Aku Adalah Dia di Hari Ini
Bismillahirrahmanirrahim
Mau berbagi tulisan yang dibuat hmm...kalau ngga salah bulan Agustus atau September 2018 hehe,
Jadi dulu ceritanya lagi ada lomba cerpen dari Jejak Publisher, tema besarnya tentang teknologi gitu, genre bebas, intinya ada tentang teknologi di masa mendatang,
promise me jangan ketawa baca bagian teknologinya, haha
ngga pandai berkhayal tentang teknologi emang, tapi intinyaaa....
selamat membacaa! Salam dari saya seorang amateur writer.
Anyway, big thanks to my jhs besties, Rizqy Rahmatyah, sudah memberi izin fotonya di post disini. Kisah di bawah ini memang sedikit banyak terinspirasi dari kisahnya doi (dengan banyak perubahan tentunya).
Selamat ujian Tyaaaa, semoga berhasiiil dan semoga gelar S.Ked. nya segera jadi gelar dr. ❤
Untuk yang berkunjung ke postingan ini, sekali lagi, selamat membaca!
---
Prolog
“...lalu?” tanyanya dengan penuh rasa penasaran. Ia bahkan tak menyangka bahwa hal tersebut benar-benar terjadi.
“lalu...”
“itu adalah saat terakhir aku bertemu dengannya,” aku menghela nafas panjang,
“dan sejak saat itu, aku berjanji akan terus bertahan mewujudkannya,” jawabku menutup percakapan itu.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 07.05 WIB. Matahari telah jauh meninggi. Suhu udara kian hangat, tanda aku harus segera bergegas. Hari ini langit begitu cerah, cerah sekali, tetapi tidak dengan hatiku. Hatiku gundah karena hari ini adalah saat bagiku untuk menunjukkan hasil jerih payahku selama berbulan-bulan. Ah, bukan, bukan berbulan-bulan malah, tetapi bertahun-tahun. Hari ini adalah saat bagiku untuk menunjukkan kemampuanku, untuk menunjukkan bahwa aku pantas berdiri disini. Benar, hari ini adalah jadwal sidang skripsiku.
Aku telah menyiapkan segalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan pun telah aku siapkan jawabannya. Ah tidak, hatiku semakin bergemuruh, aku begitu panik. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak terduga di dalam ruang sidang nanti. Tidak, tidak bisa aku biarkan. Segala hal yang aku siapkan ini akan sirna begitu saja jika aku tidak tenang. Aku berusaha menarik nafas panjang. “Astaghfirullah...” ucapku berulang kali dengan lirih, sambil menenangkan hati.
Di tengah waktu menungguku itu, aku teringat akan suatu hal. Aku kembali membuka kisah yang bagiku pasti akan memberiku semangat untuk melewati ini semua. Aku mengeluarkan SV, singkatan dari smart view, dari dalam tasku. Kata orang-orang, SV adalah paduan laptop dan handphone. Benda ini mirip dengan laptop di masa lalu, tetapi juga memiliki fungsi seperti handphone. Entah sejak kapan benda canggih ini berhasil menggusur keberadaan smart phone yang pernah begitu populer, tetapi bagiku, benda ini sangat-sangat membantuku dalam banyak hal, termasuk untuk membuka berbagai kisah yang memberiku semangat.
Kisah itu adalah tentang ibuku. Kisah yang pada hari ini bisa dengan mudah aku akses dengan bantuan teknologi. Dulu, ibuku suka menuliskan kisah perjuangannya dalam situs yang saat itu disebut dengan sebutan ‘blogger’. Ibuku menuliskan berbagai cerita dari awal masuk kuliah di Fakultas Kedokteran sampai beliau lulus. Tidak hanya itu, beliau juga menuliskan kisah perjuangannya ketika menjadi dokter muda, intership, dan awal mula membuka praktik. Kisah tentang menghadapi berbagai macam jenis pasien pun juga beliau tuliskan dalam situs tersebut. Ah benar, dulu. Tertulis dalam situs tersebut rentang waktu penulisan adalah tahun 2006-2017.
Sebelas tahun beliau menulis berbagai suka dan duka terkait dunia kedokteran, dan saat ini tulisan itulah yang tetap membuatku bertahan. Ibuku tidak lagi bisa menulis sejak akhir tahun 2017, ketika penyakit kanker telah menggerogoti tubuhnya. Saat itu aku masih berusia 5 tahun. Aku yang saat itu belum banyak mengetahui tentang penyakit berpikir bahwa ibuku akan baik-baik saja. Dalam rentang waktu sakitnya, ibuku tetap suka bermain bersamaku. Ibuku berpura-pura sebagai pasien, dan aku berperan sebagai dokter. Permainan itu sering kami lakukan berulang-ulang. Hingga pada akhirnya, ibuku kritis dan tidak bisa lagi bertahan.
