Terimakasih 2019!
Bismillahirrahmanirrahim
2 Desember 2018...
Di bawah langit Jakarta yang terik saat itu,
rasa getir masih menyelimuti hati.
Busway yang mengantarku ke Jakarta Selatan telah berhenti di halte Masjid Al-Ahzar,
ah benar, terlalu banyak kenangan di kota ini.
Hari itu, aku coba lagi untuk mengedukasi diri,
bahwa segala perih akan terlewati.
Aku berjalan dan terus berjalan mengikuti kata hati.
Bahwa nikmat dan ujian bergilir silih berganti.
Rasa perih yang membekas terus menyelimuti.
Sampai pada akhirnya, datanglah hari yang sangat kami nanti.
Penempatan definitif,
tepat di tanggal 31 Desember 2018.
Denpasar.
Kenyataan pahit kembali menghampiri.
Penempatan yang tak sesuai isi hati.
Menambah beban Quarter Life Crisis yang sedang dihadapi.
"Tak apa, aku harus meninggalkan Jakarta, pasti ada hikmah di baliknya," ucapku seraya menghibur diri.
Awal tahun 2019 aku buka dengan begitu banyak luka yang mendera.
Tentang ketakutan yang begitu besar
tentang kegetiran hati yang mendalam.
Aku ingat sekali tentang air mata yang aku teteskan ketika pertama kali datang ke Bali.
Rasa-rasanya...
belum selesai satu masalah, lalu kemudian muncul masalah baru lagi.
Menjadi muslim minoritas
Susah mendapat jodoh
Jauh dari kajian
adalah hal-hal yang terus aku tangisi.
Aku ingat sekali bagaimana aku terus menerus berusaha menghibur diri...
menghapus air mata
dan kembali menata hati.
"Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah."
Tulisku dalam sebuah kertas untuk menghibur hati.
Hari demi hari berganti.
Masih dalam proses penerimaan kembali.
Berusaha untuk terus mencari,
akan hikmah di balik segala kenyataan ini.
Diklat ke Jakarta adalah salah satu hal yang sangat menghibur hati.
Bertemu dengan teman-teman yang sangat dicintai.
Mengunjungi tempat-tempat yang penuh dengan memori.
Sambil terus menguatkan hati untuk tetap tegak berdiri.
Ramadhan rupaya memang memiliki banyak hikmah.
Salah satunya adalah kenyamanan yang menghampiri.
Perlahan, Bali yang dulu sangat menakutkan...
telah memiliki tempat di dalam hati.
Jika membuka kembali semua tulisanku di tahun ini...
lucu sekali memang.
Bali yang dulu aku benci...
berubah menjadi rumah yang menenangkan hati.
Menerima kenyataan untuk tinggal di Bali ternyata tidak selalu mudah.
Guncangan akan keresahan hidup sesekali menghampiri.
Melihat mereka yang satu per satu meninggalkan masa lajang...
sambil terus bertanya "Mengapa progres hidupku lebih lambat dari mereka?"
Bukan.
Aku bukannya tidak senang melihat mereka bahagia.
Hanya saja, aku perlu suatu jawaban atas segala pertanyaanku.
"Aku sudah shalat, aku sudah puasa, aku sudah berusaha jadi orang baik, mengapa aku kalah cepat dibanding mereka yang (dalam pandanganku) tidak lebih baik dari aku?"
Kotornya hati terkadang memang benar telah menutup nurani.
Merasa diri paling bersih.
Merasa diri paling berhak untuk mendapat nikmat terlebih dahulu dibanding yang lain.
"Dulu, dia sama dia di kampus deket, dan mereka nikah. Mengapa gitu Yaa Allah?"
"Dulu, dia sama dia di kampus jadian, dan sekarang mereka nikah. Mengapa?"
Aku berada dalam titik down kembali.
Ternyata memang tak selalu mudah melihat kebahagiaan orang lain.
Terlebih, jika diri ini mengetahui jejak cara yang mereka pilih.
Pacaran.
HTS-an.
Atau kedekatan lainnya yang tidak mau mereka sebut dengan kedua istilah di atas.
Aku mempertanyakan mengapa mereka diberi kemudahan untuk menikah padahal cara yang mereka ambil salah.
Aku mempertanyakan mengapa aku yang tengah berusaha meniti jalan yang benar tidak segera diberi jalan untuk menikah.
