Mengapa Para Ulama Belajar Adab Selama Puluhan Tahun Sebelum Menuntut Ilmu?
Bismillahirrahmanirrahim
Ada sebuah paragraf dalam salah satu buku Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawwas yang dulu membuatku begitu tercengang, paragraf itu berbunyi:
"Imam 'Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) mengatakan, 'Aku mempelajari adab selama 30 (tiga puluh) tahun kemudian aku menuntut ilmu selama 20 (dua puluh) tahun. Mereka mempelajari adab sebelum belajar ilmu. Beliau juga mengatakan, 'Adab itu 2/3 (dua per tiga) ilmu.'"
Saat itu, aku sulit mempercayainya, bagaimana bisa mereka berpuluh-puluh tahun hanya belajar tentang adab? Tidakkah waktu yang berpuluh-puluh tahun itu sangat disayangkan jika tidak digunakan untuk menuntut ilmu?
---
Salah satu hikmah dari Corona adalah akhirnya aku bisa memahami bahwa hal itu benar terjadi. Saat ini, begitu banyak kelas online yang ditawarkan, begitu mudah kita mendapatkan ilmu, bahkan berpuluh-puluh kitab ulama pun dapat kita akses melalui smartphone kita.
Tetapi, adakah itu membuat kita lebih hebat ketimbang para ulama salaf (terdahulu)?
Adakah kita lebih hafal hadits ketimbang mereka? Adakah kita lebih paham tafsir Al-Qur'an ketimbang mereka?
Jawabannya tidak.
Aku akhirnya paham mengapa para ulama terdahulu mempelajari adab terlebih dahulu ketimbang ilmu. Adab adalah kunci dari kebersihan hati. Dan hati adalah tempat dari ilmu, jika hati tidak bersih, maka menuntut ilmu akan terasa berat. Bahkan bisa jadi ilmu yang kita dapatkan tidak membekas di hati.
Aku mengerti mengapa punya tiga kelas online saja bagi orang zaman sekarang adalah hal yang berat. Jauh berbeda dengan salah seorang ulama terdahulu, Imam Nawawi, penulis kitab Riyadush Shalihin, yang dapat menghadiri lebih dari 10 halaqah dalam satu hari, dan itu pun offline.
Mengapa? Mengapa bisa demikian?
Jawabannya adalah karena para ulama menyiapkan hati mereka terlebih dahulu. Mereka membersihkan hatinya dari iri, dengki, sum'ah, riya', sombong, atau penyakit hati yang lain.
Ilmu itu cahaya dan cahaya tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Aku sangat menyadari bahwa dalam perlombaan kehidupan ini, yang paling sulit bukan menjadi yang paling kaya/ paling cantik/ paling pintar/ paling banyak follower, dll,
yang paling sulit adalah menjadi orang yang paling bersih hatinya.
Hati yang bersih adalah sumber kebahagiaan. Hati yang bersih adalah kunci kesuksesan menuntut ilmu.
---
Ditulis di Denpasar, Bali
5 Rabi'ul Tsani 1442H
Pict from tanim_mahbub (pixabay) |
Comments
Post a Comment