Antara Cita-cita dan Keluarga, Selamat Tinggal LIPIA Jakarta!
Bismillahirrahmanirrahim
Cerita ini bermula awal tahun ini. Ketika ada banyak sekali ujian yang menghampiri keluarga kami. Sampai kami berpikir, "Apa perlu kita pindah ke Jakarta saja?". Barangkali di sana masalah kami akan terurai nantinya.
Hari ini, 21 Agustus 2023, seharusnya menjadi hari pertama duduk di LIPIA Jakarta sebagai mahasiswa baru di sana.
Namun...
Banyak hal terjadi hingga kita memang harus memilih. Menjadi dewasa artinya kita belajar tentang prioritas bukan?
Izinkan aku menyimpan kenangan ini di sini. Sebagai cerita bagi anak cucu bahwa dgn izin Allah ada leluhurnya yang pernah menembus kampus biru.
Izinkan aku menuliskannya di sini. Bahwa walau bukan anak pesantren, jika berusaha pun Insyaa Allah bisa diterima.
Kartu pendaftaran |
Melihat keinginannya untuk ke ibu kota, aku minta izin untuk ikut tes LIPIA Jakarta. Barangkali aku berjodoh dengan kampus ini. Selagi belum punya anak pikirku. Dan selagi aku bisa memperjuangkan cita-citaku.
Barangkali memang harus aku akui bahwa aku tidak dipercaya beberapa pihak untuk mengajar Bahasa Arab karena aku tidak punya background pendidikan agama. Dan tentu, hal ini begitu wajar di zaman ketika ijazah diagung-agungkan. Padahal ijazah adalah sekedar bukti bahwa kita pernah belajar di suatu tempat. Bukan sebuah jaminan bahwa kita berilmu tentang hal-hal yang kita pelajari di tempat itu.
Jujur, aku kala itu merasa barangkali ini adalah jalanku yang tertunda. Kuliah agama di tempat yang tidak dipungut biaya. Kuliah agama di tempat yang merupakan cabang kampus Saudi Arabia. Semoga dengan itu, keinginanku untuk mukim di sana terwujud. Semoga dengan itu aku lancar bicara dengan menggunakan Bahasa Arab. Dan semoga dengan itu, Allah bukakan pintu-pintu kebaikan lainnya untukku.
Namun, tentu saja ada keraguan yang menghampiri ketika mengingat pendaftar LIPIA banyak sekali. Siapalah aku dibanding anak-anak pondok yang sudah berbahasa Arab sehari-hari? Siapalah aku yang baru kemarin sore terjun ke dunia ini?
---
Memperjuangkan cita-cita yang tertunda.
Ini adalah cita-citaku. Maka akulah yang harus bertanggung jawab atasnya. Aku memang takut mengikuti tesnya. Utamanya tes wawancara dalam Bahasa Arabnya. Namun, aku menyadari mungkin kesempatan ini tak akan terulang lagi. Aku tidak mau membebankan mimpi ini kepada anak keturunanku nanti. Aku tidak mau anakku yang terpaksa mewujudkan mimpi ini karena aku berdalih tidak punya kesempatan untuk memperjuangkannya.
Iya, ini adalah mimpiku. Ini adalah tanggung jawabku.
---
Tes tulis Alhamdulillah bisa aku lalui dengan tidak terlalu sulit. Namun, tes lisan? Jangan ditanya. Keluar dari ruangan ujian, aku rasa tak ada harapan bagiku untuk diterima di sana. Bahwa ternyata kemampuan baca dan dengarku tidak terlalu menunjang kemampuan bicaraku. Dan bahwa ternyata aku kembali tertampar realita bahwa perjuanganku belajar Bahasa Arab masih jauh dari kata selesai.
---
Sembari menunggu pengumuman LIPIA Jakarta, ternyata LIPIA Surabaya pun buka. Tanpa babibu, aku izin ikut tes kepada suami karena barangkali kami tidak jadi pindah ke ibu kota.
Tes LIPIA Surabaya relatif lebih mudah walau tetap saja tes lisannya menamparku berkali-kali. Aku pun pesimis akan diterima di kampus ini.
---
Tak berapa lama, hasil tes LIPIA Surabaya keluar. Dan tak kusangka, namaku ada di sana.
Rasa haru dan bahagia menghampiri. Bahwa ternyata dengan izin Allah aku mampu menembus kampus ini. Aku yang bukan siapa-siapa ini, aku yang jauh dari kata sempurna ini, Allah izinkan diterima di kampus bergengsi.
---
Hanya saja, di saat yang sama, ada kejutan hidup lain yang Allah berikan kepada kami. Yang mana, hal ini membuat aku harus memilih.. Iya, hidup memang harus memilih. Ditambah lagi ada konfirmasi dari LIPIA Surabaya yang menyatakan bahwa terdapat kesalahan sistem di mereka yang seharusnya dari awal tidak bisa menerima ijazahku yang sudah lewat tiga tahun.
