Fase Babak Belur Ketika Punya Anak
Bismillahirrahmanirrahim
Ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya. Atau lebih tepatnya adalah behind the scene dari apa yang aku rasa ketika sakitnya Hafshah lagi di puncak-puncaknya.
Kalau di postingan sebelumnya vibes tulisanku lebih ke tips and trick, di sini aku akan cerita betapa aku merasa beberapa kali babak belur ketika punya anak.
Tapi tentu tulisan ini sangat tidak bermaksud menyalahkan kehadiran anakku atas apa yang aku rasakan. Namun lebih kepada bahan intropeksi bahwa ketika menjadi orang tua anak adalah cermin atas apa-apa saja yang perlu diperbaiki dari diri kita sendiri.
So, here we go!!
Menu bapaknya Hafshah: Usus Bumbu Kuning Kemangi |
Ketika Hafshah sakit kemarin, ada masa dia susah sekali tidur. Disusuin pun dia tidak tertidur. Dia meraung-raung terus-terusan. Dia baru bisa tidur ketika di-motor-in alias diajak naik motor. Itu pun dia biasanya bangun lagi ketika nyampai rumah. Walhasil baik aku maupun suami benar-benar tidak mendapat kualitas tidur yang baik kala itu. Aku bolak balik terjaga karena berusaha menenangkan Hafshah lewat menyusui sedangkan suamiku bolak-balik keluar rumah untuk naik motor-in Hafshah.
Pernah suatu malam aku merasa sangat babak belur sampai menangis. Saat itu pukul setengah satu malam yang mana kami bertiga baru saja sampai rumah ibuku setelah sekian lama motor-in Hafshah. Iya, malam itu aku memilih ikut motoran karena satu dan lain hal. Kami juga memilih tidur di rumah ibuku karena merasa sangat tidak enak dengan tetangga yang sudah beberapa hari mendengar Hafshah terus-terusan menangis di malam hari. Karena rumah ibuku lebih longgar dan lebih jauh temboknya dari tetangga, maka Insyaa Allah suara Hafshah lebih aman dari telinga tetangga.
Kala itu aku mengatakan ke suami kurang lebih begini,
"Mas lihat nggak hampir tiap malam kualitas tidurku ngga terlalu baik? Aku ngga tidur di kasur karena harus pindah menjauhi Hafshah biar dia ga kebangun-bangun karena mencium bau ASI, aku juga udah beberapa bulan ga bisa makan ayam dan turunannya, aku denger tangisannya Hafshah dari pagi sampai malem. Aku lagi ngerasa babak belur banget."
:(
Ya emang agak drama sih Bun. Aku yakin tanpa bilang gitu pun suamiku juga lihat betapa sulitnya kondisi yang aku hadapi. Karena aku yang nyusuin Hafshah, aku yang harus lebih ketat menjaga makanan daripada dia. Ketika dia masih bisa makan ayam, telur, usus, ati, dll dsb, aku ga bisa sebebas itu untuk makan. Aku harus membatasi makanan yang belum bisa ditolelir oleh Hafshah agar supaya ASI ku ga menyakiti dinding pencernaan anakku. Padahal jujur ayam dan turunannya inilah (utamanya telur) yang gampang ngolahnya. Sat set banget lah pokoknya kalau telur tuh. Dan mereka inilah kelompok protein yang paling affordable dibanding daging dan ikan laut.
Aku yakin suamiku juga merasa iba lihat aku malem-malem pindah dari kamar ke playmate nya Hafshah karena Hafshah sering kebangun-bangun kalau mencium bau ASI. Ketika dia tidur di kasur yang empuk, aku tidur ga di tempat empuk. Terlebih dingin pula wkwkwk karena aku tidur di ruang keluarga, bukan di kamar.
Dan terlebih, suamiku juga tahu aku masih punya trauma dalam mendegar rengekan anak. Dia tahu aku tidak suka mendengar anak menangis. Kenyataannya, aku lah yang menghadapi tangisan Hafshah seharian penuh karena yang bersama Hafshah dari pagi sampai malam adalah aku. Kadang ketika aku mulai tidak sabar, aku tidak bisa lagi tersenyum di hadapan Hafshah. Yang ada aku hanya terdiam memandanginya menangis yang mana di dalam hati aku sangat ingin dia berhenti meraung-raung.
Jangan dikira ketika aku menulis ini berarti aku tidak sayang Hafshah. No! I really love my daughter.