Aku ingat, ada seorang teman yang pernah bertanya padaku. Mengapa aku begitu ambisius ketika kuliah. Mengapa aku sudah tahu spesialisasi apa yang akan aku ambil nantinya bahkan ketika aku masih menjadi mahasiswa baru. Sederhana saja, ini semua adalah untuk ibuku.
“dan sejak saat itu, aku berjanji akan terus bertahan mewujudkannya,” ucapku pada temanku tersebut.
Benar, aku berusaha mewujudkan mimpi ibuku yang belum sempat ia raih. Ibuku meninggal di bulan Agustus 2018 saat berusia 30 tahun, tepat beberapa hari setalah aku resmi berusia 6 tahun. Apa yang aku rasakan sejak saat itu?
Kehilangan,
kehilangan yang teramat dalam.
Ayahku memutuskan untuk tidak menikah lagi. Tujuan hidupnya adalah membesarkanku dan melihat aku menjadi orang sukses. Rupanya kenangan yang ia bangun bersama ibuku begitu indah hingga tidak ingin mengganti posisi ibuku dengan siapapun. Bertahun-tahun aku hidup berdua dengan ayah tanpa adanya seorang ibu membuat aku menjadi seseorang yang tegar. Yang aku tahu, sejak kehilangan ibu, aku ingin meneruskan mimpi yang belum sempat ia raih. Benar, aku memang terlalu kecil saat itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya ibuku inginkan. Aku tidak tahu harus mencari kemana tentang mimpi ibuku tersebut. Bahkan ayahku pun ragu untuk menjawab pertanyaanku tentang mimpi apakah yang benar-benar ibuku inginkan. Sampai pada suatu hari di tahun 2024, beberapa hari menjelang hari kelulusanku sebagai seorang siswa Sekolah Dasar, aku menemukan situs blog yang dimiliki oleh ibuku.
Penemuan yang tidak sengaja sesungguhnya. Aku hanya iseng mengetik nama panjang ibuku dalam mesin pencari google, mesin pencari yang begitu populer dari dulu hingga detik ini, dan kemudian muncullah blog tersebut dalam pencarianku. Cukup aneh memang rasanya. Aku pikir saat itu, aku akan menemukan sesuatu tentang ibuku dalam media sosial yang bernama instagram, media sosial yang sangat populer di zamannya. Aku pun sempat berpikir bahwa aku akan menemukan hal yang aku cari tentang ibuku dalam media sosial yang bernama facebook. Tetapi nyatanya aku tidak menemukan ‘ibuku’ di kedua media sosial itu.
Setelah aku pikir-pikir kembali, ibuku memang berbeda dari kebanyakan orang di masa itu. Ibuku tidak suka mengekspos kehidupan pribadinya atau memamerkan sesuatu tentang kehidupannya. Itulah mungkin sebab mengapa aku tidak menemukan akun media sosial ibuku saat itu. Ibuku adalah seseorang dengan tipe pembelajar, seseorang yang suka dengan ilmu, dan mungkin itu adalah sebab mengapa ibuku memilih blog sebagai tempat ia menuliskan segala sesuatu yang ia ketahui tentang bidang ilmu yang ia geluti. Keputusan yang tepat menurutku karena menghabiskan waktu untuk berbagi ilmu memang jauh lebih penting.
Saat setelah aku menemukan blog milik ibuku, aku begitu kagum. Beliau menata blog dengan begitu rapi, dengan berbagai kategori yang tersusun dengan indah. Blog itu berlatarbelakang paduan warna biru langit dan abu-abu muda. Di dalamnya sama sekali aku tidak menemukan foto beliau. Ah, benar, sekali lagi, beliau tidak suka memamerkan kehidupan pribadi, dan mungkin bagi beliau, meng-upload foto sama saja dengan membiarkan orang lain memiliki foto-foto yang beliau miliki. Yang ada dalam blog tersebut hanyalah foto-foto terkait kedokteran.
Aku ingat sekali, dari berbagai tulisan dalam blog tersebut, hal yang pertama kali aku baca adalah tulisan dalam rubik yang berjudul “about”, yaitu suatu diskripsi tentang pemilik blog.
