Dijaga Allah dengan Disempitkan

Bismillahirrahmanirrahim

As human being sering kali kita merasa disayang ketika diberi nikmat dan merasa dihukum ketika diberi kesempitan. Iya, itulah manusia. Kita suka pada kenikmatan dan cenderung tidak suka pada musibah atau ujian.

Namun, coba kita renungkan kembali. Jangan-jangan selama ini ada begitu banyak nikmat yang Allah beri melalui kesempitan hidup yang kita rasakan.

---

Hari-hari ini tabunganku tak lagi sebanyak ketika masih bekerja. Jika dulu dalam sebulan aku bisa menabung 5 juta, saat ini menabung beberapa ratus ribu saja sudah begitu membuatku bahagia.

Jika dipikir kembali, memang rasanya hidup menjadi lebih sempit. Apa-apa harus dihemat. Tidak semua yang diinginkan bisa dipenuhi. Namun, bukankah itu bentuk penjangaan Allah agar aku tidak jatuh pada perkara yang berlebih-lebihan?

Sungguh berbeda dengan aku yang dulu yang begitu mudah membelanjakan uangku entah kemana dan untuk apa. Karena merasa punya gaji tetap yang nilainya lumayan, aku tidak berpikir dua kali ketika harus mengeluarkan uang. Sebagai contoh, tahun 2020 yang lalu, aku menghabiskan kurang lebih 25 juta untuk bolak-balik ke dokter kandungan. Aku yang saat itu punya uang, merasa satu-satunya opsi yang akan membantu kesembuhanku adalah dengan ke dokter kandungan. Aku tidak mencoba mencari tahu tentang opsi yang lain. 

Berbeda setelah resign. Karena uangku tidak lagi banyak, biaya dokter kandungan tiap bulan yang dulu begitu mudah aku bayarkan kini menjadi mahal di pandanganku. Secara kasat mata, hal ini seperti sebuah kesempitan yang malah memperburuk kondisiku. Namun sejujurnya, karena kesempitan ini, aku jadi punya cara berpikir lain dan mencari opsi jalan kesembuhan lain selain ke dokter kandungan.

Dan yaaa!
Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah yang mengizinkan aku sampai ke titik ini. Sudah beberapa bulan tidak ke dokter kandungan dan Alhamdulillah tidak ada pendarahan. 

Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Karena dibalik kesempitan itu, Allah tuntun aku menemukan kelas-kelas kesehatan yang membuat aku mengubah pola hidup menjadi lebih baik. Dan memang benar perkataan Ustadz Abdurrahman Dani hafidzahullah, ternyata sehat itu mudah. Sehat itu murah.

ITS

---

Beberapa hari yang lalu ada seorang teman kuliah yang bertanya kepadaku mengapa aku tidak tertarik untuk mencba makanan/minuman kekinian. Dia bertanya bagaimana aku bisa menahan itu semua.

Jujur, aku bingung menjawabnya karena memang sejak dulu aku tidak tertarik. Jangankan ketika kondisi sempit, dulu ketika kondisi masih lapang, ketika uang berdatangan tiap bulan, aku tidak tertarik ngopi ngopi cantik atau mengikuti makanan kekinian lainnya.

Aku mengatakan padanya bahwa mungkin aku tidak tertarik karena tidak punya uang wkwkwk. Atau lebih tepatnya, karena uangku terbatas, tidak ada budget untuk mengalokasikan uangku ke sana. Bagiku ada hal-hal yang lebih penting dari sekedar membeli makanan atau minuman kekinian. Toh beli makanan apapun, yang penting halal dan thayyib, sama kenyangnya dengan membeli makanan kekinian. 

Setelah aku pikir lagi, kesempitan ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepadaku agar hisabku tidak semakin berat. Bisa jadi jika saat ini kondisiku lapang seperti dulu, aku akan tertarik mencoba dan kemudan kecanduan pada makanan atau minuman kekinian. Bukan hanya rugi di uang, rugi waktu juga. Bermenit-menit atau bahkan berjam-jam mencari makanan yang ingin dirasakan.

Terlebih, makanan kekinian banyak yang belum thayyib. Bisa-bisa kelapangan harta malah membuat aku kecanduan dan sulit sembuh. Ujung-ujungnya dokter kandungan lagi. Dan ujung-ujungnya keluar uang lagi.

Masyaa Allah, betapa baiknya Allah kepadaku. Kesempitan ini adalah bentuk penjagaan Allah.

Teringat aku yang dulu pernah mengeluarkan uang 5 juta untuk biaya swab antigen. Gara-gara merasa sulit bernafas dan saat itu Covid sedang melonjak di Bali, aku buru-buru mengambil keputusan untuk tes yang saat itu masih sangat mahal karena merasa punya banyak uang. Aku tidak berusaha menelisik lebih lanjut apa yang terjadi sebelum membelanjakan hartaku.

Dan hasilnyaa....

Taraaaa!

Alhamdulillah aku dan suami baik-baik sajaaa.

Pun juga teringat aku yang dulu mudah sekali mengeluarkan uang untuk biaya kelas ini dan kelas itu. Merasa uang banyak dan mampu bayar, aku tidak mempertimbangkan kesiapan diri sendiri untuk mengikuti berbagai kelas tersebut. Ujung-ujungnya pikiranku penuh karena terlalu banyak ikut kelas dalam waktu yang bersamaan dan berakhir dengan aku yang uring-uringan karena lelah menatap layar.

Yes, that's what we call 'middle income trap'. Yaitu kondisi orang-orang yang penghasilannya di atas kebutuhan dan terjebak dalam pola hidup membelanjakan harta secara tidak bijak karena merasa uangnya banyak.

---

Pada kesempatan yang berbeda, kakakku pernah bertanya pada ibuku apakah dulu ibuku menggunakan popok untuk anak-anak beliau. Ibuku menjawab bahwa dulu tidak ada popok. Maka ibuku dulu susah payah mencuci kain-kain yang terkena ompol atau (maaf) eek.

Jika kita lihat sekilas, rasanya susah sekali ya hidup di zaman itu. Namun, jika kita mau berpikir lebih dalam, justru kesempitan fasilitas itu membuat orang dulu terhindar dari yang namanya hisab berupa sampah popok. 

Tidakkah kita perhatikan kondisi sungai kita hari ini? Sampah popok merajalela dimana-manaaaaa. Dan kita tahu popok itu sulit sekali terurai. Butuh waktu ratusan tahun agar ia terurai kembali. Mengsedih kan?

Kemudahan fasilitas berupa popok ini malah membuat manusia zaman ini bermudah-mudahan untuk memakainya. Akibatnya sampah penuh dengan popok bayi. Bisakah kita banyangkan hisab dari membuang popok ini? Membuang barang yang sulit sekali terurai di bumi. Barang yang akhirnya akan mencemari bumi, membuat air keruh, dan merusak keindahan alam. Jika ada orang yang mengalami imbalance hormon karena meminum air yang tercemar akibat popok itu bagaimana? Bisa dibayangkan betapa besar pertanggungjawabannya?

---

Pada akhirnya aku paham bahwa kesempitan itu tidak selalu menyedihkan. Ada hikmah dibalik kesempitan yang tengah Allah hadirkan. Ada penjagaan yang Allah beri dibalik kesempitan yang tengah dirasakan.

Semoga kita menjadi insan yang semakin bijak dalam mengambil hikmah dan kesimpulan. Agar selalu ingat bahwa Allah selalu memberi sebaik-baik ketetapan.

---

Selesai ditulis di Rungkut, Surabaya
10 Rabi'ul Tsani 1444H

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!