My PCOS Diary: Bersama Kesulitan Ada Kemudahan
Bismillahirrahmanirrahim
Petang ini, setelah jaga Latsar, kulajukan sepeda motor menuju Apotek Buluh Indah.
Hari ini aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada dokter kandungan terkait haidku yang tak kunjung selesai.
Dokter kandungan?
Sounds strange?
Bukannya kamu belum nikah?
Baiklah, sebelum kulanjutkan cerita, akan kujelaskan terlebih dahulu.
Aku adalah salah seorang PCOS survivor. Sejak pertama kali haid di usia 10 tahun, haidku tidak seperti orang normal pada umumnya. Siklusku pendek dan darah haidku begitu banyak. Sampai saat ini pun, terkadang aku masih bingung membedakan mana yang haid mana yang bukan, kapan harus shalat kapan tidak shalat.
Aku tidak lagi asing dengan dokter kandungan, pun demikian dengan USG perut. Sejak SMP aku sudah mencoba berobat, tetapi memang Allah menginginkan aku bersabar dan berusaha lebih keras hingga detik ini.
Kedatanganku ke dokter kandungan kali ini adalah karena aku ingin memastikan apakah aku harus shalat atau tidak. Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli terkait pendarahan yang banyak, asal aku tahu kapan harus shalat, kapan tidak.
"Rahma, bener-bener ya, hormonmu ini harus kita benahi..." kata dokter Naivah kepadaku.
Mungkin dokter Naivah sudah kebingungan juga mengapa hormonku kembali 'berulah', mengingat beberapa bulan terakhir siklusku sudah membaik.
"Cara membenahinya?" tanyaku kepada beliau.
"Cepet nikah dulu deh kamu," jawab beliau.
Cepet nikah. Saran kesekian kalinya yang aku dengar dari dokter atau perawat yang menangani kasusuku selama ini.
Aku pun cuma bisa tertawa kecil mendengar jawaban dokter.
"Rahma, kamu stress sama pekerjaan?" tanya dokter Naivah.
"Hmm...nggak sih dok, tapi mungkin, saya lagi ngalamin quarter life crisis, emang ga boleh stress ya dok biar haidnya bener?"
Dokter pun tertawa geli mendengar jawaban 'quarter life crisis' ku.
"Emang kamu kenapa sih Rahma?"
Aku pun mulai menjelaskan dengan nada bercanda.
"Dok, kalau pasien yang sebelumnya ini kenapa nangis?" rasa kepoku muncul ketika melihat pasien sebelumku keluar kemudian menangis di pundak suaminya.
"Ada kelainan sama janinnya, pilihannya adalah mau dipertahankan atau tidak, apalagi itu anak pertama," jawab dokter Naivah.
"Tuh Rahma, kalau kamu merasa cobaanmu berat, coba lihat orang lain, pasien itu tadi contohnya," sambung beliau.
Kontrol pun kami tutup seperti biasa, dengan beberapa saran. Akhirnya aku sedikit bisa menyimpulkan bahwa mungkin bulan ini haidku kembali aneh karena aku sudah jarang lari.
---
Kususuri jalanan kota Denpasar menuju tempat tinggal. Sepanjang perjalanan, aku pun berpikir.
"Aku juga pernah menangis setelah kontrol ke dokter kandungan, seperti pasien tadi, bedanya adalah, dia menangis di pundak suaminya, sedangkan aku, saat itu menghapus air mataku sendiri."
Ingatanku kembali menuju pada kejadian beberapa bulan ke belakang. Saat awal-awal di Denpasar, saat tidak tahu jalan, saat kontrol untuk persiapan Ramadhan agar jangan sampai saat puasa haidku berantakan, dan saat itu pula hujan turun cukup lebat membasahi diri yang tidak tahu arah untuk pulang.
Aku ingat sekali, di apotik Kimia Farma aku berhenti sejenak, berharap resep yang dokter katakan bisa aku dapatkan disana.
