Bismillahirrahmanirrahim
Ada ga sih yang baper ngelihat anak SD karena terpikir, "Wah nanti kalau anakku udah usia sekolah, dia udah punya urusan sendiri dan waktunya akan banyak sama teman-temannya daripada sama aku."?
Kalau ada, berarti kita sama. Aku sedang dalam fase itu. Merasa perjalanan menjadi ibu selama hampir dua tahun ini cepat sekali. Dan merenungi bahwa selama ini mungkin banyak hal belum maksimal yang aku lakukan.
 |
Ga takut sedeket itu sama lidahnya Rusa. Ibunya aja takut. |
Jadi orang tua itu capek ya? Bohong sih kalau ga capek. Kalau ga capek kemungkinannya dua: (1) Parentingnya asal-asalan; (2) Anaknya sering dititipin orang lain.
Capek lho membersamai anak yang sedang berkembang fisiknya, emosinya, mentalnya, dll. Contoh nih, anak-anak itu kan butuh bergerak. Kalau yang aku baca, anak seusia Hafshah butuh gerak kurang lebih 180 menit/hari (dan tentu ini disesuaikan dengan kebutuhan tiap individu yang kondisi tubuhnya berbeda).
Kalau kita bodo amat sama hal ini, santai-santai di rumah aja lebih enak kayaknya daripada bawa anak ke lapangan atau ke tempat lain yang bisa memfasilitasi kebutuhan gerak mereka. Terlebih bagi ibu-ibu, keluar rumah itu kan bukan perkara yaudah mau keluar langsung aja bisa keluar. Kita kan keluar butuh pakai gamis dulu, kerudung panjang, kaos kaki, dll dsb. Belum lagi nyiapin bekal makan minum, bekal clodi juga kalau aku, bekal mainan seperti bola kecil. Nah, dari situ aja udah ribet kan?
Belum lagi dealing sama anak yang udah bisa bilang "Gamau" dan segala drama kabur-kaburan lainnya hahaha. Dealing sama anak biar mau ke kamar mandi dulu, pakai kaos kaki dulu, pakai kerudung dulu, dll dsb. Zuzah jujur aja nih, zuzah banget buat mentally stabil setiap saat kalau pas anak ga mau nurut.
 |
Tempat bermain gratis di Taman Bungkul |
 |
Suka banget dia main jungkat-jungkit. Dianya main tanpa lawan. Jadinya ibu latihan angkat beban. |
Tapi, kalau ini ga dilakukan, konsekuensinya berat. Dan aku ga mau menghadapi konsekuensi itu. Memenuhi kebutuhan gerak artinya kita juga membuat anak lapar, dengan demikian Insyaa Allah dia lebih mudah makannya. Pun demikian dengan banyak bergerak, anak akan capek, dengan demikian harapannya tidurnya lebih mudah.
See? Itu baru dari dua sisi. Belum lagi kalau kita bicara soal bergerak itu membuat anak terhindar dari aktivitas screen time yang belum mereka butuhkan. Lho kok bisa? Iya, karena banyak kan orang tua yang ketika ga mau anaknya aktif yang kemudian menurut mereka anaknya merepotkan dan mengganggu aktivitas scrolling atau males-malesan mereka, dikasihlah anaknya gadget. Dan di situlah pintu masuknya anak kecanduan gadget. Siapa lagi yang ngasih kalau bukan orang terdekatnya? Kenapa dikasih walau udah tahu gadget ga baik untuk anak? Ya karena ga mau ribet. Ga mau anaknya menurut haknya bergerak dan orang tua ingin anaknya diam sehingga mereka bisa santai-santai.
We listen we don't judge. Kadang orang tua emang capek banget dan ingin istirahat kan? Namun, betapa banyak orang tua yang asalnya tidak dalam kondisi harus istirahat dan lebih memilih santai-santai dan kemudian memberikan gadget ke anak instead of menemani anak memenuhi kebutuhan gerak mereka?
 |
Suka banget kalau ada tempat nanjak kayak gini, sekalian latihan otot kaki |
Makanya tadi di awal aku bilang, jadi orang tua itu capek emang. Seriusan. Kenapa capek? Karena sedang ada seorang individu yang sangat membutuhkan kita. Makanya mungkin ga sedikit orang tua yang merasa anaknya adalah beban, bukan amanah.
