Sekolah, Perlukah?

Bismillahirrahmanirrahim

Beberapa waktu lalu, aku sedang merasa terusik dengan berbagai pertanyaan yang menghampiri hidupku.

Lebih tepatnya, pertanyaan yang aku tanyakan sendiri kepada diriku.

"Ma, peringkat, prestasi, dan berbagai penghargaan selama sekolah, sekarang buat apa?"

One fine day

---

Aku terlibat diskusi panjang dengan bapak suami.

Diskusi ini berawal dari pernyataan seorang teman bahwa orang yang pandai dalam hal agama, biasanya tidak melejit secara dunia.

Hah? Benarkah?

Tetapi, kalau dipikir-pikir, memang orang yang benar-benar fokus dalam hal agama, tidak terlalu mengejar dunia.

Bapaknya Musa Hafidz cilik misalnya.

Entahlah...

Aku hanya berpikir, mengapa pernyataan itu tidak dibalik saja logikanya?

"Orang yang melejit secara dunia, biasanya tidak pandai dalam hal agama."

Kenal banyak orang yang seperti itu?

Iya, aku mendapati banyak orang seperti itu.

Di balik jendela

---

Pernyataan seorang teman itu membuatku bingung dan bertanya,

"Aku harus menjadi orang yang seperti apa?"

Di satu sisi, aku melihat orang yang belajar agama, mungkin bukan maksud mereka untuk tidak mengejar dunia,

tetapi karena mereka memang tidak punya waktu untuk membagi prioritas mengejar dunia dibandingkan dengan waktu untuk belajar agama.

Tapi di sisi lain, aku juga tidak terima jika orang yang pandai dalam hal agama dibilang tidak prestatif dalam kacamata dunia.

Hmm...

Kacamata pandai agama bagiku bukan hanya tetang sudah hijrah dan berpenampilan syar'i,

lebih dari itu.

Pandai dalam agama bagiku adalah jika dia bisa bahasa Arab, belajar musthalah hadist, menguasai ushul fiqih, dan hal yang berkaitan dengan keilmuan agama islam.

Adapun mereka yang sudah hijrah dan berpenampilan syar'i saja, belum bisa dikatakan pandai dalam agama bagiku.

Meja baca

---

Aku mengetahui ada beberapa perempuan yang menjadi idola di tengah kehidupan media sosial.

Pintar, cantik, S3 luar negeri, dan juga berpenampilan syar'i.

Aku mengetahui juga ada seorang dokter muda yang menjadi idola di kalangan remaja hijrah,

karena pintar, cantik, dan berpenampilan syar'i juga.

Lantas, apakah aku ingin menjadi seperti itu?

Berpenampilan islami, terlihat pandai dalam hal agama karena pakaian syar'i, lalu punya pengaruh karena prestatif secara duniawi.

Udara segar

---

Setelah berdiskusi panjang dengan diriku sendiri,

aku menemukan jawaban bahwa aku ingin diriku ini lebih dari hanya terlihat pandai dalam hal agama karena berpakaian syar'i,

aku ingin benar-benar pandai dalam hal agama,

bukan hanya terlihat.

Aku ingin belajar ilmu-ilmu alat, aku ingin membaca kitab-kitab para 'ulama dalam bahasa Arab, aku ingin punya karya untuk agama ini.

Dan mungkin, waktu yang aku prioritaskan ini akan membuat aku tidak punya cukup waktu untuk mengejar prestasi dunia.

---

Baik, adakah hal yang salah dengan keinginanku tersebut?

Setelah aku gali lebih lanjut dengan diskusi dengan suami,

mengapa waktu yang aku miliki tidaklah cukup untuk mengejar keduanya (ilmu agama dan prestasi dunia),

karena aku tidaklah dibesarkan sebagaimana pendahulu dibesarkan.

---

Orang-orang di zaman itu, seperti Al Khawarizmi dan Ibnu Sina, secara default sudah pandai dalam hal agama, karena memang itu hal mendasar yang diajarkan untuk mereka.

Tetapi, mereka pun juga prestatif secara dunia, menguasai beberapa cabang keilmuan.

Kok bisa?

Di sinilah poinnya.

---

Dahulu, sistem pembagian masa perkembangan manusia tidaklah serumit saat ini,

ada anak-anak, remaja, dewasa, dan tua.

Islam mengajarkan pembagian fase kehidupan manusia menjadi dua:

sebelum akil baligh;

dan sesudah akil baligh.

---

Tanda baligh dalam islam adalah sebagaimana kita ketahui ada pada perubahan fisik.

Akil baligh menandakan bahwa telah berlaku kepadanya hukum-hukum islam.

Umumnya tanda-tanda baligh ini muncul di usia belasan awal,

yang mana artinya, dalam kurun usia itu, manusia telah dianggap mampu untuk menjalani hukum-hukum islam,

dan juga dianggap mampu untuk bertindak bijaksana.

Wait, sebelum lebih jauh,

coba kita renungkan kondisi kita di zaman ini.

Membaca buku

---

Pembagian fase anak-anak, remaja, dewasa, dan tua,

bisa jadi adalah penyebab kurang matangnya sisi kejiwaan seseorang.

Pada fase anak, seseorang belum baligh, dan tentunya belum dituntut untuk bertanggung jawab akan hidupnya, terlebih tidak berlaku padanya hukum-hukum islam.

