Satu per Satu
Bismillahirrahmanirrahim
Beberapa hari ini aku sedang asik mengamati
Mengamati apa yang ada di sekeliling dan apa yang ada di sekitar
"Hebat bener deh dia, tulisannya udah melalang buana dimana-mana..."
"Keren banget, pendidikannya udah sampai sini situ..."
"Receh banget ga sih aku kalau dibandingin sama hidup dia..."
Beberapa hal yang terbesit dalam pikiranku ketika mengamati orang lain
Lantas aku pun entah mengapa ingin menanyakan hal ini pada warganet
Apa sih sebenernya yang kita kejar setelah lulus kuliah?
Satu dua orang menanggapi, bukan menjawab tapi memintaku untuk membagikan hasil jawaban dari warganet.
Hmm...tanda bahwa ternyata pertanyaaan ini tidak hanya ada di benakku saja.
Beberapa tanggapan nitizen adalah sebagai berikut:
Anak yang berbakti dan calon ibu yang shalihah
Karir yang mapan
Ketenangan batin di dunia dan bekal mati di akhirat
Koreksi diri, bukan jabatan bukan penghasilan
Career achievment and social contribution
Dan yaa...
Dua jawaban terakhir begitu menarik perhatianku
Jujur, aku tahu kok, di usia usia seperti ini semangat untuk social contribution begitu besar dan sangat besar menurutku. Banyak ide bermunculan, banyak aksi ingin dilakukan, ingin ini ingin itu, ingin mengubah ini dan mengubah itu.
Apa itu salah? Engga, ga salah sama sekali kok, bagus malah,
Tapii, ada satu sisi yang aku rasa banyak dari pemuda yang lupa akan sesuatu hal yang krusial, yaitu...
Koreksi diri.
Coba deh, coba dipikir lagi, apa sih yang paling akan kita pertanggungjawabkan di akhirat nanti?
Tentang shalat kita kah atau tentang shalat orang lain?
Tentang puasa kita kah atau tentang puasa orang lain?
Tentang pengetahuan kita akan ilmu agama kah atau tentang ilmu agama orang lain?
Ini adalah hal yang sangat ingin aku perbaiki tentang diriku sendiri, yaitu tentang kualitas beragamaku.
Tentang kualitas shalatku, kualitas puasaku, dan lain-lain.
Kalau kita mau jujur, pasti kita mengakui bahwa masih banyak cacat disana sini akan kualitas ibadah kita.
Lantas, adakah hal yang lebih krusial dari pada memperbaiki hal tersebut?
Ada! Yaitu memperbaiki keikhlasan.
Iya, dua hal ini, keikhlasan dan kualitas ibadah memang hal yang sangat dan begitu krusial.
Dan aku yakin, bagi yang bekerja sepertiku, waktu di luar jam kerja sehari-hari akan dirasa begitu sempit, begitu sedikit.
Sedih sekali rasanya, sudah menginjak usia 20-an tahun tetapi kualitas shalat masih begitu-begitu saja dengan dalih sibuk bekerja.
Dan tak kalah sedih, ketika sudah semakin dewasa, tetapi pengetahuan akan agama hanya itu itu saja, dengan dalih tidak ada waktu belajar.
Sementara...
Kita sibuk untuk membenahi orang lain (?)
Social contribution itu memang perlu, dan nyatanya memang membutuhkan kehadiran kita sebagai generasi muda, tetapi koreksi diri pun juga tak kalah penting. Bahkan mungkin boleh dibilang, jangan sampai kita menjadi seperti lilin yang menerangi sekitar tetapi membakar diri sendiri.
Kalau boleh jujur pun, tidak malukah kita jika 'tampil' tetapi memang tidak punya apa-apa untuk dibagikan? Dalam artian, tidak malukah kita dipandang hebat di mata manusia karena aksi yang kita lakukan tetapi dalam diri masih krisis akan ilmu dan hal yang krusial.
Lalu gimana dong ma?
Mudah sebenernya, jawabannya adalah satu per satu.
Satu per satu dan lakukan dari hal yang paling penting.
Aku punya seorang teman yang kini sedang belajar di Madinah
Entahlah, tapi dalam benakku dalam masalah tujuan hidup, dia memang orang yang patut dicontoh
Dia lahir dari keluarga berada, ayahnya mengininkan dia menjadi seorang dokter
Dia cerdas, kepintarannya patut untuk diperhitungkan
Dan hebatnya...