Tiap kali aku merasa down karena teringat hal itu...
kembali aku dengarkan nasihat Ustadz Nuzul Dzikri.
"Menikah(nya mereka) kan bukan jaminan bahagia. Apa antum sudah membuktikan bahwa orang yang pacaran dan kemudian menikah, maka mereka bahagia?
Coba ingat kembali Surat Thaha ayat 124
'Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit...'"
Sambil meneteskan air mata, mendengar itu aku menjadi begitu lega.
Aku tidak perlu iri dengan mereka.
Aku adalah aku.
Dan aku harus menggunkan jalan yang benar.
Ketika rasa takut dan gelisah kembali menghampiri...
aku berdo'a kepada Dia Yang Maha Kuasa.
"Yaa Allah, tolong perbaiki kehidupanku,
tolong berkahi kehidupanku."
Aku terus berdo'a mengucapkan itu sambil menyadari bahwa tidak ada satu pun yang mampu menolongku keluar dari segala permasalahanku kecuali hanya Allah.
Perlahan aku telah bisa ikhlas.
Melihat yang lain menikah...
melihat yang lain dengan segala pencapaian mereka masing-masing.
Aku mulai menikmati fase hidup tanpa risau karena merasa tertinggal dari orang lain.
Di tengah fase tersebut,
Allah kirimkan orang yang datang dengan niat baiknya.
Dan bagimana mungkin aku tidak bahagia?
Mengingat beberapa bulan yang lalu hidupku begitu guncang dengan segala penerimaan yang sedang aku usahakan.
Begitu mudah Allah membolak-balik keadaan.
Jika bukan karena kebaikan Allah,
rasanya, aku tidak akan pernah ikhlas melihat yang lain lebih cepat dari aku.
Jika bukan karena kasih sayang Allah,
rasanya, aku tidak akan pernah terima untuk ditempatkan di pulau ini.
Dan bagimana mungkin aku tidak bersyukur?
Bahwa Allah mudahkan segala prosesnya.
Hanya 2 bulan.
Dan aku menikah bahkan di saat yang tidak aku sangka.
Dengan orang yang tidak aku sangka pula.
Jika melihat kembali ke belakang,
melihat berbagai hal yang telah terjadi,
ternyata memang ada hikmah besar yang Allah persiapkan untuk aku.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." - QS. Al Baqarah: 216
Aku tahu menikah bukanlah akhir dari segalanya,
tetapi menikah adalah awal dari kehidupan baru, tanggung jawab baru, dan peran baru yang aku emban.
Di awal tahun 2018, aku menuliskan 'menikah' sebagai salah satu target yang ingin aku capai di tahun itu,
yang mana kemudian,
target itu luluh lantah berubah menjadi depresi.
Awal tahun ini, aku tidak berani mencantumkan 'menikah' sebagai target yang ingin aku capai.
Mengapa begitu?
Karena aku tahu,
menikah bukanlah pencapaian yang harus cepat-cepat-an dari orang lain.
Menikah adalah ibadah,
maka niatnya harus benar,
caranya pun juga harus benar.
Desember tahun ini tampaknya begitu berbeda dari Januari lalu.
Kebencian akan pulau Bali yang berubah menjadi kenyamanan,
teman-teman Bali dengan berbagai kasih dan sayang,
status yang tak lagi lajang,
dan banyak hal berbeda lainnya.
Aku sangat berterimakasih kepada Allah yang telah memberi banyak kejutan di tahun ini,
baik kejutan yang menyedihkan...
dan juga kejutan yang menyenangkan.
Aku tahu, kedepan mungkin hidup tidaklah mudah.
Akan ada kecemasan-kecemasan lain yang menghampiri.
Kecemasan tentang membesarkan anak,
atau kecemasan tentang mengelola finansial sebaik mungkin.
Tetapi, apa pun itu...
"Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah." - [HR. Tirmidzi No.2516]
Allah lah yang harus kita mintai pertolongan pertama kali ketika kita jatuh, sakit, terluka, kecewa, dan rasa tidak enak lainnya.
Allah juga lah yang harus kita berikan ucapan syukur terimakasih pertama kali atas semua nikmat dan bahagia yang kita rasa.
---
Alhamdulillah, terimakasih 2019!
