Dua Digit dan Sekolah Anak
Bismillahirrahmanirrahim
Beberapa hari yang lalu, aku membaca sebuah informasi gaji anak millenials dan harapan gaji mereka ke depan.
Takjub dong.
Di usiaku, ada yang gajinya gede banget, bahkan dia berekspektasi buat bisa dapet gaji yang lebih gede dari yang dia dapet sekarang.
Dibalik semua informasi itu, ada satu hal yang menarik perhatianku,
"Pingin suami gajinya dua digit, biar bisa sekolahin anak di sekolah Internasional."
Kurang lebih begitu kata salah seorang nitizen.
Hmm...baiklah...
Jadi begini, dalam prespektifku, tidak ada yang salah dengan harapan si mbak yang pingin punya suami bergaji dua digit biar bisa sekolahin anak di sekolah Internasional,
toh itu keinginan mbaknya,
dan kita juga ga tau apa alasan kuat mbaknya pingin sekolahin anak di sekolah Internasional,
dan keinginan orang lain, belum tentu sama seperti itu.
Tetapi, secara surface, ada satu hal mendasar yang mungkin perlu aku ingatkan, khususnya untuk diriku sendiri...
"Mendidik anak itu bukan hanya perkara menyekolahkan..."
Mendidik anak itu pekerjaan seumur hidup. Adapun sekolah, adalah sarana, yang paling dimintai pertanggungjawaban atas pendidikan anak bukanlah sekolah, tetapi orang tua.
Sebelum aku menuliskan postingan ini, setelah maghrib tadi, aku iseng membuka catatan kuliah Manajemen Keuangan.
Rasanya, bahagia banget masih bisa paham walau ga keseluruhan.
Ada rasa bahagia ketika bersentuhan lagi dengan yang namanya ilmu, setelah sekian lama aku ga membuka materi kuliah karena satu dan lain hal.
Sejujurnya, aku harus sangat berterimakasih,
pertama, kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
kedua, kepada ibuku.
Dibalik aku yang ambis ketika sekolah dan kuliah, aku yang suka baca buku, aku yang sering merasa bersalah kalau sehari aja ga ada hal manfaat yang aku baca,
ada kemudahan yang Allah beri,
kemudian ada ibuku yang meng-gemblengku menjadi pribadi yang demikian.
As you know, keluargaku berpisah, aku pernah mengalami keadaan sulit ekonomi, boro-boro mau sekolah di sekolah Internasional, bisa sekolah aja udah bersyukur.
Tetapi, ibuku punya misi yang kuat. Waktu kecil, aku sering banget diajak ke toko buku, walau dulu cuma bisa lihat, ga bisa beli karena kesulitan secara finansial.
Ga bisa dipungkiri, hal itu membuat aku cinta pada buku. Sangat, bahkan sampai hari ini.
Awal-awal SD, ibuku selalu mendampingi belajar. Kadang mendampingi dengan menyenangkan, kadang juga sebaliknya.
Malam hari adalah waktu untuk belajar, itu yang ditekankan ibuku. Karena buktinya, ketika aku belajar, ibuku ga nonton TV atau baca koran (dulu belum ada smartphone yang melalaikan). Ibuku ikut dalam proses aku belajar.
Kalau aku tidak hafal isi beberapa bagian dari pepak bahasa Jawa atau menghafal hal lain,
hmmm...jangan ditanya, pasti aku akan kena marah habis-habisan.
Mau ga mau, aku seperti memaksa diri sendiri supaya belajar, belajar, dan belajar,
sampai pada satu titik aku merasa bahwa belajar adalah hal yang seru, hal yang menyenangkan, hal yang aku butuhkan.
Kecintaan pada belajar semakin tumbuh.
Waktu SMP, ga bisa dipungkiri, aku pernah mencontek, semata-mata karena ingin dapet nilai bagus. Kabar baiknya, itu cuma sesekali. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak membenarkan perbuatan mencontek yang pernah aku lakukan tersebut, untuk UNAS pun aku jujur, murni bekerja dengan diriku sendiri.
Alhamdulillah masuk SMA aku benar-benar taubat, aku berjanji untuk ga mencontek atau memberi contekan, walau ga bisa dipungkiri, keadaan kadang mengesalkan. Teman yang nyontek nilainya lebih bagus daripada aku.
Apa konsekuensi dari janjiku untuk tidak mencontek tersebut? Padahal lingkunganku banyak yang mencontek, dan rasanya contek mencontek ini memang sangat menyebar di kalangan pelajar.
Konsekuensinya adalah belajar lebih giat. Menghafal lebih sering. Belajar materi baru sebelum guru datang ke kelas.
Terdengar nerd?
Iya, tapi hal itu, dulu aku lakukan.
Kalau dipikir, emang saat SMA itu gila banget!! Bisa multitalenta banget!
