Bismillahirrahmanirrahim
Hi everyone! Tulisan ini aku tulis dalam perasaan begitu lega karena telah memutuskan perkara yang selama ini begitu berat untuk aku lepaskan. Iya, pada akhirnya aku memutuskan untuk resign (lagi) hehe.
Long story short, ketika hamil Hafshah dulu Alhamdulillah aku di-hire untuk mengerjakan finance & accounting sebuah perusahaan gym khusus muslimah di Surabaya. Seneng? Iya dong pasti. Kan dapet duit hehe. Banyak lagi duitnya (kalau dibandingin ngajar).
Plus juga mengasah kompetensiku di bidang Akuntansi yang memang selama beberapa tahun terhenti karena aku yang menjauh dari dunia Akuntansi karena takut berhubungan dengan riba dan segala apa yang dilarang oleh syari'at. Fyi, kerja di bidang keuangan emang kudu hati-hati karena banyak banget yang nyerempet sesuatu yang haram. Dan nyari tempat yang founder nya paham syari'at itu rada-rada susah. Meanwhile aku kerja di perusahaan ini bukan dengan rekrutmen terbuka, tetapi karena foundernya kenal aku jadi aku di-hire. Para founder nya pun orang-orang yang ngaji Alhamdulillah.
Plus juga pekerjaan ini bisa aku lakukan di rumah. Boleh dikerjakan kapan aja yang penting beres. Aku juga dapet akses gym gratis sesukaku. Daaan beberapa bulan kerja di sana aku diangkat jadi head of finance, dah kayak wong yes kan? wkwkwk. Bisa buat nambah-nambahin portofolio di Linkedin.
Oke enak banget kan kerja di situ. Sudahlah ga perlu keluar rumah, dapet duit pula. Pegawainya juga para muslimah semua kecuali konsultan pajaknya. Dan aku bisa ngerjain kapan aja waktu Hafshah tidur. Jadi secara fisik aku hadir buat Hafshah karena ga perlu keluar rumah plus aku dapet uang juga hehe.
|
Ternyata ibu-ibu yang olahraga sama keluarganya itu adalah aku |
Namun ternyata, hadir secara fisik saja tidaklah cukup. Pekerjaan ini, walau bisa aku lakukan ketika Hafshah tidur, sedikit banyak memang membuat attachement ku dengan Hafshah menjadi terganggu. Mau tidak mau aku akan kepikiran dengan Laporan Keuangan yang belum selesai. Mau tidak mau aku memang dibutuhkan untuk stand by koordinasi dengan tim lain melalui handphone. Dan mau tidak mau perhatianku terbagi antara urusan rumah, anak, dan pekerjaan.
|
Ada yang kayak aku ga sih? Banyak urusan belum selesai tapi malah deep cleaning hehe |
"The gut, our gut, our human’s gut itu highly sensitive to wounds of rejection. And the origin is most often the rejection from our own mother."
Begitulah nasihat yang aku dapat ketika konsultasi ke salah satu guruku tentang pertumbuhan Hafshah yang di mataku sempat terganggu dan aku tidak tahu akar masalahnya. Ternyata salah satunya karena ini. Wound of rejection. Luka karena penolakan.
Dan penolakan ini tentu jangan dipahami ketika seorang ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya. Tidak seperti itu. Penolakan ini terjadi bisa jadi tanpa sadar ketika ibu memilih melakukan hal lain saat anak butuh perhatiannya. Ketika ibu pikirannya bercabang untuk berkarya di tempat lain sedangkan urusan anaknya banyak yang belum selesai. Ketika seharusnya anak menjadi prioritas perhatiannya, tetapi ia punya prioritas lain untuk mengejar pemenuhan self actualization nya sendiri. Sounds so familiar untuk ibu-ibu jaman now kan? *Nampar diri sendiri
|
Nasihat beliau yang sangat deep |
Terlebih sudah lama suamiku ingin pikiranku fokus untuk urusan rumah saja. Mungkin ragaku di rumah, tetapi dengan amanah di tempat lain, bisa jadi pikiranku malah kemana-mana.
Hanya saja selama ini aku masih berat melepaskan pekerjaan ini. Aku selalu mencari pembenaran bahwa pekerjaan ini tidak membuatku keluar rumah. Pekerjaan ini membuat aku berdaya. Pekerjaan ini membuat aku mengaplikasikan ilmu semasa kuliah. Dan semisalnya dan semisalnya.
Dan ternyata, satu alasan besar yang membuat aku berat melepasnya adalah karena pekerjaan ini menutupi ketakutanku akan kekurangan harta. Iya, padahal kami Alhamdulillah tidak kekurangan harta. Namun, ada rasa takut yang ternyata belum selesai yang membuat aku berambisi punya penghasilan sendiri.
|
Tempat jemur sehari-hari |
We listen, we don't judge.
