Cerita Penyapihan Hari Keempat: Pertahanan Emosi Jebol Juga
Bismillahirrahmanirrahim
No one has written a manual book about weaning. No one said that this would be very hard emotionally.
And yet, nurturing children seems to be that easy according to society. There is no trophy for a struggling mother. Because being only a mother is not that prestigious in the eyes of the capitalism era.
Tidak ada orang tua yang sempurna. Itulah kenyataan yang terjadi. Dan sebagai orang tua, faktanya kita tidak bisa selalu stabil secara emosi untuk menghadapi dinamika pengasuhan ini. Ada kalanya kita bisa sabar, menerima, menjalani dengan ridha, tetapi ada pula saat kondisi kita sedang tidak baik-baik saja sehingga respon kita pun sebaliknya.
Iya, kita cuma manusia biasa. Yang bisa marah, lelah, dan kecewa. Manusia yang tidak selalu bisa mempertahankan emosinya.
Dan inilah yang terjadi di hari keempat. Ketika pertahanan emosiku akhirnya jebol juga.
Sejak pagi Hafshah melihatku dengan cemberut dan tatapan murung. Aku berencana membawanya jalan-jalan ke Kebun Binatang karena dia suka melihat kelinci. Sebelumnya aku akan mengambil sepeda dorong di rumah ibuku agar kami bisa jalan-jalan dengan lebih nyaman.
Setibanya di rumah ibuku, Hafshah tetap tidak ceria. Saat aku naikkan ke sepedanya untuk mencoba jalan sambil mendorong sepeda, dia marah, teriak-teriak, dan menangis. Sejujurnya demikianlah ia beberapa hari ini. Seolah apapun yang aku lakukan salah. Ditawari apapun tidak mau. Diajak kemanapun marah-marah. Dan salah satu hal yang sangat menguras emosi adalah dia seperti sengaja melakukan hal-hal yang memancing emosiku seperti menjedotkan kepada ke lantai/tembok.
Di sana lah akhirnya aku benar-benar lelah secara jiwa. Ditambah lagi aku kurang tidur di hari sebelumnya. Segala tumpukan kejadian ini kemudian membuat aku mengatakan, "Hafshah, masih butuh ibu atau engga? Kalau engga, Hafshah sama bapak aja ya."
Iya, aku tahu, tidak selayaknya mengatakan demikian. Anak sekecil dia pun mungkin tidak paham. Tapi aku lelah menghadapi emosinya. Dan maaf, aku cuma manusia biasa.
Sesampainya kembali di rumah, aku serahkan Hafshah ke suamiku karena aku sangat ngantuk dan butuh istirahat. Lagi-lagi suamiku izin karena dia sadar aku belum mampu menghadapi proses ini sendirian. Ketika aku naik ke lantai dua untuk tidur, Hafshah mengejar-ngejarku sambil menangis dan mengatakan "Ibu..ibu..ibu.."
Jujur aku lelah. Aku sedang kurang tidur. Emosiku tidak baik-baik saja. Dalam hati aku berkata, "Tadi waktu ibu ada buat Hafshah, ibu ga dianggap. Sekarang ibu mau menghilang dari pandangan Hafshah, ibu dikejar-kejar. Hafshah maunya gimana?"
Orang dalam kondisi normal pasti paham bahwa anak kecil memang tidak bisa diharapkan emosinya. Namun, aku dalam kondisi tidak normal kala itu. Unbalance. Ada kebutuhan dasarku yang belum terpenuhi dengan baik, yaitu tidur, sehingga jika aku paksakan aku berpotensi meledak.
Aku memilih tidur karena ada suamiku yang menjaga Hafshah. Aku meninggalkan mereka sejenak karena aku butuh jeda atas turbulensi emosi anakku beberapa hari terakhir.
Setelah bangun dari tidur, aku melihat suamiku sedang membaca tab dan Hafshah sedang tidur di sampingnya. Ternyata suamiku sedang belajar tentang menyapih lewat aplikasi riset Google. Ia mencari tahu solusi dari hal-hal yang men-trigger aku dan mengajak aku membaca bersama.