2 Desember 2018...
Di bawah langit Jakarta yang terik saat itu,
rasa getir masih menyelimuti hati.
Busway yang mengantarku ke Jakarta Selatan telah berhenti di halte Masjid Al-Ahzar,
ah benar, terlalu banyak kenangan di kota ini.
Hari itu, aku coba lagi untuk mengedukasi diri,
bahwa segala perih akan terlewati.
Aku berjalan dan terus berjalan mengikuti kata hati.
Bahwa nikmat dan ujian bergilir silih berganti.
Half Deen series pertama |
Rasa perih yang membekas terus menyelimuti.
Sampai pada akhirnya, datanglah hari yang sangat kami nanti.
Penempatan definitif,
tepat di tanggal 31 Desember 2018.
Denpasar.
Kenyataan pahit kembali menghampiri.
Penempatan yang tak sesuai isi hati.
Menambah beban Quarter Life Crisis yang sedang dihadapi.
"Tak apa, aku harus meninggalkan Jakarta, pasti ada hikmah di baliknya," ucapku seraya menghibur diri.
Awal tahun 2019 aku buka dengan begitu banyak luka yang mendera.
Tentang ketakutan yang begitu besar
tentang kegetiran hati yang mendalam.
Aku ingat sekali tentang air mata yang aku teteskan ketika pertama kali datang ke Bali.
Rasa-rasanya...
belum selesai satu masalah, lalu kemudian muncul masalah baru lagi.
Menjadi muslim minoritas
Susah mendapat jodoh
Jauh dari kajian
adalah hal-hal yang terus aku tangisi.
Aku ingat sekali bagaimana aku terus menerus berusaha menghibur diri...
menghapus air mata
dan kembali menata hati.
"Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah."
Tulisku dalam sebuah kertas untuk menghibur hati.
Hari demi hari berganti.
Masih dalam proses penerimaan kembali.
Berusaha untuk terus mencari,
akan hikmah di balik segala kenyataan ini.
Diklat ke Jakarta adalah salah satu hal yang sangat menghibur hati.
Bertemu dengan teman-teman yang sangat dicintai.
Mengunjungi tempat-tempat yang penuh dengan memori.
Sambil terus menguatkan hati untuk tetap tegak berdiri.
Ramadhan rupaya memang memiliki banyak hikmah.
Salah satunya adalah kenyamanan yang menghampiri.
Perlahan, Bali yang dulu sangat menakutkan...
telah memiliki tempat di dalam hati.
Jika membuka kembali semua tulisanku di tahun ini...
lucu sekali memang.
Bali yang dulu aku benci...
berubah menjadi rumah yang menenangkan hati.
Menerima kenyataan untuk tinggal di Bali ternyata tidak selalu mudah.
Guncangan akan keresahan hidup sesekali menghampiri.
Melihat mereka yang satu per satu meninggalkan masa lajang...
sambil terus bertanya "Mengapa progres hidupku lebih lambat dari mereka?"
Bukan.
Aku bukannya tidak senang melihat mereka bahagia.
Hanya saja, aku perlu suatu jawaban atas segala pertanyaanku.
"Aku sudah shalat, aku sudah puasa, aku sudah berusaha jadi orang baik, mengapa aku kalah cepat dibanding mereka yang (dalam pandanganku) tidak lebih baik dari aku?"
Kotornya hati terkadang memang benar telah menutup nurani.
Merasa diri paling bersih.
Merasa diri paling berhak untuk mendapat nikmat terlebih dahulu dibanding yang lain.
"Dulu, dia sama dia di kampus deket, dan mereka nikah. Mengapa gitu Yaa Allah?"
"Dulu, dia sama dia di kampus jadian, dan sekarang mereka nikah. Mengapa?"
Aku berada dalam titik down kembali.
Ternyata memang tak selalu mudah melihat kebahagiaan orang lain.
Terlebih, jika diri ini mengetahui jejak cara yang mereka pilih.
Pacaran.
HTS-an.
Atau kedekatan lainnya yang tidak mau mereka sebut dengan kedua istilah di atas.
Aku mempertanyakan mengapa mereka diberi kemudahan untuk menikah padahal cara yang mereka ambil salah.
Aku mempertanyakan mengapa aku yang tengah berusaha meniti jalan yang benar tidak segera diberi jalan untuk menikah.