Serambi menunggu panggilan apoteker, aku pun berdo'a, rasanya saat itu, sulit sekali, terlebih aku menghadapinya seorang diri. Tak terasa aku pun meneteskan air mata, berharap hadiku normal sehingga aku tak lagi kebingungan kapan harus shalat kapan tidak.
Saat apoteker memanggilku pun, aku masih menangis. Entahlah. Mungkin itu adalah luapan emosi yang aku tahan bertahun-tahun, mungkin. Atau mungkin, aku yang belum cukup dewasa menghadapi sesuatu dan menumpahkannya dengan tangisan.
Tetapi kemudian, setelah menangis itu, aku begitu lega.
"Ya sudahlah, harus aku hadapi," pikirku saat itu.
Entahlah, mungkin sampai detik ini, ujian terberatku adalah terkait haidku yang belum normal tersebut. Tetapi sesungguhnya, dalam perjalanan menuju mess aku jadi terpikir bahwa
memang benar, bersama kesulitan, ada kemudahan.
---
Hari ini, di tengah kesulitanku karena mungkin lelah setelah piket Latsar dan harus ke dokter kandungan, Alhamdulillah aku masih bisa melihat, masih bisa melajukan sepeda motorku sendiri tanpa merepotkan siapa pun, masih bisa menyetir kendaraan, masih bisa berpikir positif. Hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari sebagai kemudahan yang Allah beri.
Alhamdulillah, di tengah ujian ini, Allah masih menitipkan harta kepadaku untuk bisa membayar biaya berobat. Ga bisa aku bayangkan kalau semua kemudahan-kemudahan yang aku sebut diatas dicabut oleh Allah.
Dan untuk kejadian di apotek Kimia Farma yang lalu, di tengah kesendirian menahan kesedihan dan air mata, Alhamdulillah Allah masih menitipkan rasa yakin kepadaku bahwa semua akan baik-baik saja. Allah tunjukkan jalan bagiku untuk pulang, Allah titipkan harta kepadaku untuk menebus obat. Rasanya banyak sekali kelapangan demi kelapangan yang Allah beri.
---
Aku semakin meyakini ayat tersebut
Dalam kaidah bahasa Arab, Al 'Usri, menunjukkan kata ma'rifat, diartikan dengan tertentu, atau sudah dikenali. Artinya satu kesulitan.
Yusran, menunjukkan kata nakirah, tidak tertentu, dapat diartikan kemudahan-kemudahan.
Bersama satu kesulitan, ada banyak kemudahan. Aku yakin itu, yakin!
Hanya saja yang sulit adalah membangun pikiran positif ketika sedang menghadapi ujian.
Tetapi, yang perlu kita ingat adalah
"Besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian."
Alhamdulillah, bersyukur atas semua kemudahan dan kesulitan yang telah Allah pergilirkan.
Untuk para PCOS survivor lainnya, tetep semangat! Kamu ngga sendiri! Kita dipilih untuk 'istimewa' karena kita yang kuat menghadapi ini semua.
---
Sebagai penutup, aku teringat salah satu cuplikan ceramah Ustadz Nuzul Dzikri berikut ini.
"Jika hari ini, Bill Gates mengatakan kepada kita agar kita mengurus microsoft, kira-kira kita puyeng ngga? Bingung ngga? Jelas! Itu bukan ranah dan kemampuan kita.
Nah apalagi ranahnya Allah. Jalan keluar dari setiap ujian itu adalah ranahnya Allah. Maka pasti kita puyeng kalau ikut-ikut mikir.
Sudahlah, serahkan semua kepada Allah. Jalankan tugas dan kewajiban kita. Jalankah ranah kita sebagai hamba."
---
Ditulis di salah satu sudut jalan Imam Bonjol, dengan belum ada editan tanda baca tentunya, haha kapan-kapan aja ya ngeditnya, 9 Dzulqodah 1440H.
Dan selesai edit di Sanur pada tanggal yang sama.
