Bukan Sekedar Pindah ke Kontrakan

Bismillahirrahmanirrahim

Halo blog! Lama ga update kehidupan di sini. 

Tulisan ini aku buat dini hari as usual ketika Hafshah tidur di Ketintang Iya, di Ketintang. Bukan di Jambangan lagi karena kami resmi menjadi kontraktor setelah tiga tahun tinggal bersama ibuk.

Kelihatannya sih hanya pindah rumah, tetapi kenyataannya ada banyak kisah di baliknya yang ingin aku tuliskan di sini.

So here we go!

Menyala dapurku


Mungkin dimulai dari pertanyaan, "Mengapa pakai pindah rumah segala? Bukannya enak tinggal sama orang tua? Dibantu ngurus rumah dan ngurus anak kan?"

Iya, emang kalau dilihat dari sisi itu sih enak banget. Terlebih di rumah orang tua, kami terhindar dari gangguan musik dan asap rokok. Kami juga terhindar dari gangguan speaker masjid yang sering kali ga kira-kira kalau bunyi. Plus juga di rumah orang tua, kami tidak memikirkan biaya sewa rumah yang JUJUR MAHAL BANGET WKKWKWK.

But, in the end, tinggal bersama mertua ternyata melukai sisi maskulin suamiku. Suamiku tidak bebas karena ya memang kami tinggal di rumah ibuku. 

Padahal, fitrahnya laki-laki itu butuh teritori ((dah kayak kucing yekan? wkwkw)). Dan juga fitrah mereka adalah providing. Mereka butuh tempat untuk menjadi satu-satunya pemimpin. Dan mereka butuh untuk bisa mem-provide kebutuhan-kebutuhan keluarganya.

Akhirnya gorden jaman kuliah bisa kepake lagi


Ibuku sangat baik kepada kami. Namun, memang jika kami terus-terusan disuapi, kapan kami bisa belajar mandiri? Padahal kami butuh untuk menjadi orang dewasa seutuhnya. Dan padahal kami sudah menjadi orang tua. Tentu tinggal bersama ibuk bukan pilihan yang tepat jika dilihat dari sisi ini.

Terlebih, asatidz pun juga mengingatkan untuk tidak tinggal seatap dengan orang tua jika memang kondisinya tidak mendesak. Bagaimanapun, tinggal bersama orang tua akan rawan konflik. Karena orang tua punya pola hidup dan pandangannya sendiri, kita pun juga punya pola hidup dan pandangan sendiri.

Sebagaimana nasihat Ustadz Fadlan hafidzahullah, "Lebih baik beda rumah tapi satu hati, daripada satu rumah tapi hati terpecah". Karena tinggal bersama orang tua/mertua rawan konflik, sebaiknya memisahkan diri agar terhindar dari konflik-konflik tersebut.





Keputusan pindah ini jujur saja sangat sulit untukku sendiri. Entahlah, ada rasa bersalah yang menyelimuti jika aku meninggalkan ibuku sendirian. Rasa yang sama yang aku rasakan di tahun 2013 ketika aku ingin kuliah di ITB dan tidak diizinkan oleh ibuku karena beliau tidak mau sendirian. Aku tidak tahu apakah rasa bersalah ini memang ditanamkan ke aku sejak kecil atau dia muncul sendiri sebagai mekanisme balas budi yang begitu manusiawi karena telah dibesarkan seorang diri oleh ibuku.

Namun...

Lagi-lagi, Allah membimbingku pada banyak hal dan petunjuk yang membuat aku yakin untuk mengikuti keinginan suamiku untuk pindah rumah. Selama kurang lebih satu tahun berpikir dan merenung, mendengarkan kajian, meminta petunjuk, dan istikarah, akhirnya aku mantap dan yakin untuk pindah karena inilah pilihan yang terbaik.

View dari kontrakan


"Lalu bagaimana dengan ibuk yang seorang diri Ma?"

Aku tahu, menyarankan ibuku untuk menikah lagi bukan hal yang mudah. Ibuku sudah 20 tahun lebih hidup menjanda. Sisi maskulin beliau sangat terasa. Akan sulit bagi beliau untuk kembali dipimpin seorang laki-laki setelah sekian lama menjadi independen. Terlebih beliau sendiri pun mengatakan tidak ingin punya banyak masalah di hari tua.

Iya aku paham. Menikah lagi bukan perkara yang mudah. Ada orang baru ((dan mungkin keluarga baru)) yang akan bergabung ke keluarga kami. Yang mana hal itu tidaklah simpel. Karena tidak semua anak meninginkan bapaknya menikah lagi. Ada anak-anak yang tidak ingin bapaknya menikah lagi agar harta warisnya tidak terbagi ke ibu baru. Ada anak-anak yang background nya jauh dari agama yang mana hal ini akan menyulitkan ibuku. Daan...menyatukan dua keluarga tidaklah mudah bukan? Kecuali bagi yang Allah mudahkan.

Iya, menikah lagi tidak sesimpel itu...

