Tentang Ketertinggalan

Bismillahirrahamanirrahim

Sore ini, aku bergegas untuk segera absen pulang.
Sederhana, aku ingin bertemu Fitri lagi sebelum dia kembali ke Jakarta.

Hari ini, setelah hampir seharian berada di Wisma Keuangan membersamai Pelatihan Sekretaris Pimpinan, aku bertekad untuk melajukan motorku ke arah Legian menuju tempat Fitri ikut pelatihan.

Sesampainya di depan hotel tempat pelatihan,

"Mau bertemu teman ya mbak? mohon maaf mbak, boleh saya cek dulu (jok) motornya?" tanya seorang sekuriti.

"Ohiya, silahkan pak," jawabku pada sekuriti tersebut.

"Perasaan kemarin aku kesini ga gini-gini amat," gumamku dalam hati.

Setelah selesai dicek dan memarkirkan sepeda motor, ada sekuriti lain yang mengajakku bicara.

"Mohon maaf mbak, boleh KTP nya saya pegang dulu?"

"Iya, silahkan pak."

Jujur, mungkin aku agak gimana gitu dimintain KTP hehe, tapi aku bisa memaklumi.

Legian Kute belum sepenuhnya sembuh dari luka Bom Bali.

Orang-orang sepertiku yang memakai baju lengkap akan diberikan 'perhatian' khusus. Wajar sih menurutku, karena mungkin mereka masih trauma.


Selang beberapa menit, akhirnya aku bertemu Fitri. Aku tidak berlama-lama menemuinya karena dia memang harus berkemas pulang.

"Fit, kamu tu lho ngga keliatan kalau udah nikah, kayak anak SMA malah..." ucapku pada Fitri di koridor menuju lift.

Kami pun lalu membicarakan beberapa hal.

Dan sampailah kami pada basement tempat aku memarkir motor.

"Maa, hati-hati," kata Fitri.

"Fitri juga hati-hati yaa..."



Fitri, teman sekosan dan sekelasku ini.
Fitri yang selalu terlihat ceria,

Adakah aku iri dengan kehidupannya?

---

Beberapa waktu lalu ketika pulang ke Surabaya, punya kesempatan untuk ketemu teman-teman SMA.

Obrolan kami mulai dari pekerjaan, pasangan hidup, kuliah, dll.

Tema besarnya memang tentang quarter life crisis, yang mana pada akhirnya aku tahu bahwa kami, mau tidak mau, memang mengalaminya.

---

"Yang sabar ya," ucapku pada seorang teman yang berkunjung ke rumahku di hari raya kemarin.

Entahlah. Mungkin mudah bagiku berkata demikian, karena aku memang tidak diposisinya, tetapi...Ah sudahlah, setiap orang punya fase bertumbuhnya masing-masing.

Seseorang ini adalah teman yang belum lulus kuliah, bahkan skripsinya terganjal. Di saat kami sudah mulai membangun karir masing-masing, di saat diantara kami sudah ada yang berkeluarga, dan dia masih bergelut dengan dunia perkuliahan.

Untuk menghiburnya, aku menceritakan beberapa kisah kepadanya yang mana kisah itu ingin aku bagi kesini.


Aku mengenal seorang wanita yang menikah di usia 30 tahun. Cukup tua dibanding teman-teman beliau yang saat itu rata-rata menikah di usia 22-25 tahun. Beliau melahirkan anak pertama di usia 31 tahun lalu melahirkan anak kedua di usia 36 tahun.

Sudah cukupkah ketertinggalan beliau dibanding yang lain?

Ternyata tidak.

Di saat teman-teman beliau memiliki kondisi keluarga yang sempurna, beliau menjadi tulang punggung keluarga, beliau berpisah dengan pasangan hidupnya.

Sudahkah selesai ujian kehidupan beliau?

Belum,

Berbagai drama kehidupan telah beliau lalui. Cibiran dan nyinyiran orang-orang sekitar tentang predikat janda kerap kali beliau terima.

Rumah yang beliau bangun dengan jerih payah kerap kali terbuka atapnya karena proses pembangunan yang belum selesai.

Namun, siapa sangka, di usia pensiun 58 tahun, beliau sudah tidak menanggung kedua anak yang beliau besarkan. Kedua anak beliau telah bekerja. Dan di usia ini pula, beliau telah menerima cucu.

