Hidup Tanpa Privilege Adalah Sebuah Privilege
Bismillahirrahmanirrahim
Baru-baru ini kami mengambil keputusan yang nekat sekali. Keputusan yang kemudian membuat aku berpikir, "Kok berani sekali ya kami memilih jalan ini?"
Lagi-lagi tolak ukurku karena kami bukan orang kaya. Aku menganggap hal ini besar karena aku sadar diri bahwa aku tidak sekaya itu untuk mengambil keputusan ini.
Jujur, aku lelah berpura-pura pada laman blogku sendiri. Selama ini aku menahan diri untuk tidak menceritakan salah satu hal yang terjadi di hidup kami. Aku sengaja tidak ingin cerita di sini karena ya kami sendiri masih bingung bagaimana kelanjutannya. Terlebih, sebenarnya aku takut kena ain jika cerita-cerita. Aku takut kami tidak jadi berangkat karena ada yang hasad kepada kami.
Namun sekarang aku sudah tidak peduli mau kena 'ain atau tidak kalau orang lain tahu. Toh nyatanya memang pintu ini belum terbuka untuk kami. Final acceptance belum aku dapatkan dan aturan dari Saudi pun, mahasiswi tidak bisa nemerbitkan visa untuk suami dan anak.
Selama berbulan-bulan kami sudah berusaha agar suami dan anakku ikut terangkut ke Saudi, tetapi jalan itu belum Allah bukakan hingga hari ini.
Mangga yang mau hasad, waktu dan tempat dipersilahkan |
Setelah aku pikir kembali, sepertinya keinginan ini terlalu dipaksakan. Di antara aku dan suami, suamiku lah yang lebih harus didahulukan untuk membangun karir. Jika dia ikut ke Saudi, mau kerja apa setelah kembali ke Indonesia nanti? Sedangkan saat ini dia sedang membangun karir di tempat dia bekerja.
Pada akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa jika suamiku tidak bisa terangkut ke sana maka aku tidak akan berangkat. Aku sudah sampai pada tahap, berangkat Alhamdulillah, tidak berangkat tidak masalah. Karena lagi-lagi ada prioritas lain yang juga aku pikirkan, yaitu suami dan anakku.
Karena ketidakpastian ini, aku dan suami mengambil pilihan lain yang cukup menakutkan. Dan tadi pagi aku mencoba merenungi hal ini. Apakah sanggup kami menyelesaikannya nanti?
Kami bukan orang kaya. Kami bukan pewaris. Rumah masih ngontrak. Tidak punya mobil. Pendapatan bulanan juga tidak fantastis. Rasanya tidak ada privilege yang kami punya untuk hal ini.
Nmun kemudian aku sadar bahwa have no privilege adalah sebuah privilege. Karena dengannya kita akan semakin mudah mengakui kelemahan kita sebagai manusia. Kita pun juga semakin mudah untuk mengemis dan menghamba kepada-Nya. Menggantungkan harapan akan kasih sayangnya dan memohon agar Dia menolong kita.
Bukankah ada banyak sekali kejadian hidup yang telah kita lalui dan pertolongan Allah begitu besar di dalamnya? Mengapa kemudian kita jadi ragu dengan jalan yang sudah kita pilih sendiri?
Tentu maksudku tidak punya privilege adalah hal yang berhubungan dengan duniawi. Adapun menjadi muslim adalah sebuah privilege tak terkalahkan dibanding apapun juga.
Sebagaimana aku ceritakan di postingan sebelumnya, hati manusia tidak akan pernah puas dengan apa yang telah ia raih. Dia akan meminta lebih, lebih, dan lebih. Dan demikian pula dengan aku. Terkadang aku merasa apa yang aku sebut dalam doa tidak selaras dengan apa yang aku lakukan di dunia nyata. Bukan karena aku tidak ingin mewujudkan sesuai apa yang aku doakan, tetapi karena aku mampunya baru begini.
Iya, aku mampunya baru begini.
(Ngetik ini sambil berkaca-kaca)
Aku tidak pernah tahu akhir dari kehidupan ini. Pun aku juga tidak punya kuasa untuk mengubah hal-hal besar yang terjadi. Namun, semoga Allah ridha dengan apa yang bisa kami usahakan ini.
---
Ditulis di penghujung hari
18 Muharram 1447H
Comments
Post a Comment