Kehidupan SMA terbawa juga waktu kuliah.
Merasa sangat bersalah kalau sehari aja ga belajar.
Ada waktu yang terbuang, ada kesempatan yang terlewatkan.
Sampai secinta itu lho aku sama belajar.
Rasanya kuliah (tingkat 1 dan 2) adalah the best version of me.
Dulu aku sampai punya jam-jam khusus untuk buka WA. Punya batasan lima kali aja sehari untuk buka WA.
Tujuannya apa? Biar belajarku ga terganggu.
Hari ini pun, setelah lulus kuliah, aku masih sangat cinta pada ilmu. Walau orientasiku sudah berbeda.
Kini aku lebih menghargai ilmu yang aku butuhkan, bukan lagi mengejar ilmu leterlek yang ada di kurikulum sekolah atau kuliah.
Baiklah, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa aku ini baik bla bla bla, buktinya suka belajar bla bla bla...
bukan itu yang aku maksud.
Aku cuma ingin bilang bahwa...
Ada hal yang lebih penting dari sekedar menyekolahkan anak dimana..
hal yang jauh lebih penting dari fasilitas sekolah dan hal surface lainnya...
Hal itu adalah mendidik anak untuk mencintai proses belajar itu sendiri.
Membuat anak mengerti bahwa belajar itu ada manfaatnya, bahwa orientasinya bukan nilai, nilai adalah bonus jika mau belajar sungguh-sungguh, maka mencontek adalah hal yang ga patut untuk dilakukan.
Dimana pun sekolahnya, tujuan utama adalah membuat anak mencintai proses belajar itu sendiri.
Entah pada akhirnya nilainya bagus karena memang dia berbakat dalam hal akademik, atau pun sebaliknya.
Ada hal moril tentang kejujuran yang harus sangat kita tanamkan pada anak.
Tidak menuntut nilai yang bagus, tetapi menuntut anak untuk enjoy dengan sekolahnya.
Belajar adalah proses, dan yang namanya proses, maka harusnya tidak berhenti hanya karena sudah tidak menempuh pendidikan formal.
Mendidik adalah pekerjaan seumur hidup,
maka...
jangan takut tidak bisa menyekolahkan anak di sekolah yang luar biasa bagus,
tetapi takutlah kalau diri sendiri belum bisa mendidik anak.
---
Ditulis di Denpasar, Bali
setelah merenungi beberapa hal
25 Shafar 1441H.
Beberapa hari yang lalu, aku membaca sebuah informasi gaji anak millenials dan harapan gaji mereka ke depan.
Takjub dong.
Di usiaku, ada yang gajinya gede banget, bahkan dia berekspektasi buat bisa dapet gaji yang lebih gede dari yang dia dapet sekarang.
Dibalik semua informasi itu, ada satu hal yang menarik perhatianku,
"Pingin suami gajinya dua digit, biar bisa sekolahin anak di sekolah Internasional."
Kurang lebih begitu kata salah seorang nitizen.
Hmm...baiklah...
Jadi begini, dalam prespektifku, tidak ada yang salah dengan harapan si mbak yang pingin punya suami bergaji dua digit biar bisa sekolahin anak di sekolah Internasional,
toh itu keinginan mbaknya,
dan kita juga ga tau apa alasan kuat mbaknya pingin sekolahin anak di sekolah Internasional,
dan keinginan orang lain, belum tentu sama seperti itu.
Tetapi, secara surface, ada satu hal mendasar yang mungkin perlu aku ingatkan, khususnya untuk diriku sendiri...
"Mendidik anak itu bukan hanya perkara menyekolahkan..."
Mendidik anak itu pekerjaan seumur hidup. Adapun sekolah, adalah sarana, yang paling dimintai pertanggungjawaban atas pendidikan anak bukanlah sekolah, tetapi orang tua.
Sebelum aku menuliskan postingan ini, setelah maghrib tadi, aku iseng membuka catatan kuliah Manajemen Keuangan.
Rasanya, bahagia banget masih bisa paham walau ga keseluruhan.
Ada rasa bahagia ketika bersentuhan lagi dengan yang namanya ilmu, setelah sekian lama aku ga membuka materi kuliah karena satu dan lain hal.
Sejujurnya, aku harus sangat berterimakasih,
pertama, kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
kedua, kepada ibuku.
Dibalik aku yang ambis ketika sekolah dan kuliah, aku yang suka baca buku, aku yang sering merasa bersalah kalau sehari aja ga ada hal manfaat yang aku baca,
ada kemudahan yang Allah beri,
kemudian ada ibuku yang meng-gemblengku menjadi pribadi yang demikian.
As you know, keluargaku berpisah, aku pernah mengalami keadaan sulit ekonomi, boro-boro mau sekolah di sekolah Internasional, bisa sekolah aja udah bersyukur.
