sambil menunggu hari Senin, kami mengabiskan waktu untuk bertukar pikiran,
berbicara dari hati ke hati,
berusaha memahami mimpi dan keinginan satu sama lain,
dan berusaha mewujudkan mimpi itu.
Memang benar, tidak ada yang menjamin bahwa setelah menikah kehidupan akan semakin mudah.
Tetapi, di balik pahit asam rumah tangga baru, banyak hal menyenangkan yang tidak dirasakan ketika masih sendiri.
Adanya seseorang yang mau membersamai adalah hal yang sangat harus disyukuri.
Aku paham mengapa suami/istri disebut juga 'teman hidup'. Karena bagaimanapun, keluarga adalah kesepakatan berdua, suami/istri benar-benar teman yang mengkompromikan segala hal berdua.
Kembali ke cerita, karena dokter tersebut buka pukul 18.00 WITA, kami berangkat dari kantorku setelah pulang kantor,
"Dapet antrian awal nih kayaknya," pikirku.
Kami sampai disana pukul 17.30 WITA, masih sepi.
Dan ketika sampai, tiba-tiba...
suamiku...
muntah.
Dia memang telah tidak enak badan sejak hari Senin pagi.
Siang hari pun dia tidak makan karena perutnya tidak bisa menerima makanan.
"Baik, setidaknya bisa muntah dulu, buat mengurangi mualnya," pikirku.
Setelah kejadian muntah itu selesai, kami menuju tempat pendaftaran antrian.
Dan tahukah kamu nomor berapa yang kami dapatkan?
47!!!
Fantastis!
"Jam berapa ya mbak kira-kira urutan 47?" tanyaku pada petugas yang berjaga.
"Sekitar jam setengah 12 malam mbak," jawab petugas tersebut.
Baiklah, saat itu yang aku pikirkan salah satunya adalah terkait kondisi suamiku,
dia sedang sakit,
kasihan kalau naik motor malam-malam,
terlebih keesokan harinya dia pagi-pagi harus mengejar pesawat ke Surabaya.
"Kita lihat sikon aja ya Mas, kalau ngga sanggup ngga usah," ucapku.
Kami pun pulang menuju kos.
Masih dalam usaha agar suamiku sehat kembali, aku meminta dia untuk pergi ke dokter umum.
Tetapi dia tidak mau.
Malam hari mulai menghampiri, setelah shalat isya' suamiku datang membawa makan yang akan kami lahap berdua.
Maklum, setelah pindah kos, tidak lagi punya kulkas, maka tidak ada makanan yang tersedia.
Adegan suamiku pulang membawa makanan ini seperti cerita di fabel ketika seorang ayah datang membawa makanan lalu anak-anaknya berkata...
"Hore ayah pulang!"
maklum, saat itu aku sedang kelaparan.
Sejujurnya, kalau mau dihitung-hitung, rezeki Allah itu luas sekali maknanya.
Mungkin dulu ketika masih sendiri, masih jadi anak rumah, makan enak di rumah adalah hal yang wajar, karena di supply oleh orang tua.
Tetapi kini, ketika uang untuk makan keluar dari kantong sendiri dan sangat berhati-hati mengeluarkannya,
Allah ganti rezeki itu dengan makan berdua.
Masyaa Allah
Tabarakallah.
Singkat cerita setelah makan kami pun tidur sambil menunggu pukul setengah 12 malam.
Kami bangun pukul 11 malam, jarak kos ke tempat dokter kandungan sekitar 10 menit.
Dalam keadaan menahan kantuk, kami menuju dokter,
karena jika besok sore, suamiku sudah tidak di Bali dan dia tidak bisa mendampingiku.
Sesampainya disana, masih ada sekitar 7 orang antrian di depan kami,
kami pun menunggu antrian sambil tidur di kursi tunggu.
Waktu telah menunjukkan pukul 00.30 WITA dan kami dipersilahkan masuk ke ruang praktek.
Bismillah...
Biidznillah...
Semua ini hanya ikhtiar,
perkara kesembuhan, itu datangnya dari Allah.
Dan selalu...
