Hidup di Dunia Penuh Ambisi
Bismillahirrahmanirrahim
Aku pernah membaca tulisan yang intinya jangan mengambil keputusan yang terlalu ekstrim dalam hidup. Sesederhana karena kita ini manusia yang dinamis dan tidak selamanya akan memegang teguh hal-hal yang kita anggap ideal.
Iya, tidak selamanya kita akan jadi idealis.
Aku baru menyadari betapa manusia memang banyak maunya setelah mengamati diriku sendiri. Ternyata benar, manusia tidak akan berhenti menginginkan sesuatu bahkan ketika ia telah memiliki gunung emas sampai tanah memenuhi mulutnya alias ia meninggal dunia.
Dulu ketika jomblo, rasanya impian terbesarku adalah menikah. Aku menyebut ingin diberi jodoh yang baik dalam doa-doaku. Kalau aku tidak salah ingat, aku berdoa seperti itu sejak tahun 2016. Iya, sejak usia 20 tahun.
Dan ketika impian itu terwujud, ternyata aku punya impian lain. Impian terbesarku berubah menjadi ingin resign. Aku sebut itu terus menerus dalam doa-doaku. Mengemis, memohon, bahkan sampai menangis kepada Allah minta dimudahkan resign. Long story short, Alhamdulillah impian itu terwujud di tahun 2021 dan ternyata aku berpindah ke impian lain (yang tidak bisa aku sebut di sini) yang Alhamdulillah terwujud di tahun 2022.
Apakah kemudian aku berhenti punya keinginan setelah itu? Tentu tidak. Cita-cita terbesarku berubah menjadi ingin berangkat haji dan ingin punya anak. Dua hal yang sulit sekali aku wujudkan karena tidak mungkin bisa berangkat haji sak dek sak nyet dan kala itu kesehatan hormonku masih acak adut.
Singkat cerita, aku diberi musibah oleh Allah yang membuat aku lupa dengan keinginan punya anak dan malah memperjuangkan hal lain yang Allah buka pintunya, yaitu kuliah ke Timur Tengah. Berangkat ke Jakarta bersama suami mengurus segala tetek bengek pemberkasan yang pada akhirnya segala kesempatan itu berbarengan dengan aku yang biidznillah hamil alami. Sungguh masa yang sulit karena aku harus merelakan beberapa kampus yang tadinya menjadi salah satu keinginan terkuatku.
Setelah punya anak, apakah aku berhenti punya keinginan? Tidak. Satu keinginan terbesarku belum terwujud. Yaitu berangkat haji.
Dan tentu saat ini, sebagaimana muslim lainnya, aku sedang memperjuangkannya walau masa antrinya masih lama.
Namun ternyata, seiring dengan interaksi dengan manusia lainnya, ada keinginan-keinginan terselubung yang menyelam ke dalam hati. Keinginan yang tadinya tidak terpikir lalu kemudian muncul karena manusia yang datang silih berganti.
Saat ini, aku menyadari bahwa manusia memang memperlakukan kita berdasar atas status sosial dan harta yang kita miliki. Aku jadi mengerti mengapa ada orang yang ngotot sekali ingin jadi RT padahal ia sudah kaya raya. Atau seorang pebisnis televisi yang ingin sekali jadi presiden padahal hartanya juga tidak kurang.
Ternyata manusia memang selalu ingin hal-hal yang belum dimilikinya. Rasa dipandang dan punya kedudukan sosial itulah yang ia cari. Dan memang kita semua ingin diterima.
Hanya saja sebagian kita mendefinisikan penerimaan orang lain itu jika kita disanjung dan diberi tempat tertentu. Kemudian kita menjadi sakit hati jika tidak diperlakukan sebagaimana yang kita inginkan. Kita menjadi iri dengan pihak-pihak yang mendapat kedudukan itu.
Jujur, sebenarnya apa yang kita cari?
Kita terbiasa dibesarkan dengan ambisi dan kompetisi. Namun, kita lupa bahwa agama memerintahkan kita untuk rendah hati. Bukan berarti jika rendah hati maka tidak ada pencapaian yang berarti, tetapi bagaimana kita bisa mengukur mana yang perlu kita kerjakan dan tidak yang ukurannya adalah diri sendiri.
Contoh, ada yang ngebet sekali ingin kuliah di luar negeri. Ketika ditanya untuk apa, dia tidak bisa menjawab. Hanya agar orang-orang tahu bahwa dia hebat dan karena dia tidak ingin kalah saing dengan teman-temannya yang sudah lebih dulu ke luar negeri.
Padahal ketika kita pikir kembali, apakah kuliah ke luar negeri adalah hal yang kita butuhkan? Apakah kebermanfaatan itu hanya bisa terjadi jika kita kuliah di luar negeri?
Memang tidak mudah bersyukur di hari-hari ini. Di masa ketika semua informasi dibuka, semua kesempatan digelar, dan kesuksesan orang lain bisa kita akses setiap hari. Kita yang terus-terusan terpapar informasi akan terus merasa kurang dengan hidup kita. Perlahan ketenangan hidup itu pergi seiring dengan begitu banyak angan dan keinginan yang memenuhi hati.
Tanpa sadar kita tidak benar-benar menjalani hari ini. Yang ada di benak kita selalu esok esok dan esok. Apa yang mau kita raih, apa yang mau kita kejar, apa yang mau kita atur. Seolah kita lupa bahwa kita bisa meninggal kapan saja.
We only live once. Dan hidup terlalu sebentar jika dihabiskan untuk berkompetisi. Hidup terlalu singkat untuk terus mencari kedudukan di hadapan makhluk.
Tidakkah kita sadar bahwa keberadaan pasangan dan anak saja adalah karunia yang luar biasa? Di zaman ketika banyak orang ketakutan menikah atau bahkan belum menemukan pasangan hidup, menjadi istri dan ibu adalah nikmat yang harus kita syukuri.
Berada di rumah, memaksimalkan potensi dengan belajar untuk bisa mendidik anak dengan baik, iya mungkin hal itu tidaklah keren dan tidak dipandang hebat di mata manusia. Namun, siapa sih yang mewajibkan kita terlihat menajubkan? Bukankah tidak ada yang mengejar-ngejar diri kita selain diri kita sendiri?
Kurangi informasi tentang manusia, niscaya hidupmu tenang. Kamu merasa tertinggal, kamu merasa hidupmu kurang, kamu merasa not good enough karena kamu terus-terusan melihat sesuatu yang tidak semestinya mengisi ruang hatimu.
Banyak melihat, banyak bergaul, banyak berbicara, dan banyak makan, bukankah keempat hal ini adalah sumber penyakit hati?
Berhentilah sebelum kamu terlalu jauh. Ketenangan hidup itu dekat. Dekat bagi mereka yang kembali kepada Rabb-Nya. Dekat bagi mereka yang memanfaatkan sisa usianya dengan sebaik-baiknya.
Takdirmu hari ini adalah yang terbaik. Jika Allah ingin melejitkanmu, Allah pasti bukakan caranya. Namun, jika hari ini itu tidak terjadi, takdir inilah yang terbaik bagimu di detik ini.
---
Selesai ditulis di waktu sunbathing
7 Muharram 1447H
Comments
Post a Comment