Kalau ibunya sibuk, anaknya yang jadi korban. Dan kasus di lapangan sudah banyak. Ada anak yang terbengkalai makannya karena orangtuanya tak sempat masak dan berakhir mengandalkan UPF terus. Ada anak yang tidak disusui karena ibunya punya banyak urusan dan akhirnya berakhir sufor. Ada anak yang terbengkalai kebutuhan geraknya karena orang tuanya tak punya waktu membersamainya seingga dikasih screentime terus. Ada anak yang kehilangan attachement dengan orang tuanya karena kedua orang tuanya fokus pada karir dan akhirnya mencari perhatian dengan cara yang di mata orang dewasa adalah sebuah bentuk kenakalan. Dan sebagainya dan sebagainya.
Namun, menurutku semua ibu itu berproses. Semua ibu berproses untuk pelan-pelan melepas segala keambisan duniawi yang ingin dia kejar untuk kemudian menjadi nyaman dengan peran barunya sebagai seorang ibu saja. Iya, banyak orang yang belum mudah melepaskan label dirinya di masa lalu. Label dirinya yang seorang juara kelas, label dirinya yang berpenghasilan sekian dan sekian, atau label-label lainnya yang membuat ia merasa tak berdaya jika hanya bergelar sebagai seorang ibu.
Dan proses setiap orang tidaklah sama. Ada temanku yang tidak bekerja tetapi ketika di awal menjadi ibu dia sangat berambisi menduduki posisi tertentu pada sebuah komunitas ibu-ibu. Ada temanku yang tidak keluar rumah tetapi sibuk jualan online ketika anaknya masih kecil. Dan ada temanku yang suaminya bekecukupan tetapi sibuk mengajar online kesana kemari ketika baru punya anak.
See? Ini bukan tentang wanita karir atau bukan. Ini adalah tentang prioritas perhatian. Walau raga di rumah pun, jika pikiran tidak dirumahkan maka urusan anak pasti terbengkalai.
Satu pertanyaan besar untuk diriku sendiri, "Tidakkah menjadi ibu saja sudah cukup membuatmu sibuk?"
|
Semoga Allah izinkan kami punya rumah yang bermanfaat untuk umat seperti ini |
Dan tentu jawabannya adalah iya. Menjadi ibu saja sudah membuatku sangat sibuk. Sibuk memikirkan menu makannya Hafshah, perkembangannya Hafshah, pendidikan terbaik untuk Hafshah, dan semisalnya. Urusan makan Hafshah yang sedang aku usahakan sesuai GAPS saja belum terlihat ujungnya. Urusan kurikulum pendidikan untuk Hafshah juga belum matang konsepnya.
Dan ketika aku nambah-nambahin beban hidup dengan mengambil amanah pekerjaan yang mana sebetulnya suamiku tidak setuju akan hal itu, apakah hatiku akan tenang? Tentu saja tidak.
Mungkin aku terlihat berdaya di luar. Terlihat hebat karena bisa mengurus rumah sekaligus punya penghasilan. Tapi jauh di dalam aku menjadi rapuh karena tubuhku sendiri yang aku korbankan. Iya, aku jadi harus bangun tengah malam agar segala urusan ini selesai sesuai kebutuhan. Yang mana urusan rumah pun beberapa kali jadi keteteran.
|
Beberapa hari menjelang ga makan nasi lagi. Btw itu yang bener tetep pakai lengkuas ya |
|
Semoga istiqomah dimanapun dan kapanpun
|
Maka Alhamdulillah melalui perdebatan batin yang panjang, aku memutuskan resign (untuk kedua kalinya). Jika dulu aku resign karena tempat kerja yang ikhtilat, membuat aku jauh dari suami, membuat aku keluar rumah, sekarang aku resign karena aku tidak hanya ingin merumahkan raga tetapi juga jiwa. Aku ingin fokus perhatianku ada untuk rumah. Ada untuk suami dan anakku.
Bukankah punya suami dan anak adalah nikmat yang tidak ternilai harganya? Teringat slogan yang pernah aku baca di jalan, "Laksanakanlah tugasmu sebagai bentuk rasa syukurmu."
Dan tugas utamaku lagi-lagi adalah soal rumah. Bukan tentang aktualisasi diri semu dengan dalih ingin berdaya. Mengurus anak, merapikan rumah, membuat rumah menjadi tempat yang nyaman bagi suami untuk pulang juga merupakan bentuk keberdayaan yang butuh kesungguhan untuk melakukannya. Butuh tenaga dan effort untuk menjalankannya dengan maksimal.
Betapa sering mungkin seorang suami tidak merasakan kenyamanan batin ketika istrinya sibuk kesana kemari. Betapa sering cucian menumpuk ketika pekerjaan rumah terus ditunda oleh sang instri. Betapa sering anak menjadi sasaran amukan ibu yang sedang burn out karena banyaknya tugas yang harus ia selesaikan. Dan lagi-lagi, apakah hal yang kita sebuat sebagai 'aktualisasi diri' yang semacam ini akan mendatangkan ketenangan? Tentu kita tahu jawabannya.
|
Danau Unesa Ketintang Surabaya |
Jadi, ya begitulah. Alhamdulillah Allah mudahkan aku untuk melepas hal yang selama ini berat untuk aku lepas. Surat pengajuan resign sudah aku kirim. Calon pengganti pun Alhamdulillah sudah ada. Semoga akhir bulan ini aku bisa selesai dengan amanah sebagai seorang Akuntan di tempat ini.