Tulis ibuku dalam rubik ”about” tersebut. Dari sanalah aku akhirnya mengetahui mimpi ibuku yang belum terwujud, menjadi seorang dokter kandungan.
Lamunanku pecah ketika pintu ruang sidang terbuka, tanda bahwa sesi sidang yang telah berlangsung telah selesai. “setengah jam lagi,” gumamku dalam hati mengingatkan diri akan jadwal sidang skripsiku. Aku membaca kembali kisah tentang sidang skripsi ibuku, bagaimana beliau berusaha menenangkan hati, bagaimana beliau menjawab berbagai macam pertanyaan penguji, dan bagaimana pada akhirnya beliau keluar ruang sidang dengan perasaan lega. Kisah yang sudah sering aku baca, tetapi kali ini, kisah ini berhasil membuat hatiku tenang. “Sebentar lagi aku akan merasakan kelegaan yang sama, Insyaa Allah,” ucapku dalam hati.
Ruang sidang itu begitu dingin, begitu sulit bagiku untuk melukiskan keadaannya. Aku mencoba menjelaskan dengan penuh percaya diri. Pertanyaan demi pertanyaan aku jawab dengan tenang, kegundahan hati itu sedikit demi sedikit sirna. Sampai pada akhirnya aku keluar dengan perasaan lega. Aku lulus! Aku lulus sebagai seorang sarjana kedokteran! Rasa bahagia aku tumpahkan dengan sujud syukur di luar ruangan, hal yang sama dengan yang ibuku lakukan dulu. Selangkah demi selangkah, aku berusaha mewujudkan mimpi ibuku tersebut.
***
Tepat pukul 06.00 WIB, gedung itu telah ramai oleh ribuan wisudawan. Antrian panjang untuk memasuki gedung yang akan menjadi saksi bersejarah bagi ribuan orang pun tidak dapat dipungkiri. Hari ini aku diwisuda. Hari ini aku melihat senyum bahagia ayah yang begitu bangga kepadaku. Dan hari ini, bertahun-tahun yang lalu, ibuku pun telah merasakan hal yang sama. Benar, aku adalah dia di hari ini. Dan kisah yang dia tulis adalah jejak bagiku untuk mewujudkan tidak hanya mimpinya, tetapi juga mimpiku.
“Ibu, gadismu seorang sarjana,” ucapku lirih sambil menghapus air mata.
Seusai wisuda, aku dan ayah bergegas menuju kampus. Kampus yang sama dengan tempat ibuku menimba ilmu. Disana terdapat sebuah dinding yang terpahat didalamnya nama-nama lulusan dokter dari kampus tersebut. Aku melihat nama ibuku terpahat disana. Selama kuliah pun aku sudah sering memandangi dinding itu. Namun, kali ini berbeda, kali ini aku datang bukan sebagai seorang mahasiswa, aku datang sebagai seorang anak yang merindukan ibunya.
“Terimakasih bu,” ucapku dengan meneteskan air mata.
“Terimakasih untuk setiap jejak kisah yang telah ibu tuliskan.”
“Langkahku masih panjang, tetapi aku berjanji untuk terus berjuang,” ucapku lirih sambil berlalu meninggalkan dinding itu.
***
Epilog
Ibuku mungkin tidak pernah tahu bahwa akhirnya tiap tulisan yang dibagikan akan menjadi begitu bermanfaat hari ini. Ibuku mungkin tidak pernah menyangka bahwa aku akan mengikuti jejaknya. Tetapi satu hal yang pasti, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Entah berapa kebaikan yang telah ibuku dapatkan dari kebaikannya menuliskan kisah perjuangan menjadi seorang dokter yang mungkin bukan hanya aku yang membacanya, melainkan juga ratusan atau bahkan ribuan orang diluar sana.
Mungkin benar bahwa dia membersamaiku tidak lebih dari enam tahun. Tetapi, kisahnya terus hidup dalam kisahku. Semangatnya menular kepadaku. Ketulusannya menjadi teladan bagiku, bahkan walau aku tidak mengetahuinya secara langsung. Tulisan-tulisan itulah yang secara nyata menceritakannya kepadaku.