Fyi, LIPIA Jakarta tidak mensyaratkan batasan usia ijazah, tetapi LIPIA lainnya mensyaratkan usia ijazah SMA maksimal tiga tahun.
---
Kehidupan pun berlanjut dengan aku yang berusaha meyakini ini adalah keputusan yang terbaik. Sambil menyadari bahwa aku tidak mungkin akan diterima di LIPIA Jakarta. Pun jika diterima, suamiku pasti tidak akan mengizinkan aku pergi karena kami tidak jadi pindah ke ibu kota. Perlahan, Alhamdulillah masalah kami Allah urai satu per satu. Dan perlahan. Allah beri kami kejutan dan nikmat satu per satu.
Aku ingat sekali, kala itu aku tengah terbaring lemah tak berdaya di rumah budheku karena rumah ibuku direnovasi. Aku melihat ada pengumuman LIPIA Jakarta. Sepertinya tidak lolos, begitu kataku dalam hati.
Dan betapa kagetnya aku ketika melihat namaku ada di sana. Iya, namaku yang tertulis dalam Bahasa Arab lengkap dengan nomor pendaftaranku ada di list nama-nama mahasiswa yang diterima.
Namun, sekali lagi, ada nikmat Allah lain yang tidak bisa kami pungkiri. Yang membuat aku harus memilih untuk tidak bisa pergi. Yang membuat aku harus ikhlas untuk hanya bisa diterima tetapi tidak bisa menjalani.
Karena keridhaan suami adalah prioritas utama.
Memiliki suami seperti dia adalah nikmat yang luar biasa. Akankah aku menyia-nyiakannya untuk sesuatu yang tidak lebih krusial dari kehadirannya di sampingku?
Aku ikhlas melepaskan LIPIA Jakarta. Untuk apa aku dipandang hebat jika tidak ada keridhaan suamiku di sana?
Alhamdulillah, selamat tinggal LIPIA Jakarta!
---
Tambahan mumpung ingat...
Entahlah. Tiba-tiba aku ingin bertemu kakekku. Beliau yang meninggal tahun 2008 lalu. Saat aku berusia 12 tahun. Saat aku masih jauh dari agama.
Kakekku adalah seorang guru agama. Sayang sekali dulu aku tidak dekat dengannya. Barangkali jika hari ini beliau masih hidup, aku bisa berbincang banyak dengannya. Tentang Bahasa Arab atau hal-hal lain yang membuat aku tertarik dengan agama.
Rahimahullah Rahmatan Wasiah.
Beliau telah pergi. Jauh sebelum aku tertarik pada dunia dakwah ini. Jauh sebelum aku memakai kerudung dengan kesadaranku sendiri. Dan jauh sebelum aku mulai menyadari bahwa pasti beliau ingin ada anak keturunan yang melanjutkan estafet beliau ini.
Jika beliau melihat aku hari ini, akankah beliau bangga? Bahwa ada anak keturunannya yang pernah berhasil menembus bangku LIPIA Jakarta.
Akankah beliau bangga dengan aku yang meninggalkan Kemenkeu dan kini 'hanya' mengajar di rumah saja?
Akankah beliau menitikkan air mata melihatku yang dulu susah diatur kini telah berubah?
Entahlah. Aku tidak tahu. Yang jelas ini adalah rasa rindu kepada sosok yang baru aku sadari betapa berharganya kehadiran beliau.
---
Kadang kala aku berpikir, apakah penjagaan Allah kepadaku selama ini juga berkat keshalihan kakekku selama hidupnya?
Mengapa Allah begitu baik memilihku menjadi satu-satunya mahasiswa STAN kala itu yang belajar di Takhassus Al-Barkah Bintaro?
Mengapa Allah gerakkan hatiku untuk meninggalkan pekerjaan kantoran dan memilih kembali ke rumah?
Padahal kalau dipikir-pikir, aku bukan orang shalih. Aku bukan anak yang sudah baik sejak kecil. Namun, mengapa Allah menjagaku sedemikiannya padahal kondisi keluargaku tidak seperti anak-anak lainnya? Padahal kehidupanku sbg seorang anak kala itu serba tidak ideal.
Wallahua'lam. Aku rasa ada andil keshalihan kakekku di sana. Keshalihan yang kini aku rasakan dampaknya.
Kini, hanya kuburan beliau yang bisa aku pandangi. Tanpa bisa lagi berbincang dan mengenal beliau lebih dekat. Tanpa bisa lagi menimba ilmu dan kebaikan dari apa yang beliau miliki.
Rahimahullah Rahmatan Wasiah. Semoga Allah merahmati beliau dan seluruh leluhurku.
Semoga diri ini selalu ingat untuk mencontoh beliau. Agar Allah jaga anak keturunanku.
---
Selesai ditulis ketika Adzan Dhuhur
5 Safar 1445H
Dan selesai diedit setelah Shalat Isya
12 Shafar 1445H
Comments
Post a Comment