Allah memberi banyak kemudahan di tengah kesempitan.
Waktu pemeriksaan sekitar 13 menit dan aku diminta kembali kontrol hari Rabu depan.
---
Keesokan harinya, pagi-pagi setelah subuh, kami menuju bandara Ngurah Rai.
Dengan seragam siap ke kantor, aku dibonceng dalam keadaan matahari belum muncul.
Sesampainya disana, aku ikut turun karena tidak tega membiarkan dia jalan sendiri menuju pintu masuk,
bandara ini luas dan dia asing dengan kondisi bandara.
Sesampainya di depan pintu masuk yang mana aku tidak boleh masuk...
selalu berat ketika akan berpisah lagi,
tetapi Insyaa Allah,
dengan izin Allah,
akan segera bertemu kembali.
---
Di tulis di Denpasar, Bali
9 Rajab 1441H.
Sekian lama menghilang, ingin rasanya sesekali kemari.
Bukan karena tidak ingin membagi banyak kisah disini, tetapi lebih karena tidak punya waktu untuk kembali bercerita.
Baiklah, here we go!
Bulan Februari kemana aja aku kok ga muncul sama sekali di blog?
Baik begini ceritanya...
Januari lalu, tanggal 22, aku melakukan kuret untuk mengetahui penyebab gangguan haid yang aku alami.
Lanjut dengan diklat ke Jakarta yang kisahnya aku tulisakan di postingan sebelumnya.
Saat menulis postingan itu, aku dalam antrian menunggu dokter kandungan di Bintaro, setelah dua hari sebelumnya salah seorang dokter mengatakan bahwa 'aku tidak serius dalam menjalani pengobatan' yang mana hal itu mencabik-cabik perasaanku.
Kemudian, masuk bulan Februari, aku dihadapkan pada drama pindahan kos karena mess akan direnovasi.
Pada bulan Februari ini, aku bolak balik Denpasar-Surabaya tiap weekend untuk melakukan satu dan lain hal, salah satunya ketika suamiku tiba-tiba kecelakaan yang menyebabkan dia belum bisa berjalan normal.
Baiklah, singkat cerita, bulan Februari seperti itu adanya.
Sabtu lalu, tepat di hari terakhir bulan Februari, ketika masuk shalat waktu shalat ashar, ada suara orang mengetok pintu kosku.
"Siapa ya?" pikirku.
Tak pikir panjang, aku pun membuka pintu,
dan ternyata itu adalah...
suamiku.
Kaget? Banget!
Beberapa menit sebelumnya kami telponan dan aku mengira bahwa dia sedang di kantor.
Dia datang untuk mendampingi aku yang akan berobat ke dokter kandungan lain, setelah dokter Naivah merekomendasikan dokter lain yang lebih berpengalaman.
Setelah menikah, aku memang takut sekali ke dokter kandungan,
bukan karena apa atau bagaimana...
aku takut dilakukan USG Transvaginal, yang mana bagiku metode itu sakit untuk dirasakan.
Kembali ke cerita, dokter yang akan aku datangi ini adalah dokter ahli fertilitas. Sayangnya beliau tidak buka di akhir pekan, jadilah kami harus menunggu hari Senin untuk ke dokter.
Sambil menunggu hari Senin, kami mengabiskan waktu untuk bertukar pikiran,
berbicara dari hati ke hati,
berusaha memahami mimpi dan keinginan satu sama lain,
dan berusaha mewujudkan mimpi itu.
Memang benar, tidak ada yang menjamin bahwa setelah menikah kehidupan akan semakin mudah.
Tetapi, di balik pahit asam rumah tangga baru, banyak hal menyenangkan yang tidak dirasakan ketika masih sendiri.
Adanya seseorang yang mau membersamai adalah hal yang sangat harus disyukuri.
Aku paham mengapa suami/istri disebut juga 'teman hidup'. Karena bagaimanapun, keluarga adalah kesepakatan berdua, suami/istri benar-benar teman yang mengkompromikan segala hal berdua.
Pict from him |
Kembali ke cerita, karena dokter tersebut buka pukul 18.00 WITA, kami berangkat dari kantorku setelah pulang kantor,
"Dapet antrian awal nih kayaknya," pikirku.