Yang mana, di saat yang bersamaan, ada seorang teman beliau yang menikah di usia sekitar 22 tahun dan sampai sekarang belum memiliki cucu.

Padahal anak pertama dari teman tersebut telah berusia 37 tahun, yang mana saat itu, teman tersebut menggendong anak di usia jauh lebih muda dibanding wanita yang menikah di usia 30 tahun itu.

See?

Ujian beliau adalah dulu, sedangkan ujian teman beliau adalah sekarang.

Mengapa kita harus takut akan ketertinggalan?

Dan beliau yang aku ceritakan ini adalah ibuku tersayang.

Yang berkata kepadaku bahwa takdir itu sudah dituliskan dan harus diterima, haris dijalani.


Cerita kedua,

aku pernah melihat explore instagram.

Kulihat seorang anak dengan toganya berfoto di depan kuburan ibunya. Salah fokus aku melihat tanggal lahir dan kematian ibunya.

Seingatku, ibu tersebut meninggal di usia sekitar 46 tahun.

Lalu otak kekepoanku pun berpikir,
"Kalau ibu itu meninggal usia segitu, anaknya sekarang udah usia segitu dan itu pun anak kedua, lha berarti ibunya nikah muda dong..."

Dan tau apa yang aku simpulkan dari hal tersebut?

Mengapa harus iri dengan orang lain? Mengapa?

Mungkin memang ibu itu mendapat jatah rezeki jodoh yang lebih awal dari orang lain karena memang jatah usianya yang singkat.

Allah tidak dzalim kepada hamba-hamba-Nya. Dan rezeki tiap hamba itu tidak akan tertukar.

---

Aku tahu, di usia ini kita memang sedang mengalami banyak kegelisahan hidup.

Salah satunya, jika memang hidup kita (dari pandangan kacamata kita) lebih lambat dari orang lain.

Karena ya memang begitulah manusia, inginnya cepat dan cepat, tidak ingin menunggu terlalu lama,

tapi tahukah kamu?

"Aku yakin kalau ini ngga lolos, berarti aku disuruh mengerjakan sesuatu yang masih lebih penting," ucap mbak Heni, STANers 2013, pegawai DJKN, ketika aku wawancarai bagaimana perasaanya lolos DIV tahun 2019.

Atau yang berikut ini,

"Aku ngga worry sih, karena aku yakin tiap orang punya waktunya masing-masing" ucap mbak Nisa, pegawai Pusdiklat AP, sudah mencoba beberapa kali tes masuk DIV dan akhirnya lolos di tahun ini.

---

Lantas, adakah aku iri dengan kehidupan Fitri?

Tidak. Aku malah senang melihat dia yang sekarang. Aku senang dan sangat senang melihat kehidupannya.

Benar, mungkin aku tertinggal, bukan hanya dari Fitri, tapi dari banyak orang, bukan hanya tentang pasangan hidup, tapi juga tentang rencana pencapaian studi lanjutan,

tetapi, mengapa aku harus takut akan ketertinggalan? Toh rezeki itu pasti dan itu adalah hak seorang hamba.



Aku yang memang tertinggal dari kaca mata manusia, aku yakin ada hal lebih penting lain yang butuh untuk aku lakukan saat ini.

"Battle nya udah ngga sama," kata seorang teman kepadaku.

Iya benar, medan area pertempuran kita setelah lulus kuliah memang tidak lagi sama. Pilihan kita, standar keberhasilan kita pun juga tidak sama. Hal-hal yang ingin kita capai pun juga tidak sama.

Lantas mengapa harus meletakkan standar orang lain kepada diri sendiri?

Pada akhirnya, aku menemukan bahwa

langkah untuk mengakhiri quarter life crisis adalah dengan mengubah mindset kita akan kehidupan,

bahwa kita harus selalu husnudzon kepada-Nya.

---

Segala puji hanya milik Allah yang telah mencabut rasa khawatir akan kehidupan ini.

---

Denpasar Barat, dalam kondisi mau melanjutkan naskah tapi lagi buntu dan pada akhirnya lebih memilih nulis di blog, 24 Syawal 1440H.

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!