Investasi Syari'ah
Bismillahirrahmanirrahim
Berikut adalah ringkasan dari Kajian "Investasi Syari'ah" dari Komunitas Muslim Osaka, Jepang yang diisi oleh Ustadz Ammi Nur Baits.
Mungkin di sini, sebelumnya yang ingin aku ingatkan adalah
this post will be long, baiknya membaca secara utuh agar mendapat kesimpulan yang pas.
Kemudian, di sini kita mencari kebenaran, bukan pembenaran, maka seyogyanya kita menyiapkan hati kita untuk bisa menerima kalau ada hal-hal yang kita berkecimpung di dalamnya dan ternyata itu haram.
๐ป๐ป๐ป
---
Rasulullah ุตูู ุงููู ุนููู ู ุณูู
bersabda:
"Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah yang shalih bersama orang yang shalih." [HR. Ahmad 4/197]
Makna harta shalih adalah harta yang halal ketika mendapatkannya.
Ada 4 jenis akad dilihat dari bentuknya:
๐ Akad mu'awadhat (komersil) : untuk mendapat keuntungan, seperti jual beli, sewa menyewa
๐ Akad Tabarru'at (sosial): untuk mendapatkan pahala, seperti sedekah, hibah, hadiah
๐ Akad Syarikah (kerjasama): jika untung ditanggung bersama, jika rugi ditanggung bersama
๐Akad Tautsiqat (jaminan kepercayaan), contoh: akad gadai, kafalah, dhamanah
Hal ini perlu kita ketahui agar ketika kita bertransaksi, kita tahu akadnya apa. Karena beda akad beda hak dan kewajiban.
Alternatif permodalan dalam islam:
Mudharabah (istilah yang dipakai madzhab hanafi dan hambali )
Diambil dari kata ad-Dharb fii Ardh, artinya safar untuk dagang
Istilah lain: Qiradh, dari kata Al-Qardh yang artinya potongan.
Qiradh adalah istilah yang dipakai oleh madzhab syafi'i dan maliki
Sebelum Islam, Nabi pernah berdagang ke Syam, beliau sebagai Mudharib (pengelola dana), sementara Khadijah sebagai Rabbul Mal (pemodal). Ketika Islam datang, transaksi ini tetap dilestarikan.
Akad mudharabah itu boleh karena di antara manusia ada yang memiliki harta yang melimpah tetapi tidak pandai mengelolanya. Sebaliknya, ada yang pandai mengelola harta tetapi tidak punya modal.
---
Salah satu contoh adalah dari kejadian Umar bin Khattab dengan kedua putranya.
Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bercerita, ada dua orang dari Khalifah Umar bin al Khattab yaitu Abdullah dan Ubaidillah berangkat bersama suatu rombongan pasukan ke Iraq. Tatkala keduanya hendak kembali ke Madinah, keduanya mampir di rumah Abu Musa al Asy’ari. Abu Musa pun menyambut dengan hangat. Abu Musa ketika itu adalah gubernur kota Bashrah. Dalam pertemuan tersebut, Abu Musa mengatakan, “Andai ada yang bisa kulakukan dan itu bermanfaat bagimu berdua tentu akan kulakukan”.
Sesaat kemudian Abu Musa berkata, “Oh ya, ada harta milik Negara yang ingin kukirimkan kepada Amirul Mukminin Umar. Uang tersebut kuserahkan kepada kalian berdua. Dengan uang tersebut kalian bisa kulakakan barang dagangan yang ada di Iraq lalu sesampainya di Madinah barang dagangan tersebut bisa kalian jual. Modalnya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin Umar bin al Khattab sedangkan keuntungannya menjadi milikmu berdua”.
Respon keduanya, “Kami setuju”. Akhirnya mereka melaksanakan apa yang disarankan oleh Abu Musa.
Abu Musa juga berkirim surat kepada Umar agar beliau mengambil sejumlah uang dari kedua anaknya.
Setelah tiba di Madinah, kedua putra Umar bin al Khattab menjual barang dagangan yang mereka bawa dari Bashrah dan keduanya pun mendapatkan keuntungan. Setelah keduanya melaporkan apa yang mereka lakukan kepada Umar, beliau bertanya, “Apakah semua anggota pasukan mendapatkan pinjaman modal dari Abu Musa sebagaimana kalian berdua?” “Tidak”, jawab keduanya.
