Pahlawan Yang Tak Meminta
Bismillahirrahmanirrahim
Hai!
Akhirnya weekend datang juga!
Mau curcol dikit, hehe. Jadi pekan ini, kantor lagi hetic banget.
Dimulai dari hari Senin yang kocak karena ternyata salah satu penyelenggara diklatnya Fitri di Bali adalah kantorku.
Dilanjutkan dengan hari-hari berikutnya yang menguras pikiran dan tenaga
*untung ga air mata hehe
But then, aku jadi seneng karena masih dipercaya banyak orang untuk mengerjakan ini itu.
Ga kebayang pekan depan gimana ritme kerjanya karena SPMB PKN STAN udah dimulai haha, Latsar periode IV juga :')
Untuk itu, ingin mengapresiasi diri sendiri dulu dengan mengunggah tulisan ini, hehe.
Tulisan di bawah ini aku buat di bulan November 2017, waktu jadi pengangguran. Tulisan non-fiksi ini dibuat dalam rangka ikut lomba dari penerbit Papyrus dengan tema besar 'Pahlawan'. Mohon dimaklumi kalau banyak tanda baca yang keliru di tulisan ini, waktu itu masih newbie gitu.
Tulisan ini ngga se-baper "Aku Adalah Dia di Hari Ini" atau "Cinta Tak Sedarah",
kenapa gitu?
Entahlah. Aku rasa 'ruh' sebuah tulisan itu tergantung pada mood si penulis itu sendiri. Kalau penulisnya lagi bawa perasaan, biasanya lebih 'kerasa' gitu tulisannya.
November 2017 lagi seneng-senengnya, kontradiksi banget sama Agustus dan September 2018, hehe.
Ohiya, semua tulisan yang aku post disini itu adalah tulisan yang ga lolos lomba. Jadi ya begitulah, mohon kritik dan saran.
Anyway, selamat berpindah tempat OJT buat BPPK 2018! It must be hard untuk meninggalkan tempat yang udah membuat kita nyaman, tapi tenang aja, witing trisno jalaran soko kulino, Insyaa Allah di tempat OJT baru juga akan menyenangkan. Pun demikian ketika sudah penempatan.
Huhu baru aja kemarin meneteskan air mata karena baca lagi kisah perpisahan sama tanah Sunda.
Haha, intinya,
selamat membaca!
***
Hai!
Akhirnya weekend datang juga!
Mau curcol dikit, hehe. Jadi pekan ini, kantor lagi hetic banget.
Dimulai dari hari Senin yang kocak karena ternyata salah satu penyelenggara diklatnya Fitri di Bali adalah kantorku.
Dilanjutkan dengan hari-hari berikutnya yang menguras pikiran dan tenaga
*untung ga air mata hehe
Bandara Ngurah Rai sore ini |
But then, aku jadi seneng karena masih dipercaya banyak orang untuk mengerjakan ini itu.
Ga kebayang pekan depan gimana ritme kerjanya karena SPMB PKN STAN udah dimulai haha, Latsar periode IV juga :')
Untuk itu, ingin mengapresiasi diri sendiri dulu dengan mengunggah tulisan ini, hehe.
Tulisan di bawah ini aku buat di bulan November 2017, waktu jadi pengangguran. Tulisan non-fiksi ini dibuat dalam rangka ikut lomba dari penerbit Papyrus dengan tema besar 'Pahlawan'. Mohon dimaklumi kalau banyak tanda baca yang keliru di tulisan ini, waktu itu masih newbie gitu.
Tulisan ini ngga se-baper "Aku Adalah Dia di Hari Ini" atau "Cinta Tak Sedarah",
kenapa gitu?
Entahlah. Aku rasa 'ruh' sebuah tulisan itu tergantung pada mood si penulis itu sendiri. Kalau penulisnya lagi bawa perasaan, biasanya lebih 'kerasa' gitu tulisannya.
November 2017 lagi seneng-senengnya, kontradiksi banget sama Agustus dan September 2018, hehe.
If something is destined for you, never in million years it will be for somebody else. No baper baper club, hehe |
Ohiya, semua tulisan yang aku post disini itu adalah tulisan yang ga lolos lomba. Jadi ya begitulah, mohon kritik dan saran.
