Makan Sehat dengan Bertanya Nenek

Bismillahirrahmanirrahim

Sekali-kali mau nulis di blog yang ilmiah hehe. Tulisan ini hasil ikut lomba tapi ga menang. Alhamdulillah ga kecewa walaupun ga menang. Rasanya bahagia ikut lomba nulis karena bisa produktif baca. Mau ga mau kalau mau nulis kan baca dulu. Ikut lomba nulis ini jadi memaksaku lebih giat membaca.

Tulisan ini Insyaa Allah bukan sekedar omdo alias omong doang karena aku dan keluarga pun mulai menerapkan makan sehat ini hehe.

So here we go! Selamat membaca

Soto tanpa penyedap rasa, pengawet, gula pasir, garam pabrikan, dan teman-temannya





---

Teknologi hadir untuk memudahkan hidup manusia. Ia menawarkan kepraktisan guna menghemat waktu manusia dalam melakukan segala sesuatu, termasuk makanan. Kita lihat inovasi di bidang makanan semakin berkembang. Sebutlah tepung instan, bumbu instan, pewarna buatan dan berbagai produk pabrik yang memudahkan proses memasak. Tak ketinggalan, junk food dan olahan makanan cepat saji lainnya memudahkan manusia mengisi kebutuhan perutnya.

Kehadiran produk-produk tersebut memang memudahkan manusia hingga menyenangkan mereka. Tak bisa dipungkiri bahwa makanan yang mengandung penyedap rasa, pengawet, pewarna makanan, pemanis buatan, pengenyal, dan bahan tambahan sintetis lainnya sangat digemari karena terlihat lebih menarik dan memanjakan lidah serta harganya relatif lebih murah dibandingkan bahan tambahan alami. Belum lagi tiga bahan tambahan super, meskipun alami, yaitu gula, garam, dan lemak / minyak, tapi ditambahkan dalam jumlah banyak akan menjadikan makanan jauh lebih lezat. Makanan-makanan ini diolah dan diberi tambahan sedemikian rupa agar kita terus membeli dan memakannya lebih banyak lagi (kecanduan) [1]. Namun tanpa disadari, kemudahan dan kenikmatan ini harus dibayar mahal dengan kesehatan yang semakin buruk. 

Tak heran saat ini muncul fenomena individu usia muda berpenyakit yang umumnya diderita orang lanjut usia. Hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada tahun 2017 menyatakan bahwa tren penyakit tidak menular (seperti jantung koroner, kanker, dan diabetes) pada usia produktif semakin tinggi [2]. Hal ini juga didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik bahwa prevalensi obesitas penduduk usia di atas 18 tahun meningkat 34%, yaitu 26,3 di tahun 2013 dan 35,4 di tahun 2018 [3].

Masalah semakin bertambah setelah diketahui bahwa tambahan makanan sintetis dalam jangka panjang akan berdampak negatif pada tubuh. Sebutlah benzoat, yaitu pengawet makanan, dapat memicu terjadinya asma dan kulit melepuh. Bahan ini juga memicu tingkah hiperaktif pada anak kecil [4]. MSG dapat memicu sesak nafas, asma, dan kerusakan otak [5]. Tak ketinggalan, sakarin yang merupakan pemanis buatan, dapat menghambat pertumbuhan dan menjadi penyebab ketidaknormalan organ reproduksi [6].

Tentu ini tak bisa dibiarkan karena tidak hanya merugikan perorangan saja, tetapi juga merugikan masyarakat, negara, dan bahkan agama. Individu yang sakit akan sulit beraktivitas dan beribadah. Padahal, individu-individu di usia produktif inilah yang diharapkan mampu menopang dan mengurus kebutuhan masyarakat dan negara. Mereka juga diharapkan mampu berdakwah dan menyebarkan nilai-nilai agama. Lalu, bagaimana mengatasinya? Tanyakan saja pada nenek kita. Lho, kok nenek?

Secara asal, lidah manusia mampu menikmati makanan tanpa adanya bahan-bahan penambah cita rasa, sebagaimana makanan yang dinikmati nenek moyang kita. Mereka hidup baik-baik saja dengan makan secukupnya tanpa tambahan bahan-bahan sintetis dari generasi ke generasi hingga lahirlah generasi kita yang merasa kurang apabila tanpa tambahan tersebut. 

Tanyakan saja bahan-bahan makanan pada nenek. Jika nenek bisa menikmatinya, maka nikmatilah. Sebaliknya jika nenek merasa asing dengan bahan makanan itu, maka tinggalkanlah. Jika nenek kita payah dalam hal bahan makanan, bisa ditanyakan pada nenek orang lain yang lebih menguasainya. Selanjutnya terserah kita, mau mengubah makanan kita, menderita karena sakit atau perlahan-lahan kehabisan biaya di rumah sakit.


Catatan kaki:
[1] Michael Pollan. Food Rules: Peraturan Makanan, Petunjuk untuk Makan (Opus, 2009). hlm.7
[2] Kementerian Kesehatan RI. “Penyakit Tidak Menular Kini Ancam Usia Muda”https://www.kemkes.go.id/article/view/20070400003/penyakit-tidak-menular-kini-ancam-usia-muda.html ,diakses pada 11 November 2021 pukul 09.40 WIB
[3] Badan Pusat Statistik. “Prevalensi Obesitas pada Penduduk Umur > 18 Tahun 2013-2018” bps.go.id/indicator/30/1481/1/prevalensi-obesitas-pada-penduduk-umur-18-tahun.html, diakses pada 11 November 2021 pukul 09.50 WIB
[4]  Tuula E. Diorama. “The Adverse Effects of Food Addictives on Health: A Review of The Literature with Special Emphasis on Childhood Hyperactivity”, The Journal of Orthomolecular Medicine (online), Vol.9, No.4 (1994), http://www.orthomolecular.org/library/jom/1994/articles/1994-v09n04-p225.shtml, diakses pada 12 November 2021 pukul 10.30 WIB
[5] Ibid.
[6] Ibid.


---

Selesai disalin ke blog di Surabaya, 28 Rabi'ul Akhir 1443H


Masakan padang tanpa penyedap rasa, pengawet, gula pasir, garam pabrikan, tepung pabrikan, dan teman-temannya. Ternyata masak enak tanpa bahan-bahan tsb itu mudah, tinggal perkara mau atau tidak hehe.


Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!