Aku hanya ingin cerita bahwa sebagai manusia biasa aku juga pernah merasa lelah menghadapi keadaan yang tidak nyaman. Dan itu semua bukan salah Hafshah.
Aku hanya ingin mengingatkan diriku sendiri bahwa episode ini Allah hadirkan bukan tanpa alasan. Episode ini adalah bahan evaluasi bagiku dan suami.
Ketika Hafshah tidak nyenyak tidurnya, berarti ada yang salah dengan pencernaannya. Ada yang membuat dia tidak nyaman. Mengapa bisa bermasalah? Ya berarti warisan toksin dari kami ke dia ada banyak. Dinding pencernaannya banyak yang terluka. Instead of merasa kesal kepadanya yang tidak tidur-tidur, harusnya kami minta maaf kepadanya yang karena ulah kami lah dia merasakan ketidaknyamanan ini.
Sungguh evaluasi besar bahwa ketika anak mengalami masalah, yang merasakan kesulitan juga pasti orang tuanya sendiri.
Pernah olahraga tangan (ulek saring) di beberapa bulan awal MPASI |
Ketika Hafshah tidak bisa mentolelir makanan tertentu, itu berarti yang sesungguhnya tidak bisa mencerna makanan itu adalah aku. Karena seharusnya jika makanan itu bisa aku cerna, ASI ku akan bagus kualitasnya. Yang mana harusnya itu akan menutrisi Hafshah, bukan malah menciderainya.
Mengapa bisa aku tidak bisa mencerna ayam dan turunannya? Selain bisa jadi karena saat ini banyak ayam yang sudah dibudidayakan tidak sesuai dengan fitrah dengan disuntik ini suntik anu, tidak merumput dan tidak kena sinar matahari, aku yang dulu sering makan gula, tepung, dan makanan pabrikan tentu membuat dinding pencernaanku banyak yang bolong dan terluka. Alih-alih makanan terserap dalam kondisi molekul terkecilnya, makanan ini malah masuk ke peredaran darah ketika belum terpecah sempurna alias dalam kondisi undigestided food.
Dan ketika aku tidak sanggup mendengar suara tangisan Hafshah, ada PR trauma yang perlu aku selesaikan. Bukan Hafshah yang salah karena memang cara bayi berkomunikasi adalah dengan menangis, tetapi aku lah yang harus work on my own trauma yang bisa jadi ketika kecil (dan mungkin aku tidak ingat) aku disuruh diam ketika menangis oleh orang-orang yang mengasuhku. Yang mana hal ini membuat aku disconnect dengan diri sendiri dan menciderai otentisitasku.
Yes, this is not easy I know. Suamiku bilang dia juga tidak nyaman mendengar suara tangisan tetapi dia jauh bisa lebih sabar ketimbang aku.
I really need help from Allah to overcome it. And it doesn't mean I have to blame my parents or my caretakers.
Aku hanya berharap Allah menyembuhkan berbagai luka yang masih ada agar aku tidak menggoreskan trauma yang sama ke Hafshah. Ternyata sekuat apapun kita ber-azzam untuk tidak marah ke anak, akan tetap sulit dilakukan ketika kondisinya chaos dan kita sendiri masih punya banyak luka.
Aku yakin banyak orang di luar sana juga pernah merasa lelah menghadapi berbagai ketidaknyamanan sebagai orang tua. Namun, having children is more than a blessing. Kehadiran anak adalah karunia yang begitu besar yang tidak Allah beri ke semua hamba-Nya.
Iya, karena aku sudah merasakan betapa sulitnya punya anak, aku tahu rasa tidak enaknya ketika belum memiliki keturunan.
Ga punya anak adalah ujian, punya anak pun juga ujian. Namun, percayalah bahwa di balik ujian ketika membersamai anak, ada banyak kebahagiaan yang hadir bersamanya, iya kan? Karena demikianlah fitrah manusia yang menyukai anak. Anak membawa kebahagiaan dalam hidup kita biidznillah.
Semangat untuk kita semua. Ga papa banget merasa capek dan butuh jeda. Di antara doa yang sering aku ucapkan berkali-kali adalah "Ya Allah, tolong mudahkanlah makannya Hafshah hari ini, perbaikilah pencernaannya, naikkan beratnya, dan nyenyakkan tidurnya."
Karena tanpa taufik dan pertolongan dari Allah, segala usaha itu akan sia-sia.
Selesai ditulis di penghujung malam
19 Jumadil Ula 1446H
Comments
Post a Comment