Anyway, selamat berpindah tempat OJT buat BPPK 2018! It must be hard untuk meninggalkan tempat yang udah membuat kita nyaman, tapi tenang aja, witing trisno jalaran soko kulino, Insyaa Allah di tempat OJT baru juga akan menyenangkan. Pun demikian ketika sudah penempatan.
Huhu baru aja kemarin meneteskan air mata karena baca lagi kisah perpisahan sama tanah Sunda.
Haha, intinya,
selamat membaca!
***
September 2008
Aku duduk termenung diantara penumpang yang lain. Melihat kondisi sekeliling yang begitu berkecambuk. Suasana siang ini sangat panas. Panas dan gerah. Bus yang aku tumpangi tidak juga bergerak karena terjebak macet. Iya, macet. Sudah dua tahun ini jalan Porong, Sidoarjo selalu macet. Air lumpur yang mencuat ke permukaan telah menyakiti banyak jiwa. Banyak jiwa? Apakah iya? Bahkan usiaku masih 12 tahun. Masih terlalu dini untuk mengerti apa itu menyakiti. Tapi, satu hal yang aku tahu dengan pasti. Lumpur ini memang merenggut banyak kegembiraan anak seusiaku yang harusnya bisa bermain di pekarangan rumahnya. Sudah sering aku melihat di televisi raut muka sedih dan sendu dari para pengungsi yang harus tinggal di pengungsian entah sampai kapan.
Perjalanan kali ini akan membawaku pulang ke kota kelahiranku, Surabaya. Sudah beberapa hari ini aku menemani ibuku pergi ke luar kota. Aku duduk di samping ibu yang juga mulai gelisah karena bus yang tidak juga bergerak. Aku melihat sekeliling. Para pengamen naik turun bus silih berganti. Aku melihat keluar jendela. Pedagang asongan terlihat lelah dan kepanasan. Aku berpikir sejenak. Begitu sulitkah mencari nafkah? Apakah mereka adalah bagian dari orang-orang yang kehilangan rumahnya karena lumpur ini?
Bau tak sedap dari lumpur mulai aku cium. Bendungan demi bendungan tetap dibangun untuk menahan agar lumpur tak merembet ke area yang lebih luas. Kali ini aku mulai menyerah. Aku akan tidur dan tidak lagi memerhatikan kondisi perjalanan ini. Aku berusaha memejamkan mata. Tak kusangka ada seorang laki-laki berusia sekitar 35 tahun yang menarik perhatianku. Laki-laki itu kurus dan tinggi. Membawa kardus besar dengan raut wajah serius. Sebuah sapu tangan berada di lehernya. Ia mengenakan sepuah topi berwarna putih. Mungkin untuk melindunginya dari panasnya matahari, pikirku.
Ia mulai menaiki bus yang aku tumpangi. Satu hal yang membuatku kagum adalah ia mengucapkan “Bismillah” ketika menaiki bus. Iya, dia adalah salah satu pedagang asongan yang berada di tengah kemacetan siang itu. “Bismillah”. Sebuah kata yang sudah sering orang lupakan. Bismillah adalah pertanda bahwa seorang hamba benar-benar bergantung kepada Allah. Bismillah adalah sebuah bukti berharapnya seorang hamba kepada Sang Pencipta.
Laki-laki itu mulai menawarkan dagangannya kepada para penumpang. Terlihat jelas dari raut mukanya, dia berharap dagangannya laku.
“Adik, mau beli?” tanya ibuku yang memerhatikan aku.
“Iya.” jawabku.
Ibuku segera mengeluarkan uang untuk membeli dagangan laki-laki itu. Klepon, makanan khas Jawa. Entahlah, raut muka laki-laki itu begitu gembira dengan terbelinya klepon yang dia bawa. Rasa syukur terlihat jelas dari wajahnya.
Haru adalah hal yang aku rasakan saat itu. Sambil memakan klepon itu, aku berpikir. Begitu banyak orang di luar sana yang berjuang agar keluarganya tetap survive, laki-laki itu salah satunya.
---
November 2017
Sembilan tahun setelah kejadian itu, aku tak pernah tahu lagi keberadaan laki-laki itu. Raut wajah yang menunjukkan syukur dan syahdu. Ucapan “Bismillah” yang telah menggetarkan hatiku sebagai seorang bocah ingusan. Bagaimana kondisi keluarganya? Apakah laki-laki itu juga merupakan korban lumpur di Porong? Masih menjadi misteri bagiku.