Karena kalian berdua adalah putra amirul mukminin Abu Musa member pinjaman modal. Serahkan modal dan keuntungannya kepada kas negara!”. Abdullah bin Umar pasrah dengan putusan ayahnya. Sedangkan Ubaidillah menyanggah dengan mengatakan, “Hal itu tidak disepatutnya Kau putuskan wahai amirul mukminin karena jika modalnya habis atau berkurang kamilah yang menanggungnya”. “Serahkan”, Umar bersikukuh dengan pendiriannya.
Kembali Abdullah bin Umar hanya terdiam. Sedangkan Ubaidillah berkomentar menolak. Salah satu orang yang hadir ketika itu menyampaikan usulan,
“Wahai Amirul Mukminin, andai kau jadikan transaksi yang telah terjadi sebagai mudharabah”
Umar pun setuju dengan mengatakan, “Telah kujadikan sebagai mudharabah”. Umar lantas mengambil pokok modal dan separo keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidillah mendapatkan separo keuntungan [Riwayat Baihaqi no 11939, dinilai shahih oleh al Albani].
---
Dari hadits ini, kita dapat melihat adanya kesalahpahaman akad antara Umar dan kedua putranya
Abu Musa kepada dua putra Umar menganggap uang itu adalah utang.
Konsekuensinya uang yang diserahkan itu dijamin, jika ada risiko apapun, si pembawa hutang harus membawa utuh, tidak boleh ada kelebihan saat pelunasan
Umar memahami uang itu adalah wadiah (titipan).
Konsekuensinya uang yang diserahkan itu dijamin jika teledor, jika tidak teledor, maka pemegang wadiah tidak wajib menangung risiko. Konsekuensi lain, uang tersebut harus dikembalikan apa adanya.
Hasil akhir diputuskan bahwa uang itu mudharabah.
Konsekuensinya tidak boleh dijamin, jika terjadi risiko, maka itu risiko pemilik modal + boleh ada bagi hasil.
See? beda akad beda ketentuan.
๐ป๐ป๐ป
---
Untuk hutang, jika uang yang dihutangkan menghasilkan uang, maka hasil tersebut adalah milik orang yang berhutang.
Untuk wadiah, jika uang yang dititipkan menghasilkan uang, maka hasil tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik uang (jika diawal tdk izin untuk dibuat usaha).
---
Beberapa aturan mudharabah:
1. Unsur: Rabbul Mal & Mudharib (Amil)
2. Kebutuhan: Modal & keahlian (usaha)
3. Sifat: Jaiz (bisa dibatalkan secara sepihak). Apa maksud jaiz?
Dilihat dari ikatannya, akad ada dua:
๐ Lazim-> mengikat kedua pihak, tdk bisa dibatalkan secara sepihak, bisa dibatalkan atas kerelaan kedua belah pihak. Contoh jual beli
๐ Jaiz-> tidak mengikat kedua pihak, bisa dibatalkan secara sepihak. Contoh: wadiah (barang titipan), mudharabah
4. Jelas: Nilai modal dan prosentase bagi hasil
5. Kepemilikan: semua unit usaha milik shohibul mal
6. Modal tidak boleh dijamin, karena harus menanggung risiko rugi -> peluang untung = risiko rugi
7. Status Amil: Amin (orang yang diamanahi), sehingga:
๐พTidak menanggung kerugian di luar keteledoran
๐พTidak perlu memberi jaminan
๐พAl Qoul qouluhu ma'al al-yamin -> yang dinilai adalah ucapannya disertai dengan sumpah, maksudnya jika terjadi sengketa antara mudharib dan sohibul maal, siapa yang dimenangkan? perkataan mudharib + sumpah.
Bagi hasil -> berdasarkan hasil, tdk boleh berdasarkan modal
Dalam mudharabah -> hasil sifatnya fluktuatif, kadang ada hasil kadang tidak, kadang tinggi dan kadang turun.
Jika selalu ada hasil dan sudah ditentukan nominalnya, bukan mudharabah.
---
Dalam mudharabah ada kaidah:
Ringan sama dijinjing - berat sama dipikul
๐ป๐ป๐ป
***
๐Q&A๐
๐ Apakah ada ketentuan bagi hasil antara pemodal dengan pelaku usaha? Misal pemilik modal 60% dan pelaku usaha 40%
Untuk bagi hasil, teknisnya dikembalikan ke pelaku akad, porsinya tidak ada aturan.