Tetapi, ibuku punya misi yang kuat. Waktu kecil, aku sering banget diajak ke toko buku, walau dulu cuma bisa lihat, ga bisa beli karena kesulitan secara finansial.
Ga bisa dipungkiri, hal itu membuat aku cinta pada buku. Sangat, bahkan sampai hari ini.
Awal-awal SD, ibuku selalu mendampingi belajar. Kadang mendampingi dengan menyenangkan, kadang juga sebaliknya.
Malam hari adalah waktu untuk belajar, itu yang ditekankan ibuku. Karena buktinya, ketika aku belajar, ibuku ga nonton TV atau baca koran (dulu belum ada smartphone yang melalaikan). Ibuku ikut dalam proses aku belajar.
Kalau aku tidak hafal isi beberapa bagian dari pepak bahasa Jawa atau menghafal hal lain,
hmmm...jangan ditanya, pasti aku akan kena marah habis-habisan.
Mau ga mau, aku seperti memaksa diri sendiri supaya belajar, belajar, dan belajar,
sampai pada satu titik aku merasa bahwa belajar adalah hal yang seru, hal yang menyenangkan, hal yang aku butuhkan.
Kecintaan pada belajar semakin tumbuh.
Waktu SMP, ga bisa dipungkiri, aku pernah mencontek, semata-mata karena ingin dapet nilai bagus. Kabar baiknya, itu cuma sesekali. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak membenarkan perbuatan mencontek yang pernah aku lakukan tersebut, untuk UNAS pun aku jujur, murni bekerja dengan diriku sendiri.
Alhamdulillah masuk SMA aku benar-benar taubat, aku berjanji untuk ga mencontek atau memberi contekan, walau ga bisa dipungkiri, keadaan kadang mengesalkan. Teman yang nyontek nilainya lebih bagus daripada aku.
Apa konsekuensi dari janjiku untuk tidak mencontek tersebut? Padahal lingkunganku banyak yang mencontek, dan rasanya contek mencontek ini memang sangat menyebar di kalangan pelajar.
Konsekuensinya adalah belajar lebih giat. Menghafal lebih sering. Belajar materi baru sebelum guru datang ke kelas.
Terdengar nerd?
Iya, tapi hal itu, dulu aku lakukan.
Merasa lebih hidup dengan belajar |
Kalau dipikir, emang saat SMA itu gila banget!! Bisa multitalenta banget!
Kehidupan SMA terbawa juga waktu kuliah.
Merasa sangat bersalah kalau sehari aja ga belajar.
Ada waktu yang terbuang, ada kesempatan yang terlewatkan.
Sampai secinta itu lho aku sama belajar.
Rasanya kuliah (tingkat 1 dan 2) adalah the best version of me.
Dulu aku sampai punya jam-jam khusus untuk buka WA. Punya batasan lima kali aja sehari untuk buka WA.
Tujuannya apa? Biar belajarku ga terganggu.
Hari ini pun, setelah lulus kuliah, aku masih sangat cinta pada ilmu. Walau orientasiku sudah berbeda.
Kini aku lebih menghargai ilmu yang aku butuhkan, bukan lagi mengejar ilmu leterlek yang ada di kurikulum sekolah atau kuliah.
Baiklah, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa aku ini baik bla bla bla, buktinya suka belajar bla bla bla...
bukan itu yang aku maksud.
Aku cuma ingin bilang bahwa...
Ada hal yang lebih penting dari sekedar menyekolahkan anak dimana..
hal yang jauh lebih penting dari fasilitas sekolah dan hal surface lainnya...
Hal itu adalah mendidik anak untuk mencintai proses belajar itu sendiri.
Membuat anak mengerti bahwa belajar itu ada manfaatnya, bahwa orientasinya bukan nilai, nilai adalah bonus jika mau belajar sungguh-sungguh, maka mencontek adalah hal yang ga patut untuk dilakukan.
Dimana pun sekolahnya, tujuan utama adalah membuat anak mencintai proses belajar itu sendiri.
Entah pada akhirnya nilainya bagus karena memang dia berbakat dalam hal akademik, atau pun sebaliknya.
Ada hal moril tentang kejujuran yang harus sangat kita tanamkan pada anak.
Tidak menuntut nilai yang bagus, tetapi menuntut anak untuk enjoy dengan sekolahnya.
Belajar adalah proses, dan yang namanya proses, maka harusnya tidak berhenti hanya karena sudah tidak menempuh pendidikan formal.
Mendidik adalah pekerjaan seumur hidup,
maka...
jangan takut tidak bisa menyekolahkan anak di sekolah yang luar biasa bagus,
tetapi takutlah kalau diri sendiri belum bisa mendidik anak.
---
Ditulis di Denpasar, Bali
setelah merenungi beberapa hal
25 Shafar 1441H.
Comments
Post a Comment