Kami sampai disana pukul 17.30 WITA, masih sepi.
Dan ketika sampai, tiba-tiba...
suamiku...
muntah.
Dia memang telah tidak enak badan sejak hari Senin pagi.
Siang hari pun dia tidak makan karena perutnya tidak bisa menerima makanan.
"Baik, setidaknya bisa muntah dulu, buat mengurangi mualnya," pikirku.
Setelah kejadian muntah itu selesai, kami menuju tempat pendaftaran antrian.
Dan tahukah kamu nomor berapa yang kami dapatkan?
47!!!
Fantastis!
"Jam berapa ya mbak kira-kira urutan 47?" tanyaku pada petugas yang berjaga.
"Sekitar jam setengah 12 malam mbak," jawab petugas tersebut.
Baiklah, saat itu yang aku pikirkan salah satunya adalah terkait kondisi suamiku,
dia sedang sakit,
kasihan kalau naik motor malam-malam,
terlebih keesokan harinya dia pagi-pagi harus mengejar pesawat ke Surabaya.
"Kita lihat sikon aja ya Mas, kalau ngga sanggup ngga usah," ucapku.
Kami pun pulang menuju kos.
Masih dalam usaha agar suamiku sehat kembali, aku meminta dia untuk pergi ke dokter umum.
Tetapi dia tidak mau.
Malam hari mulai menghampiri, setelah shalat isya' suamiku datang membawa makan yang akan kami lahap berdua.
Maklum, setelah pindah kos, tidak lagi punya kulkas, maka tidak ada makanan yang tersedia.
Adegan suamiku pulang membawa makanan ini seperti cerita di fabel ketika seorang ayah datang membawa makanan lalu anak-anaknya berkata...
"Hore ayah pulang!"
maklum, saat itu aku sedang kelaparan.
Sejujurnya, kalau mau dihitung-hitung, rezeki Allah itu luas sekali maknanya.
Mungkin dulu ketika masih sendiri, masih jadi anak rumah, makan enak di rumah adalah hal yang wajar, karena di supply oleh orang tua.
Tetapi kini, ketika uang untuk makan keluar dari kantong sendiri dan sangat berhati-hati mengeluarkannya,
Allah ganti rezeki itu dengan makan berdua.
Masyaa Allah
Tabarakallah.
Singkat cerita setelah makan kami pun tidur sambil menunggu pukul setengah 12 malam.
Kami bangun pukul 11 malam, jarak kos ke tempat dokter kandungan sekitar 10 menit.
Dalam keadaan menahan kantuk, kami menuju dokter,
karena jika besok sore, suamiku sudah tidak di Bali dan dia tidak bisa mendampingiku.
Sesampainya disana, masih ada sekitar 7 orang antrian di depan kami,
kami pun menunggu antrian sambil tidur di kursi tunggu.
Waktu telah menunjukkan pukul 00.30 WITA dan kami dipersilahkan masuk ke ruang praktek.
Bismillah...
Biidznillah...
Semua ini hanya ikhtiar,
perkara kesembuhan, itu datangnya dari Allah.
Dan selalu...
Allah memberi banyak kemudahan di tengah kesempitan.
Waktu pemeriksaan sekitar 13 menit dan aku diminta kembali kontrol hari Rabu depan.
---
Keesokan harinya, pagi-pagi setelah subuh, kami menuju bandara Ngurah Rai.
Dengan seragam siap ke kantor, aku dibonceng dalam keadaan matahari belum muncul.
Sesampainya disana, aku ikut turun karena tidak tega membiarkan dia jalan sendiri menuju pintu masuk,
bandara ini luas dan dia asing dengan kondisi bandara.
Sesampainya di depan pintu masuk yang mana aku tidak boleh masuk...
selalu berat ketika akan berpisah lagi,
tetapi Insyaa Allah,
dengan izin Allah,
akan segera bertemu kembali.
---
Di tulis di Denpasar, Bali
9 Rajab 1441H.
This is the answer of the question in the title |
Comments
Post a Comment