Kau Selalu di Pikiran Mereka

Bismillahirrahmanirrahim

Hari itu aku bergegas pergi berangkat ke kantor.

Sebagaimana hari Kamis pada umumnya, jalanan dipadati oleh orang yang berlalu lalang menggunakan pakaian adat.

Aku lupa sejak kapan, yang jelas, hari Kamis adalah hari dimana kami, baik pegawai maupun pelajar di Bali, menggunakan pakaian adat.

Di suatu pagi hari 


Entah mengapa, aku merasa beberapa hari terakhir udara di Bali mirip dengan udara Ciawi.

Dingin.

Begitu dingin untuk ukuran Bali.


Seperti biasa aku melewati jalanan Teuku Umar menuju kawasan Renon.

Ku belokkan motor yang aku tumpangi menuju salah satu toko untuk membeli sesuatu.


"Lho mbak, wong Suroboyo?" ucap seorang tukang parkir mengagetkanku.

"Inggih pak," balasku kepadanya.

"Suroboyo endi mbak?"

"Dekat Masjid Agung pak,"

"Melu Sidoarjo ta Suroboyo?"

"Masih masuk Surabaya pak."

"Oalah, aku nang Suroboyo sawahan (nama Kecamatan) mbak. Kerjo nang Bali mbak?"

"Inggih pak."

"Oalah, yowis, hebat," tutup bapak itu sambil memandangku tertegun dengan mengacungkan jempol.



Aku pun pergi berlalu. Dalam benakku, bapak yang tak lagi muda itu sepertinya senang sekali bertemu sesama orang Surabaya.

Sesaat kemudian aku keluar dari toko menuju tempat motorku di parkir.

Bapak tukang parkir itu pun kembali membuka percakapan dengaku.

(Aku terjemahkan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia)

"Saya kira kamu masih kuliah mbak,"

"Ngga pak, sudah kerja hehe,"

"Sudah lama mbak di Bali?"

"Baru enam bulan pak,"

"Oh...masih baru, saya dari tahun 1990 mbak,"

dalam hati, "Itu mah saya belum lahir pak hehe."

"Oalah mbak, sedih saya mbak, anak saya kelahiran 94 belum lulus kuliah."

"Lho, kenapa pak?"

"Ngga boleh ikut seminar skripsi mbak, habis dia kuliah sambil magang, udah ngga ikut seminar lima kali, coba kalau dia ngga kerja mbak, ini ada tawaran dari adek saya lowongan di maskapai, tapi harus lulus dulu mbak,"

"Oh..." aku selalu bingung harus merespon apa ketika dicurhati seorang orang tua tentang anaknya seperti ini.

"Saya ini tinggal nunggu anak saya yang kedua itu mbak, adiknya dia udah lulus, udah kerja, kalau dia sudah selesai, saya mau balik ke Surabaya."


Sejenak aku teringat ibuku.

Kata ibuku, bagaimanapun dan sampai kapanpun,

anak akan selalu ada di pikiran orang tua.

Pun ketika sudah menikah, sudah berkeluarga.

Orang tua akan terus memikirkan anaknya.


Demikian pula dengan bapak itu.

Terlihat jelas dari raut wajahnya sebuah ketidaktenangan dalam hati ketika bercerita tentang anaknya.

Aku kira, hanya ibu yang bisa merasakan hal itu, ternyata seorang ayah pun juga demikian.


***

Ditulis sehari setelah kejadian, 17 Syawal 1440H.


Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!