Dia punya mimpi besar akan ilmu agama, akan perbaikan, akan kebaikan ummat
Dan taukah apa yang dia lakukan?
Dia kesampingkan pencapaian duniawi untuk tujuan hidupnya itu
Tahun 2013, ketika dia terpilih menjadi Ketua SSKI SMA Negeri 5 Surabaya, dia menolak, dia mengatakan bahwa menjadi ketua akan menghambatnya meraih tujuan yang dia inginkan.
Benar, dia tidak salah, semua orang berhak untuk memilih. Beban berat seorang ketua yang harus rapat ini itu dan memikirkan ini itu tentu akan menyita waktunya
Padahal dia memiliki keinginan untuk memperbaiki ummat dan dia tahu cara yang dia tempuh adalah dengan belajar
Coba bayangkan...
Dulu, di tahun tahun itu, saat kami SMA, dia dengan sendirinya dan dengan kesadarannya belajar bahasa Arab, belajar ilmu agama dengan begitu sungguh-sungguh
Tiba-tiba aku teringat salah seorang teman SMA yang kini ada di Madinah. Aku hanya berpikir, mengapa dulu dia bisa bertahan dan tidak goyah dengan apa yang ingin dia tuju?
Mengapa dia tidak goyah dari belajar bahasa Arab yang mungkin saat itu bagi kami siswa SMA tidak ada hubungannya dengan mata pelajaran kami?
Mengapa dia tidak goyah untuk meninggalkan belajar agama dan mengikuti kami yang kejar-kejaran prestasi akademik? Padahal aku yakin dia bisa, karena kecerdasannya cukup diperhitungkan.
Mengapa dia tidak goyah untuk memperebutkan juara ini itu dalam kompetisi dan olimpiade ini itu? Padahal dulu, medali dan kebanggaan prestasi olimpiade adalah hal yang kami cari.
Salah satu coretanku di blog sebelumnya
Dan dia berhasil
Ketika kami sibuk memikirkan PTN terbaik mana yang akan kami pilih, dia melupakan itu semua untuk mengejar LIPIA dan Universitas Islam Madinah.
Sekali lagi, dan dia berhasil. Dia berhasil menaklukan keduanya.
Suatu bukti nyata perbaikan yang ingin dia lakukan dengan cara yang benar, dengan ilmu
Karena mungkin baginya, bagaimana kita bisa tahu bahwa perbaikan yang sudah kita usahakan itu benar atau tidak jika kita belum berilmu?
Hebat...
Dia tidak buru-buru tampil, tapi dia kembali menyelami dan menyelami tentang ilmu yang akan mengantarnya pada perbaikan.
Satu per Satu. Itu yang dia lakukan, dia menyelesaikan hal yang paling krusial terlebih dahulu, baru kemudian dia akan tampil,
Nanti,
Pada saatnya, Insyaa Allah.
Dan tentang masalah keikhlasan, ini adalah perkara yang berat, yang sulit untuk kita gapai.
Imam As Syufan Ats Tsauri dalam Al Majmu' Syahrul Muhadzdzab mengatakan, "Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak balik pada diriku."
Benar, ikhlas itu berat, apalagi ketika kita telah dikenal oleh manusia
Namun, jika kita berhasil ikhlas, maka balasannya pun tidak tanggung-tanggung
Maka, tulisan ini aku nasihatkan pada diriku pribadi untuk stay on the track dan menjalankannya satu per satu, dimulai dari yang paling krusial, yaitu membenahi kualitas beragama diri sendiri.
Mungkin memang sudah terlalu telat untuk menjadi seperti teman SMA ku tadi, atau mungkin memang sudah tertinggal jauh dari teman SMA ku tadi
Tetapi, kita tetap bisa berbuat kebaikan sekecil apapun, dan tentunya kebaikan itu memerlukan ilmu,
Karena, tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan.
Selesai ditulis 9 Jumadil Akhir 1440 H
di Renon, Denpasar Timur, Kota Denpasar
Beberapa hari ini aku sedang asik mengamati
Mengamati apa yang ada di sekeliling dan apa yang ada di sekitar
"Hebat bener deh dia, tulisannya udah melalang buana dimana-mana..."