----
Selesai dire-blog, beberapa jam menuju Ubu, Bali (Insyaa Allah), 18 Syawal 1440H
Mau berbagi tulisan yang dibuat hmm...kalau ngga salah bulan Agustus atau September 2018 hehe,
Jadi dulu ceritanya lagi ada lomba cerpen dari Jejak Publisher, tema besarnya tentang teknologi gitu, genre bebas, intinya ada tentang teknologi di masa mendatang,
promise me jangan ketawa baca bagian teknologinya, haha
ngga pandai berkhayal tentang teknologi emang, tapi intinyaaa....
selamat membacaa! Salam dari saya seorang amateur writer.
Anyway, big thanks to my jhs besties, Rizqy Rahmatyah, sudah memberi izin fotonya di post disini. Kisah di bawah ini memang sedikit banyak terinspirasi dari kisahnya doi (dengan banyak perubahan tentunya).
Selamat ujian Tyaaaa, semoga berhasiiil dan semoga gelar S.Ked. nya segera jadi gelar dr. ❤
Untuk yang berkunjung ke postingan ini, sekali lagi, selamat membaca!
Lagi suka banget sama bunga Kamboja, jadi mohon dimaafkan kalau banyak bunga Kamboja di blog ini hehe |
---
Prolog
“...lalu?” tanyanya dengan penuh rasa penasaran. Ia bahkan tak menyangka bahwa hal tersebut benar-benar terjadi.
“lalu...”
“itu adalah saat terakhir aku bertemu dengannya,” aku menghela nafas panjang,
“dan sejak saat itu, aku berjanji akan terus bertahan mewujudkannya,” jawabku menutup percakapan itu.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 07.05 WIB. Matahari telah jauh meninggi. Suhu udara kian hangat, tanda aku harus segera bergegas. Hari ini langit begitu cerah, cerah sekali, tetapi tidak dengan hatiku. Hatiku gundah karena hari ini adalah saat bagiku untuk menunjukkan hasil jerih payahku selama berbulan-bulan. Ah, bukan, bukan berbulan-bulan malah, tetapi bertahun-tahun. Hari ini adalah saat bagiku untuk menunjukkan kemampuanku, untuk menunjukkan bahwa aku pantas berdiri disini. Benar, hari ini adalah jadwal sidang skripsiku.
Aku telah menyiapkan segalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan pun telah aku siapkan jawabannya. Ah tidak, hatiku semakin bergemuruh, aku begitu panik. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak terduga di dalam ruang sidang nanti. Tidak, tidak bisa aku biarkan. Segala hal yang aku siapkan ini akan sirna begitu saja jika aku tidak tenang. Aku berusaha menarik nafas panjang. “Astaghfirullah...” ucapku berulang kali dengan lirih, sambil menenangkan hati.
Di tengah waktu menungguku itu, aku teringat akan suatu hal. Aku kembali membuka kisah yang bagiku pasti akan memberiku semangat untuk melewati ini semua. Aku mengeluarkan SV, singkatan dari smart view, dari dalam tasku. Kata orang-orang, SV adalah paduan laptop dan handphone. Benda ini mirip dengan laptop di masa lalu, tetapi juga memiliki fungsi seperti handphone. Entah sejak kapan benda canggih ini berhasil menggusur keberadaan smart phone yang pernah begitu populer, tetapi bagiku, benda ini sangat-sangat membantuku dalam banyak hal, termasuk untuk membuka berbagai kisah yang memberiku semangat.
Kisah itu adalah tentang ibuku. Kisah yang pada hari ini bisa dengan mudah aku akses dengan bantuan teknologi. Dulu, ibuku suka menuliskan kisah perjuangannya dalam situs yang saat itu disebut dengan sebutan ‘blogger’. Ibuku menuliskan berbagai cerita dari awal masuk kuliah di Fakultas Kedokteran sampai beliau lulus. Tidak hanya itu, beliau juga menuliskan kisah perjuangannya ketika menjadi dokter muda, intership, dan awal mula membuka praktik. Kisah tentang menghadapi berbagai macam jenis pasien pun juga beliau tuliskan dalam situs tersebut. Ah benar, dulu. Tertulis dalam situs tersebut rentang waktu penulisan adalah tahun 2006-2017.
Sebelas tahun beliau menulis berbagai suka dan duka terkait dunia kedokteran, dan saat ini tulisan itulah yang tetap membuatku bertahan. Ibuku tidak lagi bisa menulis sejak akhir tahun 2017, ketika penyakit kanker telah menggerogoti tubuhnya. Saat itu aku masih berusia 5 tahun. Aku yang saat itu belum banyak mengetahui tentang penyakit berpikir bahwa ibuku akan baik-baik saja. Dalam rentang waktu sakitnya, ibuku tetap suka bermain bersamaku. Ibuku berpura-pura sebagai pasien, dan aku berperan sebagai dokter. Permainan itu sering kami lakukan berulang-ulang. Hingga pada akhirnya, ibuku kritis dan tidak bisa lagi bertahan.