Dan menurutku, salah satu hal paling menantang ketika menjadi orang tua adalah mengalahkan keegoisan diri sendiri. Menyadari bahwa ada seorang anak yang dititipkan kepada kita, yang mana dia punya banyak kebutuhan -entah makan, minum, tidur, bergerak, dicintai, dibersamai, dll dsb- yang butuh untuk dipenuhi, dan itu kan sudah pasti akan menyita energi, pikiran, tenaga, waktu dan biaya kita.
Ketika kita tidak mau berkorban waktu misalnya, anaklah yang akan jadi korbannya. Bisa jadi akhirnya dia dikasih makan asal-asalan, dibolehkan main gadget sebelum waktunya, merasa diabaikan karena orang tuanya tidak hadir dalam pengasuhan, dan semisalnya.
Oleh karena itu, di antara doa yang sering aku ulang adalah aku minta kemudahan agar hadir utuh jiwa raga dalam pengasuhan. Aku meminta agar diberi kemudahan tidak merasa bahwa anak adalah beban, melainkan amanah. Yang mana akar dari itu semua sesungguhnya adalah kita perlu meminta untuk tidak egois dengan diri kita sendiri. Karena nyatanya hadir dalam pengsuhan itu tidak mudah. Iya kan?
Kita sebagai orang dewasa yang udah kenal gadget bertahun-tahun, rasanya asyik kan scrolling medsos atau chit chat di grup? Gimana kalau kita lagi asik sama gadget anak tiba-tiba pingin ini pingin itu? Dongkol ngga rasanya? Merasa terganggu ngga dengan kehadiran anak? Padahal yang aku amati, anak itu sangatlah ingin kita berinteraksi dengan mereka tanpa ada distraksi gadget. Beberapa anak akan sangat cemburu ketika ibunya pegang HP karena merasa kelekatan dengan orang tuanya terganggu.
 |
Liat singa di Kebun Binatang |
 |
Naik kereta api ke eyang buyut |
Iya, kelekatan. Bagi aku yang baru menuju dua tahun menjadi ibu dan kebetulan belajar Psikologi Islam di IOU, menurutku, di awal kehidupan anak, yang perlu kita penuhi itu cuma dua: (1) kebutuhan fisik (makan, minum, tidur, gerak, dll); (2) kelekatan yang baik.
Dan lagi-lagi, kalau keduanya ini terpenuhi, kita sendiri sebagai orang tualah yang dimudahkan. Dengan kebutuhan fisik yang terpenuhi, hal itu Insyaa Allah mencegah dari berbagai drama. Contoh kalau anak dikasih makan yang bener akan less tantrum, kalau anak geraknya cukup anak jadi mudah makan dan tidur, kalau anak tidurnya oke Insyaa Allah pertumbuhannya juga oke, dan segala macam aktivitas fisik lain seperti grounding dan sunbathing (jemur) akan mendukung kesehatan optimal yang mencegah terjadinya penyakit baik sekarang maupun di masa depan.
Anak ga sakit itu kan anugerah ya buibu? Kebayang kan anak kalau sakit rempongnya kita kayak gimana? Itu kalau dia sakitnya sekarang lho, kita belum bicara kalau misal gaya hidup anak ga sehat dan di kemudian hari sakitnya baru muncul, misal dia kena hormonal imbalance ketika sudah besar, apa ga makin-makin rempong tu kita sebagai orang tua?
 |
Kelas tahun lalu |
 |
Kenangan ibunya Hafshah waktu SMP. Ga sadar waktu itu pinter tapi pendarahan mulu karena tubuh tidak dipenuhi haknya. |
Dan kelekatan yang baik itu sangatlah penting agar anak mau mendengarkan kita. Anak yang merasa dicintai akan lebih mudah menuruti orang tuanya. Mungkin panennya tidak saat ini ketika logika mereka belum jalan, tetapi nanti ketika mereka mulai memahami bahwa selama ini orang tuanya hadir dan mencintai dia sehingga itu memudahkannya untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Perumpamannya kita aja nih, kalau suami kita baik, memenuhi kebutuhan kita dan penuh kasih sayang, kita pasti sungkan kan kalau ga mengiyakan perkataan suami? Suami udah sebaik itu masa kita membangkang?