Tiap kali aku merasa down karena teringat hal itu...
kembali aku dengarkan nasihat Ustadz Nuzul Dzikri.
"Menikah(nya mereka) kan bukan jaminan bahagia. Apa antum sudah membuktikan bahwa orang yang pacaran dan kemudian menikah, maka mereka bahagia?
Coba ingat kembali Surat Thaha ayat 124
'Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit...'"
Sambil meneteskan air mata, mendengar itu aku menjadi begitu lega.
Aku tidak perlu iri dengan mereka.
Aku adalah aku.
Dan aku harus menggunkan jalan yang benar.
Ketika rasa takut dan gelisah kembali menghampiri...
aku berdo'a kepada Dia Yang Maha Kuasa.
"Yaa Allah, tolong perbaiki kehidupanku,
tolong berkahi kehidupanku."
Aku terus berdo'a mengucapkan itu sambil menyadari bahwa tidak ada satu pun yang mampu menolongku keluar dari segala permasalahanku kecuali hanya Allah.
Perlahan aku telah bisa ikhlas.
Melihat yang lain menikah...
melihat yang lain dengan segala pencapaian mereka masing-masing.
Aku mulai menikmati fase hidup tanpa risau karena merasa tertinggal dari orang lain.
Di tengah fase tersebut,
Allah kirimkan orang yang datang dengan niat baiknya.
Dan bagimana mungkin aku tidak bahagia?
Mengingat beberapa bulan yang lalu hidupku begitu guncang dengan segala penerimaan yang sedang aku usahakan.
Begitu mudah Allah membolak-balik keadaan.
Jika bukan karena kebaikan Allah,
rasanya, aku tidak akan pernah ikhlas melihat yang lain lebih cepat dari aku.
Jika bukan karena kasih sayang Allah,
rasanya, aku tidak akan pernah terima untuk ditempatkan di pulau ini.
Dan bagimana mungkin aku tidak bersyukur?
Bahwa Allah mudahkan segala prosesnya.
Hanya 2 bulan.
Dan aku menikah bahkan di saat yang tidak aku sangka.
Dengan orang yang tidak aku sangka pula.
17 November 2019 |
Jika melihat kembali ke belakang,
melihat berbagai hal yang telah terjadi,
ternyata memang ada hikmah besar yang Allah persiapkan untuk aku.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." - QS. Al Baqarah: 216
Aku tahu menikah bukanlah akhir dari segalanya,
tetapi menikah adalah awal dari kehidupan baru, tanggung jawab baru, dan peran baru yang aku emban.
Di awal tahun 2018, aku menuliskan 'menikah' sebagai salah satu target yang ingin aku capai di tahun itu,
yang mana kemudian,
target itu luluh lantah berubah menjadi depresi.
Awal tahun ini, aku tidak berani mencantumkan 'menikah' sebagai target yang ingin aku capai.
Mengapa begitu?
Karena aku tahu,
menikah bukanlah pencapaian yang harus cepat-cepat-an dari orang lain.
Menikah adalah ibadah,
maka niatnya harus benar,
caranya pun juga harus benar.
Desember tahun ini tampaknya begitu berbeda dari Januari lalu.
Kebencian akan pulau Bali yang berubah menjadi kenyamanan,
teman-teman Bali dengan berbagai kasih dan sayang,
status yang tak lagi lajang,
dan banyak hal berbeda lainnya.
Aku sangat berterimakasih kepada Allah yang telah memberi banyak kejutan di tahun ini,
baik kejutan yang menyedihkan...
dan juga kejutan yang menyenangkan.
"Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Aku tahu, kedepan mungkin hidup tidaklah mudah.
Akan ada kecemasan-kecemasan lain yang menghampiri.
Kecemasan tentang membesarkan anak,
atau kecemasan tentang mengelola finansial sebaik mungkin.
Tetapi, apa pun itu...
"Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah." - [HR. Tirmidzi No.2516]
Allah lah yang harus kita mintai pertolongan pertama kali ketika kita jatuh, sakit, terluka, kecewa, dan rasa tidak enak lainnya.
Allah juga lah yang harus kita berikan ucapan syukur terimakasih pertama kali atas semua nikmat dan bahagia yang kita rasa.
---
Alhamdulillah, terimakasih 2019!
Comments
Post a Comment