Aku ingat, ada seorang teman yang pernah bertanya padaku. Mengapa aku begitu ambisius ketika kuliah. Mengapa aku sudah tahu spesialisasi apa yang akan aku ambil nantinya bahkan ketika aku masih menjadi mahasiswa baru. Sederhana saja, ini semua adalah untuk ibuku.
“dan sejak saat itu, aku berjanji akan terus bertahan mewujudkannya,” ucapku pada temanku tersebut.
Benar, aku berusaha mewujudkan mimpi ibuku yang belum sempat ia raih. Ibuku meninggal di bulan Agustus 2018 saat berusia 30 tahun, tepat beberapa hari setalah aku resmi berusia 6 tahun. Apa yang aku rasakan sejak saat itu?
Kehilangan,
kehilangan yang teramat dalam.
Ayahku memutuskan untuk tidak menikah lagi. Tujuan hidupnya adalah membesarkanku dan melihat aku menjadi orang sukses. Rupanya kenangan yang ia bangun bersama ibuku begitu indah hingga tidak ingin mengganti posisi ibuku dengan siapapun. Bertahun-tahun aku hidup berdua dengan ayah tanpa adanya seorang ibu membuat aku menjadi seseorang yang tegar. Yang aku tahu, sejak kehilangan ibu, aku ingin meneruskan mimpi yang belum sempat ia raih. Benar, aku memang terlalu kecil saat itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya ibuku inginkan. Aku tidak tahu harus mencari kemana tentang mimpi ibuku tersebut. Bahkan ayahku pun ragu untuk menjawab pertanyaanku tentang mimpi apakah yang benar-benar ibuku inginkan. Sampai pada suatu hari di tahun 2024, beberapa hari menjelang hari kelulusanku sebagai seorang siswa Sekolah Dasar, aku menemukan situs blog yang dimiliki oleh ibuku.
Penemuan yang tidak sengaja sesungguhnya. Aku hanya iseng mengetik nama panjang ibuku dalam mesin pencari google, mesin pencari yang begitu populer dari dulu hingga detik ini, dan kemudian muncullah blog tersebut dalam pencarianku. Cukup aneh memang rasanya. Aku pikir saat itu, aku akan menemukan sesuatu tentang ibuku dalam media sosial yang bernama instagram, media sosial yang sangat populer di zamannya. Aku pun sempat berpikir bahwa aku akan menemukan hal yang aku cari tentang ibuku dalam media sosial yang bernama facebook. Tetapi nyatanya aku tidak menemukan ‘ibuku’ di kedua media sosial itu.
Setelah aku pikir-pikir kembali, ibuku memang berbeda dari kebanyakan orang di masa itu. Ibuku tidak suka mengekspos kehidupan pribadinya atau memamerkan sesuatu tentang kehidupannya. Itulah mungkin sebab mengapa aku tidak menemukan akun media sosial ibuku saat itu. Ibuku adalah seseorang dengan tipe pembelajar, seseorang yang suka dengan ilmu, dan mungkin itu adalah sebab mengapa ibuku memilih blog sebagai tempat ia menuliskan segala sesuatu yang ia ketahui tentang bidang ilmu yang ia geluti. Keputusan yang tepat menurutku karena menghabiskan waktu untuk berbagi ilmu memang jauh lebih penting.
Saat setelah aku menemukan blog milik ibuku, aku begitu kagum. Beliau menata blog dengan begitu rapi, dengan berbagai kategori yang tersusun dengan indah. Blog itu berlatarbelakang paduan warna biru langit dan abu-abu muda. Di dalamnya sama sekali aku tidak menemukan foto beliau. Ah, benar, sekali lagi, beliau tidak suka memamerkan kehidupan pribadi, dan mungkin bagi beliau, meng-upload foto sama saja dengan membiarkan orang lain memiliki foto-foto yang beliau miliki. Yang ada dalam blog tersebut hanyalah foto-foto terkait kedokteran.
Aku ingat sekali, dari berbagai tulisan dalam blog tersebut, hal yang pertama kali aku baca adalah tulisan dalam rubik yang berjudul “about”, yaitu suatu diskripsi tentang pemilik blog.