Ya anak-anak dan tentunya manusia secara umum memang begitu. Lebih mudah mendengarkan pihak yang berbuat baik kepadanya. Dan dari apa yang aku pelajari, kelekatan adalah hal yang krusial bagi anak. Karena anak belum bisa mandiri, anak butuh bergantung ke sosok dewasa sehingga ia butuh kualitas kelekatan yang baik.
Pengabaian dalam hal ini mungkin tidak terlihat dampaknya sekarang. Mungkin jika kita mengabaikan anak, paling-paling di mata kita anak hanya menangis atau tantrum. Namun, coba lihat efek jangka panjangnya. Jangan salahkan anak jika di masa depan dia sulit menuruti perkataan kita.
"Tapi kan aku begini juga karena dulu aku diabaikan". Iyes, bicara soal trauma itu berat memang. Makanya hal-hal rumit kayak gini, kata ustadz kita butuh banget pertolongan Allah. Ini kan masalah jiwa yang tidak terlihat ya. Ini hal rumit yang penyelesainnya butuh sekali taufik dari Allah. Dan tentu Allah melihat kok bahwa ketika kecil kita diabaikan. Allah juga pasti tahu kita seperti ini karena juga efek dari pengabaian. Namun ya sudah, itu sudah jadi bagian dari takdir dan ujian kita. Tugas kita ya berusaha sembuh dengan meminta tolong kepada Allah dan melawan rasa itu. Aku bawakan kutipan dari artikel di laman muslimah.or.id ya!
Dalam Islam, seseorang diberi kebebasan untuk menentukan pilihan. Jika hubungannya dengan kepribadian, maka kita bisa memilih mana karakter yang ingin kita kembangkan dan mana yang perlu kita kendalikan. Pengalaman masa lalu atau warisan genetis bukan alasan untuk berakhlak buruk karena kita diberi kebebasan untuk memilih sikap terbaik atas setiap kondisi dan keadaan.
Perhatikan ayat berikut ini,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-10)
Ayat ini memberi harapan bahwa manusia bisa berubah dan beradaptasi ke arah yang lebih baik. Kita bukanlah korban dari hasil didikan orang tua karena kita diberi kesempatan untuk memilih, mana respon terbaik dari kondisi yang kita jalani. Kita tidak boleh berasalan didikan orang tualah yang menyebabkan diri kita saat ini berperilaku buruk. Karena walaupun memang efek buruk pengasuhan orang tua itu kita rasakan, tetapi kita diberi ruang untuk memilih akhlak terbaik dari efek kejadian di masa lalu tersebut.
Sumber: https://muslimah.or.id/25908-bolehkah-beralasan-berakhlak-buruk-karena-pengaruh-pengasuhan-orang-tua.htmlCopyright © 2025 muslimah.or.id
 |
Nembus layar ga rasa harunya? |
See? Kalau kita sadar ini aja, asalnya rasa capek menjadi orang tua itu akan lebih mudah kita lalui. Jadi orang tua itu memang capek, tapi worth it! Kalau ga capek sekarang, kedepan kita juga capek kok dengan beragam konsekuensi dari kemalasan dan keengganan kita dalam mengasuh dengan baik.
Sebuah tulisan yang aku tujukan untuk diriku sendiri tentunya sebagai pengingat. Semoga Allah mudahkan proses pengasuhan ini.
Selesai ditulis menjelang safar pukul 01.57 WIB
26 Rabi'ul Tsani 1447H
Comments
Post a Comment