Sungguh bersyukur Allah beri kesempatan mengerjakan Akuntansi, tetapi bukan hal ini yang menjadi tanggung jawab terbesarku saat ini. Jikalau menurut Allah aku pantas mengemban amanah ini lagi, mungkin nanti ketika anakku besar dan aku sudah punya waktu untuk diriku sendiri lagi.
Sebagai penutup dari postingan ini. Aku ingin berbagi sedikit cuplikan dari kelas Applied Quantum Biology for Children's Growth and Health yang semoga bisa kita ambil ibrahnya.
Life sustain by the balance generated from the rhythmic cycle in nature.Untuk membuka kelas hari ini aku refresh lagi ingatan kita semua bahwa life sustain by the balance generated from the rhythmic cycle in nature, from daily cycle, weekly cycle, monthly cycle, seasonal/yearly cycle. Jadi semua kehidupan yang ada di atas muka bumi ini itu ditopang oleh yang namanya keseimbangan dan keseimbangan itu secara natural didesain oleh Allah itu bisa didapatkan karena ada siklus-siklus ini.
Jadi setiap siklus ini gak mungkin naik terus, ada turun gitu ya. Naik terus ya enggak akan imbang, kalau turun terus enggak seimbang juga. Jadi siklus itu adalah salah satu cara natural dari alam yang itu didesain oleh Allah untuk menopang keseimbangan sehingga enggak ada yang berlebihan dan enggak akan ada yang kekurangan. Semuanya akan tercukupi secara seimbang. Hidup itu ditopang oleh keseimbangan yang berasal dari siklus-siklus ini.
Makanya kalau kita bicara tentang siklus, apapun living being itu pasti ada siklusnya. Begitu juga kehidupan manusia, kehidupan sel, kehidupan amuba, dan semuanya itu ada siklus di dalam badan manusia aja itu siklusnya ada banyak sekali gitu. Jadi siklus ini adalah yang menopang seluruh kehidupan.
As all process that occur in the universe, the process of child development has its own rhythms and cycles as well. Jadi termasuk juga tumbuh kembangnya anak-anak, kadang-kadang kita tuh suka ngelihatnya karena di dunia yang dengan pemikiran yang linear ini kita selalu melihat apa-apa tuh harusnya maju terus gitu ya, jadi sehingga ada sebuah ilusi (1) linear dan (2) berbasis kompetisi. Sehingga akan ada ilusi bahwa lebih cepat itu lebih baik.
Sehingga kita ketika enggak tahu yang namanya siklus-siklus ini ada dan siklus-siklus ini perlu untuk terjadi, tendensi kita atau ilusi kita itu bahwa hidup tuh pasti maju terus enggak ada mundurnya dan slogan-slogan lanjutannya gitu kan banyak ya, itu akhirnya kita akan ngarepin ayo cepat habis ini apa, habis ini apa, habis ini apa, dan itu adalah salah satu hal yang merebut the quality of the moment in our life.
Jadi ketika kita hari ini di sini pun kita enggak benar-benar di sini, waktu kita ada di hari ini, kita ngebayanginnya besok, pekan depan, tahun depan, pas kita udah tahun depan yang kita bayangin tahun depannya lagi. Jadi karena adanya sebuah ilusi bahwa hidup itu harus maju terus dan itu linear satu arah, plus kita ada berbasis kompetisi itu jadi kita ada perasaan semakin cepat itu semakin baik.
Padahal kalau kita paham yang namanya siklus, kita tuh perlu untuk menghargai bahwa setiap hal itu ada waktunya dan ada tempatnya, sehingga mudah-mudahan dengan memahami hal itu kita bisa lebih memahami dan lebih menghayati dan lebih membadani kualitas dari setiap momen. Bahwa kalau kita hari ini di sini, saat ini di tahap ini, yang perlu kita lakukan adalah embracing this very moment dan melakukan yang terbaik karena ini adalah momen terbaik untuk melakukan apa yang bisa kita lakukan hari ini. Jadi kita bisa lebih here and now, enggak terus mikirin dan menginginkan sesuatu yang kita belum punya, sesuatu yang belum ada.
|
A kind reminder for my self |
Demikian sedikit cuplikan kelas tersebut.
Being here and now. Para ibu, cobalah untuk lebih hadir untuk anak-anakmu. Tidak semua harus kita genggam. Lepaskan yang perlu dilepaskan.
Berat ya? Sama, aku juga merasakannya. Tapi mungkin saat-saat ini tidaklah lama. Akan ada masa anak tumbuh dewasa. Dan mungkin saat itu terjadi, kita akan sangat menyesali diri kita sendiri yang tidak maksimal dalam mengemban amanah sebagai ibu dan istri.
Selesai ditulis di siang hari
Semoga Allah mudahkan proses resign ini
21 Rajab 1446H
Comments
Post a Comment