Dari hasil yang kami dapat, hari ke-3 ke atas adalah hari yang menguji konsistensi. Akankah orang tua bertahan untuk tidak menyusui atau kalah dengan tangisan dan tantrum anak yang minta disusui. Alhamdulillah, sejauh ini kami tidak tergiur untuk memberi ASI lagi. Alhamudlillah, kami masih berada di jalur yang benar.
Namun, menurut hasil riset itu juga, di masa-masa ini anak sedang sangat merasa kehilangan sehingga sangat butuh diberikan kasih sayang. Hal ini agar dia tahu bahwa kenyamanannya lewat menyusui tidak akan hilang karena ada kenyamanan lain dari orang tuanya.
Iya, aku tahu hal itu. Dan aku juga mengakui bahwa apa yang terjadi tadi pagi bukan hal yang dibenarkan. Namun, sekali lagi, pertahanan emosiku jebol karena ada kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Dan ini akan menjadi catatan penting bagiku jika Allah beri kesempatan punya anak kedua dan seterusnya, yaitu memenuhi kebutuhan diri sendiri agar tidak terjadi turbulensi emosi.
"Sabar, hal ini ga akan lama. Beberapa hari lagi Insyaa Allah semua akan kembali normal." Begitu kesimpulan dari riset tersebut. Bahwasanya memang butuh waktu kurang lebih sepekan untuk proses transisi ini.
"Maaf ya Nak, tadi ibu butuh tidur, maafkan ibu yang tadi demikian ya Nak," ucapku kepada Hafshah ketika kondisi sudah tenang.
Hal yang harus aku syukuri adalah walau Hafshah naik turun emosinya, dia tetap mau makan. Dia makan ayam, kentang, labu siam, pisang, telur, dan di hari ke-4 ini aku memberinya butter. Mengapa butter? Karena dia kehilangan lemak dari ASI dan salah satu hal yang bisa menggantikannya adalah butter dan alpukat. Walau kami sudah sedia alpukat banyak, dia sama sekali tidak tertarik dan marah-marah jika ditawari alpukat.
"Jadi begini ya rasanya tidak dianggap dan ditatap dengan tatapan marah oleh anak. Apa kabar ibuku yang selama ini menghadapi aku seorang diri?" begitulah pikiran yang muncul di benakku.
Sebagaimana hubungan orang tua dan anak yang banyak terjadi di luar sana, aku dan ibuku tidak selalu baik-baik saja relasinya. Ada kalanya kami sangat dekat, tetapi ada kalanya kami salah paham dan berbeda pendapat. Ada kalanya kami butuh berjarak sementara waktu karena jika bersama akan saling melukai. Walau demikian, ternyata seorang ibu tetap membutuhkan ibu. Rumah ibuku adalah tempat yang aku kunjungi ketika aku tidak lagi sanggup sendiri mengurus Hafshah karena suamiku hanya izin 1/2 hari.
Bukan tanpa sebab aku memilih keluar dari rumah di saat seperti ini: Hafshah ngompol di kasur dan jika kami tetap di rumah, kondisi akan semakin chaos karena dia berpotensi mengacak-acak barang dalam situasi tidak stabil emosinya.
Terlebih aku belum makan dan butuh ada orang yang memegang Hafshah sejenak selagi aku makan. Makan adalah kebutuhan dasar kan? Ketika lapar melanda, seorang ibu akan rentan marah karena lagi-lagi kebutuhan dasar itu menuntut untuk dipenuhi.
Ibuku mengatakan, "Gimana kalau beli susu aja?"
Oh iya benar juga. Namun, bukan susu sapi murni yang akan kami beli karena berbekal pengetahuanku tentang GAPS, umumnya manusia banyak yang belum bisa mengonsumsi susu sapi. Aku memutuskan membeli susu etawa murni dengan menerjang jalanan sore hari yang sudah agak padat dan sinar matarahi yang nyentrong.
Sesampainya di rumah ibuku lagi, Alhamdulillah Hafshah suka sekali susu etawa murni tersebut. Dia habis banyak dan emosinya perlahan membaik. Pelan-pelan dia bisa diajak melihat gambar di buku dan bercanda. Pun di malam hari dia juga lebih stabil emosinya.
---
Apakah ini puncaknya? Apakah setelah ini ia akan ceria sebagaimana biasanya? Baca ceritanya di postingan berikutnya.
Selesai ditulis di malam hari
28 Jumadil Tsani 1447H
Comments
Post a Comment