๐ Bagaimana dengan reksadana yang telah dijamin oleh MUI dan OJK? Apakah bisa digunakan? Apakah saham syari'ah di Indonesia ada?
Terkait reksadana, Manager Investasi (MI) ketika menginvestasikan apakah selalu di unit usaha yang syar'i?
Mayoritas dana reksadana digunakan untuk saham, baik syariah maupun konvensional, sehingga uang nasabah untuk beli saham lalu keuntungan dibagi kepada pemilik reksadana.
Adakah saham syariah di Indonesia?
Di dunia ini ada banyak lembaga fikih yang mengeluarkan fatwa, yaitu:
Majma fiqih:
- Rabithah (Internasional)
- OKI (Internasional)
- MUI (Lokal)
Trading saham
Beli saham= ikut terlibat dalam unit usaha
Dalam jual beli apapun ada dua hal yg wajib kita perhatikan:
๐พkehalalan objek
๐พkehalalan sistem transaksi
Kehalalan objek:
dipengaruhi oleh:
๐ Penghasilan perusahaan, fyi penghasilan perusahaan-perusahaan besar tidak lepas dari dana deposito. Hampir semua perusahaan go public punya dana cadangan yang didepositokan dan itu berbunga.
๐ Kebijakan ribawi, fyi mayoritas modal perusahaan besar tidak lepas dari utang bank, pembeli saham ikut menanggung dosa riba yang telah disepakati.
Kehalalan sistem transaksi:
Trading saham lebih kepada jual beli peluang.
Bersifat informasi perubahaan nilai perusahaan, itu yang dijadikan sebagai objek dagangan. Bukan lagi mewakili beli saham berarti beli aset perusahaan.
Jual beli peluang adalah jual beli gharar (ada yang menang dan ada yang kalah). Praktik transaksi saham sama dengan kasino. Fisiknya seperti ada, tapi hakikatnya adalah jual beli peluang, sangat mudah digoreng naik atau jatuh.
**fyi, di kajian lain aku mendapat solusi yang intinya: tidak ikut trading saham, jika ingin membeli saham untuk tujuan kepemilikan (bukan trading), maka beli lah saham yang belum go public. Perusahaan kecil yang belum go public, lebih aman dari riba tentang kebijakan keuangan perusahaannya,
๐ Bisakah membeli emas dengan cara dicicil?
Membeli emas, jika yang dimaksud adalah beli lalu disimpan, lalu jika harga emas naik dan dijual, maka hukumnya boleh.
Cicilan emas:
Kaidahnya, emas jika ditukar dengan perak maka wajib tunai. Dalam hal ini, uang termasuk kelompok perak.
Di masyarakat, cicilan emas konsepnya: emas dicicil dengan uang (tidak tunai) => termasuk riba nasiah.
Solusi: tabung uang, setelah cukup baru dibelikan emas
---
๐ Jika ada orang yang berhutang 10jt di tahun 2000 dan baru mengembalikan di tahun 2010, apakah boleh menggunakan emas untuk ditakar sesuai dengan nilai hutang pada saat itu untuk dibayarkan sesuai dengan nominal hutang saat ini?
Inflasi tidak memengaruhi nilai hutang. Jika terjadi penurunan nilai rupiah, maka inflasi tidak memengaruhui nilai utang.
"Kalian tidak dihalimi dan tidak mendhalimi"
[Al Baqarah: 279]
Solusi riba adalah tidak dhalim dan tidak mendhalimi.
Jika terjadi praktik hutang piutang dalam waktu yang cukup lama, misal 10 tahun, maka akan merugikan si pemilik hutang.
Mengapa?
#Inflasi ada dua:
๐พInflasi normal -> kenaikan harga < 30%
๐พHyperinflasi -> kenaikan harga >30%
10 tahun di Indonesia kira-kira inflasinya >30%, jika sudah seperti ini, maka emas bisa digunakan sebagai alasan untuk faktor koreksi. Faktor koreksi memakai emas. Nilai 10 juta saat hutang dikonversi ke emas, lalu diserahkan di waktu sekarang dengan nilai sekarang.
---
Selesai dirangkum di Jalan Gatot Subroto, Denpasar
23 Rabi'ul Tsani 1442H.
Comments
Post a Comment