"Keren banget, pendidikannya udah sampai sini situ..."
"Receh banget ga sih aku kalau dibandingin sama hidup dia..."
Beberapa hal yang terbesit dalam pikiranku ketika mengamati orang lain
Lantas aku pun entah mengapa ingin menanyakan hal ini pada warganet
Apa sih sebenernya yang kita kejar setelah lulus kuliah?
Satu dua orang menanggapi, bukan menjawab tapi memintaku untuk membagikan hasil jawaban dari warganet.
Hmm...tanda bahwa ternyata pertanyaaan ini tidak hanya ada di benakku saja.
Beberapa tanggapan nitizen adalah sebagai berikut:
Anak yang berbakti dan calon ibu yang shalihah
Karir yang mapan
Ketenangan batin di dunia dan bekal mati di akhirat
Koreksi diri, bukan jabatan bukan penghasilan
Career achievment and social contribution
Dan yaa...
Dua jawaban terakhir begitu menarik perhatianku
Jujur, aku tahu kok, di usia usia seperti ini semangat untuk social contribution begitu besar dan sangat besar menurutku. Banyak ide bermunculan, banyak aksi ingin dilakukan, ingin ini ingin itu, ingin mengubah ini dan mengubah itu.
Apa itu salah? Engga, ga salah sama sekali kok, bagus malah,
Tapii, ada satu sisi yang aku rasa banyak dari pemuda yang lupa akan sesuatu hal yang krusial, yaitu...
Koreksi diri.
Coba deh, coba dipikir lagi, apa sih yang paling akan kita pertanggungjawabkan di akhirat nanti?
Tentang shalat kita kah atau tentang shalat orang lain?
Tentang puasa kita kah atau tentang puasa orang lain?
Tentang pengetahuan kita akan ilmu agama kah atau tentang ilmu agama orang lain?
Ini adalah hal yang sangat ingin aku perbaiki tentang diriku sendiri, yaitu tentang kualitas beragamaku.
Tentang kualitas shalatku, kualitas puasaku, dan lain-lain.
Kalau kita mau jujur, pasti kita mengakui bahwa masih banyak cacat disana sini akan kualitas ibadah kita.
Lantas, adakah hal yang lebih krusial dari pada memperbaiki hal tersebut?
Ada! Yaitu memperbaiki keikhlasan.
Iya, dua hal ini, keikhlasan dan kualitas ibadah memang hal yang sangat dan begitu krusial.
Dan aku yakin, bagi yang bekerja sepertiku, waktu di luar jam kerja sehari-hari akan dirasa begitu sempit, begitu sedikit.
Sedih sekali rasanya, sudah menginjak usia 20-an tahun tetapi kualitas shalat masih begitu-begitu saja dengan dalih sibuk bekerja.
Dan tak kalah sedih, ketika sudah semakin dewasa, tetapi pengetahuan akan agama hanya itu itu saja, dengan dalih tidak ada waktu belajar.
Sementara...
Kita sibuk untuk membenahi orang lain (?)
Social contribution itu memang perlu, dan nyatanya memang membutuhkan kehadiran kita sebagai generasi muda, tetapi koreksi diri pun juga tak kalah penting. Bahkan mungkin boleh dibilang, jangan sampai kita menjadi seperti lilin yang menerangi sekitar tetapi membakar diri sendiri.
Kalau boleh jujur pun, tidak malukah kita jika 'tampil' tetapi memang tidak punya apa-apa untuk dibagikan? Dalam artian, tidak malukah kita dipandang hebat di mata manusia karena aksi yang kita lakukan tetapi dalam diri masih krisis akan ilmu dan hal yang krusial.
Lalu gimana dong ma?
Mudah sebenernya, jawabannya adalah satu per satu.
Satu per satu dan lakukan dari hal yang paling penting.
Aku punya seorang teman yang kini sedang belajar di Madinah
Entahlah, tapi dalam benakku dalam masalah tujuan hidup, dia memang orang yang patut dicontoh
Dia lahir dari keluarga berada, ayahnya mengininkan dia menjadi seorang dokter
Dia cerdas, kepintarannya patut untuk diperhitungkan
Dan hebatnya...
