My PCOS Diary: Pantaskah Menjadi Hamba yang Tidak Bersyukur

Bismillahirrahmanirrahim

"Ma, kurusan ya sekarang?" kata Ulfa tadi malam di tengah perbincangan kami.

"Iya Fa, aku juga bingung ini, kenapa akhir-akhir ini jadi ga suka makan," jawabku.

Kemarin sore, setelah absen pulang, aku bergegas menuju Bandara Ngurah Rai untuk menaiki pesawat yang membawaku ke Jakarta.

Bukan dengan biayaku sendiri tentunya, tapi karena ada penugasan pelatihan di BPPK Purnawarman.

Tiket yang dibelikan tanggal 22 Juli sengaja aku reschedule menjadi tanggal 19 Juli untuk mengejar Ulfa yang pagi ini pulang ke Semarang. Sudah sepekan ini dia di Jakarta, dengan tugas negara pula tentunya.

Duduk depan biar aman dari sebelah-sebelahan sama laki-laki



---

Beberapa hari yang lalu, ketika kontrol, dokter pun juga bilang,

"Masalahnya, kamu kurus sih, jadi bingung ini harus disuruh apa. Biasanya orang PCOS itu gemuk, cara menanganinya ya tinggal suruh dia olahraga biar berat badannya turun," kata dokter Naivah.

Oke, baru pertama kali itu, aku dibilang kurus dan aku ngga suka, haha. Tapi, siapa juga yang mau punya tubuh gemuk?

"Dok, penderita PCOS bisa punya anak kan?" pertanyaan kesekian kalinya yang aku tanyakan kepada dokter yang menangani aku, walau aku sudah tahu jawabannya bisa, aku ingin mendengar lagi jawaban 'bisa' agar supaya hatiku terhibur.

"Bisa Rahma, hanya saja usahanya harus lebih keras dari orang lain,

Saya juga PCOS kok Rahma," jawab dokter Naivah.

Dokter Naivah Harharah juga merupakan PCOS fighter, dan beliau punya tiga anak.

"Apa pengobatan setelah menikah nanti akan memakan biaya yang mahal dok?" tanyaku.

"Nggak Rahma, nggak mahal kok, tapi kamu harus tetep berjuang.  Biasanya penderita PCOS akan hamil ketika sudah ikhlas (menerima apa yang terjadi)," jawab dokter.

Jujur, sepulang dari kontrol tersebut, ada bagian dari hatiku yang mengalami kegelisahan. Bertanya mengapa dan mengapa, tetapi tetap belum aku temukan jawabannya.

Manusiawi menurutku, sebagai orang yang telah mengalami ini bertahun-tahun, tetapi belum menemukan ujungnya.

---

Kemarin malam di bandara Halim Perdanakusuma, dengan mendorong trolley yang mengangkut barang-barangku, aku pun terhenti untuk memesan grab.

Kulihat orang-orang sekitar yang juga sedang sibuk mencari angkutan yang membawa mereka ke tempat tujuan.

Dan ditengah hiruk pikuk tersebut, kudapati seorang laki-laki berdiri dan melakukan hal yang sama. Hanya saja dia sedikit berbeda dari kami. Tangan sebelah kirinya mengecil dari ukuran tangan normal.



"Yaa Allah..." ucapku dalam hati.

Pantaskah aku menjadi seorang hamba yang tidak bersyukur?

Seberat apapun ujian PCOS ini, itu tidak membuatku tampak tidak normal secara fisik. Aku punya dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki, dan semua organ tubuh yang lengkap, bukan hanya lengkap sejujurnya, tetapi juga berfungsi dengan baik.

---

Entahlah. Mungkin aku tidak akan kuat jika ada di posisi orang tersebut yang secara fisik terlihat tidak normal. Mungkin aku akan begitu malu untuk keluar rumah, bahkan untuk bertemu tetangga saja mungkin aku akan malu.

Sungguh benar bahwa tiap orang punya porsi ujiannya masing-masing. Dan mengapa ini terjadi padaku, adalah karena aku yang kuat mengadapinya.

---

Maka sekali lagi, pantaskah aku menjadi seorang hamba yang tidak bersyukur?

---

Ditulis di perjalanan Jakarta-Bogor

Dan diselesaikan di tanah Sunda tercinta, Ciawi, 17 Dzulqodah 1440H.



Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!