Petang ini, setelah jaga Latsar, kulajukan sepeda motor menuju Apotek Buluh Indah.
Hari ini aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada dokter kandungan terkait haidku yang tak kunjung selesai.
Sefruit foto keisengan setelah jaga Latsar |
Dokter kandungan?
Sounds strange?
Bukannya kamu belum nikah?
Baiklah, sebelum kulanjutkan cerita, akan kujelaskan terlebih dahulu.
Aku adalah salah seorang PCOS survivor. Sejak pertama kali haid di usia 10 tahun, haidku tidak seperti orang normal pada umumnya. Siklusku pendek dan darah haidku begitu banyak. Sampai saat ini pun, terkadang aku masih bingung membedakan mana yang haid mana yang bukan, kapan harus shalat kapan tidak shalat.
Aku tidak lagi asing dengan dokter kandungan, pun demikian dengan USG perut. Sejak SMP aku sudah mencoba berobat, tetapi memang Allah menginginkan aku bersabar dan berusaha lebih keras hingga detik ini.
Kedatanganku ke dokter kandungan kali ini adalah karena aku ingin memastikan apakah aku harus shalat atau tidak. Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli terkait pendarahan yang banyak, asal aku tahu kapan harus shalat, kapan tidak.
"Rahma, bener-bener ya, hormonmu ini harus kita benahi..." kata dokter Naivah kepadaku.
Mungkin dokter Naivah sudah kebingungan juga mengapa hormonku kembali 'berulah', mengingat beberapa bulan terakhir siklusku sudah membaik.
"Cara membenahinya?" tanyaku kepada beliau.
"Cepet nikah dulu deh kamu," jawab beliau.
Cepet nikah. Saran kesekian kalinya yang aku dengar dari dokter atau perawat yang menangani kasusuku selama ini.
Aku pun cuma bisa tertawa kecil mendengar jawaban dokter.
"Rahma, kamu stress sama pekerjaan?" tanya dokter Naivah.
"Hmm...nggak sih dok, tapi mungkin, saya lagi ngalamin quarter life crisis, emang ga boleh stress ya dok biar haidnya bener?"
Dokter pun tertawa geli mendengar jawaban 'quarter life crisis' ku.
"Emang kamu kenapa sih Rahma?"
Aku pun mulai menjelaskan dengan nada bercanda.
"Dok, kalau pasien yang sebelumnya ini kenapa nangis?" rasa kepoku muncul ketika melihat pasien sebelumku keluar kemudian menangis di pundak suaminya.
"Ada kelainan sama janinnya, pilihannya adalah mau dipertahankan atau tidak, apalagi itu anak pertama," jawab dokter Naivah.
"Tuh Rahma, kalau kamu merasa cobaanmu berat, coba lihat orang lain, pasien itu tadi contohnya," sambung beliau.
Kontrol pun kami tutup seperti biasa, dengan beberapa saran. Akhirnya aku sedikit bisa menyimpulkan bahwa mungkin bulan ini haidku kembali aneh karena aku sudah jarang lari.
---
Kususuri jalanan kota Denpasar menuju tempat tinggal. Sepanjang perjalanan, aku pun berpikir.
"Aku juga pernah menangis setelah kontrol ke dokter kandungan, seperti pasien tadi, bedanya adalah, dia menangis di pundak suaminya, sedangkan aku, saat itu menghapus air mataku sendiri."
Ingatanku kembali menuju pada kejadian beberapa bulan ke belakang. Saat awal-awal di Denpasar, saat tidak tahu jalan, saat kontrol untuk persiapan Ramadhan agar jangan sampai saat puasa haidku berantakan, dan saat itu pula hujan turun cukup lebat membasahi diri yang tidak tahu arah untuk pulang.
Aku ingat sekali, di apotik Kimia Farma aku berhenti sejenak, berharap resep yang dokter katakan bisa aku dapatkan disana.