Dia punya mimpi besar akan ilmu agama, akan perbaikan, akan kebaikan ummat
Dan taukah apa yang dia lakukan?
Dia kesampingkan pencapaian duniawi untuk tujuan hidupnya itu
Tahun 2013, ketika dia terpilih menjadi Ketua SSKI SMA Negeri 5 Surabaya, dia menolak, dia mengatakan bahwa menjadi ketua akan menghambatnya meraih tujuan yang dia inginkan.
Benar, dia tidak salah, semua orang berhak untuk memilih. Beban berat seorang ketua yang harus rapat ini itu dan memikirkan ini itu tentu akan menyita waktunya
Padahal dia memiliki keinginan untuk memperbaiki ummat dan dia tahu cara yang dia tempuh adalah dengan belajar
Coba bayangkan...
Dulu, di tahun tahun itu, saat kami SMA, dia dengan sendirinya dan dengan kesadarannya belajar bahasa Arab, belajar ilmu agama dengan begitu sungguh-sungguh
Tiba-tiba aku teringat salah seorang teman SMA yang kini ada di Madinah. Aku hanya berpikir, mengapa dulu dia bisa bertahan dan tidak goyah dengan apa yang ingin dia tuju?
Mengapa dia tidak goyah dari belajar bahasa Arab yang mungkin saat itu bagi kami siswa SMA tidak ada hubungannya dengan mata pelajaran kami?
Mengapa dia tidak goyah untuk meninggalkan belajar agama dan mengikuti kami yang kejar-kejaran prestasi akademik? Padahal aku yakin dia bisa, karena kecerdasannya cukup diperhitungkan.
Mengapa dia tidak goyah untuk memperebutkan juara ini itu dalam kompetisi dan olimpiade ini itu? Padahal dulu, medali dan kebanggaan prestasi olimpiade adalah hal yang kami cari.
Salah satu coretanku di blog sebelumnya
Dan dia berhasil
Ketika kami sibuk memikirkan PTN terbaik mana yang akan kami pilih, dia melupakan itu semua untuk mengejar LIPIA dan Universitas Islam Madinah.
Sekali lagi, dan dia berhasil. Dia berhasil menaklukan keduanya.
Suatu bukti nyata perbaikan yang ingin dia lakukan dengan cara yang benar, dengan ilmu
Karena mungkin baginya, bagaimana kita bisa tahu bahwa perbaikan yang sudah kita usahakan itu benar atau tidak jika kita belum berilmu?
Hebat...
Dia tidak buru-buru tampil, tapi dia kembali menyelami dan menyelami tentang ilmu yang akan mengantarnya pada perbaikan.
Satu per Satu. Itu yang dia lakukan, dia menyelesaikan hal yang paling krusial terlebih dahulu, baru kemudian dia akan tampil,
Nanti,
Pada saatnya, Insyaa Allah.
Dan tentang masalah keikhlasan, ini adalah perkara yang berat, yang sulit untuk kita gapai.
Imam As Syufan Ats Tsauri dalam Al Majmu' Syahrul Muhadzdzab mengatakan, "Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak balik pada diriku."
Imam
Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih
berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada
diriku.” [2]
Read more https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html
Read more https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html
Imam
Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih
berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada
diriku.” [2]
Read more https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html
Read more https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html
Imam
Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih
berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada
diriku.”
Read more https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html
Read more https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html
Benar, ikhlas itu berat, apalagi ketika kita telah dikenal oleh manusia
Namun, jika kita berhasil ikhlas, maka balasannya pun tidak tanggung-tanggung
"Apa saja yang diniatkan murni untuk Allah, maka akan
kekal."
Maka, tulisan ini aku nasihatkan pada diriku pribadi untuk stay on the track dan menjalankannya satu per satu, dimulai dari yang paling krusial, yaitu membenahi kualitas beragama diri sendiri.
Mungkin memang sudah terlalu telat untuk menjadi seperti teman SMA ku tadi, atau mungkin memang sudah tertinggal jauh dari teman SMA ku tadi
Tetapi, kita tetap bisa berbuat kebaikan sekecil apapun, dan tentunya kebaikan itu memerlukan ilmu,
Karena, tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan.
Selesai ditulis 9 Jumadil Akhir 1440 H
di Renon, Denpasar Timur, Kota Denpasar
Comments
Post a Comment