Namun, aku teringat nasihat Ustadzah Imroatul Azizah hafidzahallah yang kurang lebih bahwasanya semoga dengan kita menuruti suami, ada 'keajaiban' yang Allah datangkan. Bisa jadi mungkin ada jalan keluar yang tak pernah kita sangka seperti sanak saudara yang tiba-tiba butuh tinggal di Surabaya atau jalan keluar lain yang tidak terpikir oleh logika. Beliau menasehati demikian karena beliau sendiri pun pernah mengalami hal yang kurang lebih sama dan biidznillah ada sanak saudara ibu beliau yang Allah datangkan untuk tinggal di sekitar ibu beliau. Alhamdulillah.

Bersama ibuk ke Halal Market


Kami pun sengaja mencari kontrakan yang tidak jauh dari rumah ibuk. Tujuannya agar ibuk tidak merasa sendiri. Bahwasanya kami masih di sini, di sekitar beliau. Kami tetap menyayangi beliau walau sudah tidak tinggal satu atap lagi.

Daan jujur, CARI KONTRAKAN GA SEMUDAH ITU TERNYATA HAHAHA. Ya bayangin aja, kami mencari selama satu tahun. Dari jaman hamil Hafshah sampai anaknya udah MPASI. Dari muter-muter Sidoarjo biar dapet yang murah, sampai ya akhirnya balik ke sini-sini lagi hehe.

Dulu ketika tinggal di Bali, kami sengaja cari kos dekat masjid. Rasanya seneng banget tinggal dekat masjid karena masjid di dekat kami tinggal kala itu bukan sekedar masjid untuk beribadah tetapi juga untuk kegiatan lain. Kami merasa begitu terayomi dan punya keluarga baru di pulau minoritas muslim.

Namun, di Surabaya, kami justru cari kontrakan yang ga tetanggaan sama masjid. Mengapa? Sorry to say, suara masjid di sini seringkali mengganggu. As you know, Jatim adalah basisnya NU, menjelang shalat ada aja suara puji-pujian yang kencengnya ga kira-kira. Belum lagi kalau Kamis malam, acara-acara yang ga ada tuntunannya itu bisa sampai malem banget ganggu orang istirahat hehe.

Nyari kontrakan spesifikasi begini nih yang susah. Asli susah banget gaes. Ada kontrakan dah cocok lokasi, harga, dll gitu, eh ternyata pas kesana menjelang waktu shalat, kedengeran suara masjid yang kenceng luar biasa. Ada juga kejadian udah nemu kontrakan yang cocok banget, eh waktu mau dibayar, ternyata didului orang lain wkwkwk.

And yes, pada akhirnya kontrakan kami inilah pilihan yang terbaik dari segi lokasi, harga, dan terhindar dari gangguan puji-pujian. Walau memang kontrakan kami ada juga kurangnya, tetapi setidaknya inilah yang mendekati ekspektasi kami.


Tanda cinta untuk kekasihku


Pada akhirnya, di proses pindahan ini, aku ingin berterima kasih kepada my other half yang sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk aku dan Hafshah. Dari proses pindahan ini, suamiku benar-benar mengasah sisi maskulinnya dan aku juga belajar kembali ke fitrah feminimku.

Aku sengaja tidak mendikte suamiku agar inisiatifnya jalan. Dan agar aku berusaha embrace skill untuk nurut.

Dari proses milih kontrakan, nyari mesin cuci, kulkas, kompor, nyari duit buat bayar kontrakan, I let him to do all the things. Bahkan dia sendiri yang ngerenovasi kontrakan dari mulai tembok, atap sampai per-pipa-an. And he looks so happy for that. Dia terlihat sangat bahagia karena bisa melakukan itu semua. Dan aku juga bahagia karena ga pusing mikirin dan ngelakuin hal-hal yang bukan menjadi ranahku.

Sebagaimana kita tahu, di era ini banyak sekali istri yang suka mendikte suami karena merasa suaminya ga sat set. Banyak istri yang ga sabaran dengan apa yang sedang diusahakan suaminya sehingga merasa perlu ikut campur. Dan hal ini, jujur saja akan melukai fitrah maskulin suami yang harusnya menjadi the only leader

Kalau fitrahnya udah pada kebalik, maka jangan heran kalau ada suami yang lembek, suka leha-leha ga cari nafkah dan malah mengandalkan istrinya, dan ga bisa ambil keputusan. Dan jangan heran juga kalau ada istri yang ngerasa overwhelmed, merasa berjuang sendiri, dan merasa tidak dinafkahi.

See? Kelihatannya cuma pindah rumah, tapi kami sama-sama sedang mengasah fitrah kami masing-masing.

My high school classmate. Thanks for being my soulmate. Bagi orang lain ini hanyalah foto dari belakang. Namun, foto ini menyimpan kisah yang begitu berharga di baliknya.


That's it. Demikian update kehidupan yang ingin aku bagi kali ini.
Terima kasih blog sudah menjadi wadahku untuk menyimpan banyak kenangan dan pelajaran hidup.

Ditulis dengan penuh rasa lega.
30 Dzulhijjah 1445H


Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!