Serambi menunggu panggilan apoteker, aku pun berdo'a, rasanya saat itu, sulit sekali, terlebih aku menghadapinya seorang diri. Tak terasa aku pun meneteskan air mata, berharap hadiku normal sehingga aku tak lagi kebingungan kapan harus shalat kapan tidak.
Saat apoteker memanggilku pun, aku masih menangis. Entahlah. Mungkin itu adalah luapan emosi yang aku tahan bertahun-tahun, mungkin. Atau mungkin, aku yang belum cukup dewasa menghadapi sesuatu dan menumpahkannya dengan tangisan.
Tetapi kemudian, setelah menangis itu, aku begitu lega.
"Ya sudahlah, harus aku hadapi," pikirku saat itu.
Entahlah, mungkin sampai detik ini, ujian terberatku adalah terkait haidku yang belum normal tersebut. Tetapi sesungguhnya, dalam perjalanan menuju mess aku jadi terpikir bahwa
memang benar, bersama kesulitan, ada kemudahan.
---
Hari ini, di tengah kesulitanku karena mungkin lelah setelah piket Latsar dan harus ke dokter kandungan, Alhamdulillah aku masih bisa melihat, masih bisa melajukan sepeda motorku sendiri tanpa merepotkan siapa pun, masih bisa menyetir kendaraan, masih bisa berpikir positif. Hal-hal kecil yang mungkin tidak disadari sebagai kemudahan yang Allah beri.
Alhamdulillah, di tengah ujian ini, Allah masih menitipkan harta kepadaku untuk bisa membayar biaya berobat. Ga bisa aku bayangkan kalau semua kemudahan-kemudahan yang aku sebut diatas dicabut oleh Allah.
Dan untuk kejadian di apotek Kimia Farma yang lalu, di tengah kesendirian menahan kesedihan dan air mata, Alhamdulillah Allah masih menitipkan rasa yakin kepadaku bahwa semua akan baik-baik saja. Allah tunjukkan jalan bagiku untuk pulang, Allah titipkan harta kepadaku untuk menebus obat. Rasanya banyak sekali kelapangan demi kelapangan yang Allah beri.
---
Aku semakin meyakini ayat tersebut
Penjelasan bahasa Arabnya |
Dalam kaidah bahasa Arab, Al 'Usri, menunjukkan kata ma'rifat, diartikan dengan tertentu, atau sudah dikenali. Artinya satu kesulitan.
Yusran, menunjukkan kata nakirah, tidak tertentu, dapat diartikan kemudahan-kemudahan.
Bersama satu kesulitan, ada banyak kemudahan. Aku yakin itu, yakin!
Hanya saja yang sulit adalah membangun pikiran positif ketika sedang menghadapi ujian.
Tetapi, yang perlu kita ingat adalah
"Besarnya pahala tergantung pada besarnya ujian."
Alhamdulillah, bersyukur atas semua kemudahan dan kesulitan yang telah Allah pergilirkan.
Untuk para PCOS survivor lainnya, tetep semangat! Kamu ngga sendiri! Kita dipilih untuk 'istimewa' karena kita yang kuat menghadapi ini semua.
---
Sebagai penutup, aku teringat salah satu cuplikan ceramah Ustadz Nuzul Dzikri berikut ini.
"Jika hari ini, Bill Gates mengatakan kepada kita agar kita mengurus microsoft, kira-kira kita puyeng ngga? Bingung ngga? Jelas! Itu bukan ranah dan kemampuan kita.
Nah apalagi ranahnya Allah. Jalan keluar dari setiap ujian itu adalah ranahnya Allah. Maka pasti kita puyeng kalau ikut-ikut mikir.
Sudahlah, serahkan semua kepada Allah. Jalankan tugas dan kewajiban kita. Jalankah ranah kita sebagai hamba."
---
Ditulis di salah satu sudut jalan Imam Bonjol, dengan belum ada editan tanda baca tentunya, haha kapan-kapan aja ya ngeditnya, 9 Dzulqodah 1440H.
Dan selesai edit di Sanur pada tanggal yang sama.
Comments
Post a Comment