A happy wife
Mom of a daughter
A doctor at Soetomo Hospital
A future obstetrician-gynecologist
Tulis ibuku dalam rubik ”about” tersebut. Dari sanalah aku akhirnya mengetahui mimpi ibuku yang belum terwujud, menjadi seorang dokter kandungan.
Lamunanku pecah ketika pintu ruang sidang terbuka, tanda bahwa sesi sidang yang telah berlangsung telah selesai. “setengah jam lagi,” gumamku dalam hati mengingatkan diri akan jadwal sidang skripsiku. Aku membaca kembali kisah tentang sidang skripsi ibuku, bagaimana beliau berusaha menenangkan hati, bagaimana beliau menjawab berbagai macam pertanyaan penguji, dan bagaimana pada akhirnya beliau keluar ruang sidang dengan perasaan lega. Kisah yang sudah sering aku baca, tetapi kali ini, kisah ini berhasil membuat hatiku tenang. “Sebentar lagi aku akan merasakan kelegaan yang sama, Insyaa Allah,” ucapku dalam hati.
Ruang sidang itu begitu dingin, begitu sulit bagiku untuk melukiskan keadaannya. Aku mencoba menjelaskan dengan penuh percaya diri. Pertanyaan demi pertanyaan aku jawab dengan tenang, kegundahan hati itu sedikit demi sedikit sirna. Sampai pada akhirnya aku keluar dengan perasaan lega. Aku lulus! Aku lulus sebagai seorang sarjana kedokteran! Rasa bahagia aku tumpahkan dengan sujud syukur di luar ruangan, hal yang sama dengan yang ibuku lakukan dulu. Selangkah demi selangkah, aku berusaha mewujudkan mimpi ibuku tersebut.
***
Tepat pukul 06.00 WIB, gedung itu telah ramai oleh ribuan wisudawan. Antrian panjang untuk memasuki gedung yang akan menjadi saksi bersejarah bagi ribuan orang pun tidak dapat dipungkiri. Hari ini aku diwisuda. Hari ini aku melihat senyum bahagia ayah yang begitu bangga kepadaku. Dan hari ini, bertahun-tahun yang lalu, ibuku pun telah merasakan hal yang sama. Benar, aku adalah dia di hari ini. Dan kisah yang dia tulis adalah jejak bagiku untuk mewujudkan tidak hanya mimpinya, tetapi juga mimpiku.
“Ibu, gadismu seorang sarjana,” ucapku lirih sambil menghapus air mata.
Source: ig @rizqyrahmatyah |
Seusai wisuda, aku dan ayah bergegas menuju kampus. Kampus yang sama dengan tempat ibuku menimba ilmu. Disana terdapat sebuah dinding yang terpahat didalamnya nama-nama lulusan dokter dari kampus tersebut. Aku melihat nama ibuku terpahat disana. Selama kuliah pun aku sudah sering memandangi dinding itu. Namun, kali ini berbeda, kali ini aku datang bukan sebagai seorang mahasiswa, aku datang sebagai seorang anak yang merindukan ibunya.
“Terimakasih bu,” ucapku dengan meneteskan air mata.
“Terimakasih untuk setiap jejak kisah yang telah ibu tuliskan.”
“Langkahku masih panjang, tetapi aku berjanji untuk terus berjuang,” ucapku lirih sambil berlalu meninggalkan dinding itu.
Souce: ig @rizqyrahmatyah |
***
Epilog
Ibuku mungkin tidak pernah tahu bahwa akhirnya tiap tulisan yang dibagikan akan menjadi begitu bermanfaat hari ini. Ibuku mungkin tidak pernah menyangka bahwa aku akan mengikuti jejaknya. Tetapi satu hal yang pasti, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Entah berapa kebaikan yang telah ibuku dapatkan dari kebaikannya menuliskan kisah perjuangan menjadi seorang dokter yang mungkin bukan hanya aku yang membacanya, melainkan juga ratusan atau bahkan ribuan orang diluar sana.
Mungkin benar bahwa dia membersamaiku tidak lebih dari enam tahun. Tetapi, kisahnya terus hidup dalam kisahku. Semangatnya menular kepadaku. Ketulusannya menjadi teladan bagiku, bahkan walau aku tidak mengetahuinya secara langsung. Tulisan-tulisan itulah yang secara nyata menceritakannya kepadaku.
----
Selesai dire-blog, beberapa jam menuju Ubu, Bali (Insyaa Allah), 18 Syawal 1440H
Comments
Post a Comment