Tetapi, pada fase remaja, yang mana umumnya seseorang sudah baligh,

dengan zaman pendidikan saat ini yang berjenjang SD, SMP, SMA, dan kuliah,

rasa-rasanya, di usia sekolah tersebut, belum ada tanggung jawab yang harus kita pikul selain menuntut ilmu formal di sekolah.

Dampaknya adalah?

Usia 17 atau 18 tahun ketika lulus SMA, kita belum menjadi apa-apa.

Rak buku

---

Padahal, konsep akil baligh dalam islam berbeda.

Akil dan baligh.

Jika Allah sudah memberi kemampuan secara fisik bagi manusia untuk berkembang biak,

apakah Allah akan dzalim dengan tidak memberi kemampuan secara akal dan jiwa baginya untuk bertanggung jawab akan kehidupannya?

Eh, maksudnya gimana?

Artinya, ketika Allah memberi kemampuan secara fisik bagi kita untuk berkembang biak yang ditandai dengan tanda-tanda baligh,

artinya Allah juga memberi kemampuan bagi kita untuk bertanggung jawab bagi diri kita sendiri.

---

Itulah yang terjadi di zaman pendahulu kita.

Bisa dilihat sahabat-sahabat Rasulullah yang masih remaja dan ikut berperang maupun ikut berdiskusi tentang masalah besar seperti dalam peristiwa Haditsul Ifki,

dan juga sahabat-sahabat Rasulullah yang masih muda tetapi menjadi panglima perang.

Usamah bin Zaid misalnya, yang menjadi panglima perang di usia 18 tahun.

Sesungguhnya, kita mampu untuk matang di usia akil baligh.

Bisa dilihat juga dengan Muhammad Al Fatih yang membuka Konstatinopel di usia 21 tahun,

dan kita, di usia 21 tahun, sudah menjadi apa?

Apa yang salah dengan pendidikan yang kita jalani selama ini?

Menengok peradaban

---

Banyak sekali contoh dari kehidupan manusia di masa lalu yang menunjukkan bahwa sesungguhnya kita bisa matang di usia belasan akhir.

Tidak jauh-jauh, coba tengok dua generasi di atas kita saja, sebutlah kakek-nenek atau buyut kita yang menikah di usia belasan.

Artinya? Manusia memang mampu untuk bertanggung jawab di usia akil baligh.

---

Penjenjangan fase kehidupan remaja memberi prespektif baru yang bagiku cukup merusak generasi.

Di usia remaja, kita tidak dibebani kewajiban untuk bertanggung jawab akan diri kita sendiri.

Di usia remaja, hidup kita masih bergantung pada orang tua, pilihan-pilihan hidup kita masih banyak dipengaruhi oleh orang tua.

Akibatnya apa? Kematangan secara akal dan jiwa pun tidak tercapai, banyak terjadi kenakalan remaja dan kerusakan disebabkan nafsu bergairah tetapi tidak punya kematangan psikis.

Padahal dalam islam, laki-laki yang sudah akil baligh, tidak wajib baginya untuk dinafkahi oleh orang tuanya,

adapun jika tetap menerima nafkah dari orang tua, statusnya adalah sedekah.

Artinya, di usia belasan tahun, laki-laki dalam islam harusnya bisa mencari nafkah sendiri, harusnya bisa bertanggung jawab akan kehidupannya sendiri.

Tumpukan buku

---

Nah, penjelasan sepanjang itu tadi kaitannya sama sekolah apa?

Sistem wajib belajar 12 tahun membuat kita terkekang dengan kewajiban belajar ilmu-ilmu formal yang dalam kehidupan nyata tidak semuanya kita aplikasikan.

Terlebih, itu tadi, sistem wajib belajar 12 tahun ini membuat seolah beban kita hanyalah menuntut ilmu formal saja,

tidak ada pembebanan bertanggung jawab untuk diri sendiri.

Akibatnya akal dan jiwa tidaklah matang atau lebih tepatnya mengalami kemunduran kematangan dibanding dengan kemampuan secara fisik.

---

Ilmu formal tidaklah salah,

yang salah adalah memaksakan ilmu itu harus dipelajari semuanya dalam jenjang waktu SD, SMP, dan SMA.

Membuang usia dan kesempatan emas yang mana potensi manusia di usia belasan tidaklah terbatas hanya untuk menaklukan ilmu-ilmu formal saja.

---

That's it!

Aku kehilangan masa emas untuk berkembang dan belajar hal yang memang aku butuhkan.

Aku kehilangan masa keemasan untuk melejit sebagaimana orang terdahulu.

Tetapi, semua sudah terjadi.

Lebih baik telat menyadari ketimbang tidak pernah sadar sama sekali.

Mungkin aku tidaklah mampu melejit sebagaimana keinginanku,

tetapi dengan izin Allah, semoga aku bisa menjadi penyambung generasi dengan pendidikan sesuai tuntunan agama islam, Aamiin.

---


Masyaa Allah

Big thanks to this man!

Yang menjadi guruku dalam hal apa pun,

yang membuka cakrawala kacamata kehidupan bagiku.

---

Ditulis di Denpasar, Bali

19 Sya'ban 1441H

Comments

Popular posts from this blog

Resign untuk Kedua Kalinya

Alasan BB Hafshah Stuck Berbulan-bulan

Mendidik Tidak Mendadak - Ustadz Abdul Kholiq Hafidzahullah

Bukan Sekedar Pindah ke Kontrakan

Sistem Sekolah: Dulu Tidak Ada Yang Memberitahu Aku Tentang Ini