Kini usiaku 21 tahun. Aku baru saja menyelesaikan kuliah. Saat ini aku sedang berada di Surabaya setelah beberapa tahun perantauanku untuk menuntut ilmu. Surabaya, kota kelahiranku, Kota Pahlawan. Begitu hebat perjuangan orang-orang di kota ini di masa lalu hingga kota ini disebut Kota Pahlawan.
Pagi ini aku menuju pasar. Tugas ke-ibu-ibu-an sudah mulai aku lakukan mengingat usiaku yang tak lagi belia. Ibuku membawakan kepadaku sejumlah uang dan daftar barang yang harus dibeli.
Aku menuju pasar dengan antusias. Kulihat daerah sekeliling yang tidak banyak berubah. Tetap asri, tetap ramah. Aku memarkir kendaraan dan mulai memasuki pasar. Satu per satu barang dalam daftar itu aku beli.
Aku membeli daging ayam setengah kilo. Dipotong menjadi tujuh sesuai pesanan ibuku.
“kue-kue, dua ribu.” teriak seorang pedagang kue tak jauh dari tempat aku membeli ayam.
“kuenya bu, silahkan.” ucapnya seraya berusaha menawarkan dagangan yang terlihat masih banyak.
Ibu itu terus berusaha menawarkan dagangannya. Tak satu pun orang menghiraukan dia. Dia berdiri di sudut jalan sambil sesekali mengusap keringatnya. Aku yang sedang menunggu potongan daging ayam milikku terus memerhatikan ibu tersebut. Iba. Hal yang aku rasakan saat itu.
Aku memang tak tahu bagaimana kondisi keluarganya. Bagaimana anak-anaknya, bagaimana kondisi rumahnya pun aku tak tahu, Tetapi, aku berusaha menempatkan posisiku pada ibu tersebut. Bagaimana jika memang ibu itu adalah seorang janda yang harus mencari nafkah untuk anak-anaknya? Bagaimana jika pagi ini anak-anaknya belum sarapan karena mereka tidak punya uang? Bagaimana jika anak-anaknya sampai putus sekolah? Entahlah, pikiranku semakin liar. Jika ada di posisi ibu itu pun, aku ingin daganganku terbeli.
Wajah lelah mulai menghapiri ibu itu. Tak ada satupun yang mendengarnya. Aku menuju ibu itu dan mengeluarkan beberapa uang. Membeli beberapa kuenya.
“yang ini enak mbak,” ujar ibu itu.
“yang ini isinya sayur mbak, enak.” kata ibu itu.
Aku berlalu setelah membeli dagangan ibu itu. Aku tak sempat melihat bagaimana raut wajahnya setelah aku membeli kuenya. Satu hal yang aku percaya, dia pasti bersyukur atas rizeki yang dia peroleh pagi itu.
Aku sadar setiap insan bisa menjadi pahlawan bagi insan yang lain. Mungkin, bagi laki-laki di kemacetan Porong dan ibu penjual kue itu, aku adalah seorang pahlawan karena mau membeli dagangan mereka. Tetapi bagiku, laki-laki di kemacetan Porong itu adalah pahlawan bagi isteri dan anak-anaknya yang mungkin juga merupakan korban yang harus mengungsi. Laki-laki itu adalah pahlawan yang menyadarkan aku saat itu betapa indahnya kalimat “Bismillah”. Begitu pula ibu di pagi itu. Dia adalah pahlawan untuk keluarganya. Dia tak menyerah walau tak ada orang yang menghiraukan tawaran dagangannya. Satu hal yang membuat aku salut kepada mereka berdua, dan kepada mereka yang berjuang mencari nafkah di luar sana, mereka tak meminta dalam kesempitan yang nyata. Iya, mereka tetap bekerja dan tidak meminta-minta kepada sesama atas dasar iba.
***
Ditulis di dalam pesawat yang mau terbang dan di-post setelah mendarat dengan bahagia di Bandara Juanda (dalem pesawat ga boleh nyalain internet hehe), 26 Syawal 1440H.
Comments
Post a Comment