Tertinggal
Bismillahirrahmanirrahim
Re-post dari tulisan yang aku buat di tahun 2018 di blog sebelumnya.
Kadang, memang takjub rasanya membaca tulisan sendiri di masa lalu.
Selamat membaca! Semoga ada ibrah yang dapat diambil.
---
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Aku pernah merasakan menjadi seseorang yang tertinggal, ketika teman-teman sekolahku sudah semester 3 di bangku kuliah dan aku memulai dari awal di semester 1.
Jika ditanya bagaimana rasanya, maka jawabanku adalah,
berat,
iya, berat saat itu.
Tetapi, lambat laun aku telah menikmati hidupku, bahwa takdirku tidak sama dengan mereka, dan bahwa itu semua harus aku lalui.
Dan pada akhirnya, aku lulus kuliah,
di tahun yang sama dengan mereka.
Benar, bukan sebagai sarjana, aku lulus sebagai diploma.
Tetapi, adakah itu membuatku sedih dan menyesali pilihan hidupku?
Tidak sama sekali.
Aku tidak lagi membanding-bandingkan diriku dengan mereka,
karena jalan hidup dengan kuliah di tempat yang aku pilih telah memberiku banyak pelajaran dan kesempatan untuk menjadi lebih dewasa.
Lihat betapa sayangnya Allah kepadaku. Benar, Dia menggariskan bahwa aku tertinggal secara start dari yang lain,
tetapi aku mencapai garis finish kelulusan di tahun yang sama dengan mereka.
.
.
.
.
Dan saat ini, aku kembali diuji dengan perasaan yang sama.
Berat karena tertinggal.
Benar, aku tertinggal oleh teman-teman dengan progress hidup yang lebih cepat. Mereka yang sudah menata hidup dengan menikah contohnya.
Namun, sesungguhnya, apa yang harus aku khawatirkan dari itu semua? Bahwasanya aku sudah berusaha, pun aku juga sudah berdoa.
Bukankah jika terus membandingkan hidup dengan orang lain justru tidak akan ada habisnya?
Maka bagiku kini, mungkin aku belum diberi amanah yang sama dengan mereka, karena aku diberi waktu untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Aku diberi waktu untuk mengoreksi kembali keselarasan antara ilmu dan amal yang mendasar, seperti sudah benarkah shalat yang aku lakukan.
Dan tentu, aku diberi waktu untuk memperbaiki hal-hal mendasar dalam hidup, seperti belajar kembali tentang tauhid dan aqidah.
Dan juga, aku yakin, aku diberi waktu lebih lama untuk terus memohon dan bersabar.
Maka sekali lagi, apa yang harus aku khawatirkan? Apa yang harus aku takutkan?
Toh aku yakin,
sejatinya dalam hidup ini, tidak ada yang tertinggal dan yang mendahului. Karena kita hidup dalam waktu kita masing-masing.
Kita akan melangkah di saat yang tepat yang telah Dia ridhai. #ntms
Ditulis di Ciawi, Bogor
25 Dzulqo'dah 1439H / 6 Agustus 2018.
Re-post dari tulisan yang aku buat di tahun 2018 di blog sebelumnya.
Kadang, memang takjub rasanya membaca tulisan sendiri di masa lalu.
Selamat membaca! Semoga ada ibrah yang dapat diambil.
---
Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Aku pernah merasakan menjadi seseorang yang tertinggal, ketika teman-teman sekolahku sudah semester 3 di bangku kuliah dan aku memulai dari awal di semester 1.
Jika ditanya bagaimana rasanya, maka jawabanku adalah,
berat,
iya, berat saat itu.
Tetapi, lambat laun aku telah menikmati hidupku, bahwa takdirku tidak sama dengan mereka, dan bahwa itu semua harus aku lalui.
Dan pada akhirnya, aku lulus kuliah,
di tahun yang sama dengan mereka.
Benar, bukan sebagai sarjana, aku lulus sebagai diploma.
Tetapi, adakah itu membuatku sedih dan menyesali pilihan hidupku?
Tidak sama sekali.
Aku tidak lagi membanding-bandingkan diriku dengan mereka,
karena jalan hidup dengan kuliah di tempat yang aku pilih telah memberiku banyak pelajaran dan kesempatan untuk menjadi lebih dewasa.
Lihat betapa sayangnya Allah kepadaku. Benar, Dia menggariskan bahwa aku tertinggal secara start dari yang lain,
tetapi aku mencapai garis finish kelulusan di tahun yang sama dengan mereka.
.
.
.
.
Dan saat ini, aku kembali diuji dengan perasaan yang sama.
Berat karena tertinggal.
Benar, aku tertinggal oleh teman-teman dengan progress hidup yang lebih cepat. Mereka yang sudah menata hidup dengan menikah contohnya.
Namun, sesungguhnya, apa yang harus aku khawatirkan dari itu semua? Bahwasanya aku sudah berusaha, pun aku juga sudah berdoa.
Bukankah jika terus membandingkan hidup dengan orang lain justru tidak akan ada habisnya?
Maka bagiku kini, mungkin aku belum diberi amanah yang sama dengan mereka, karena aku diberi waktu untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Aku diberi waktu untuk mengoreksi kembali keselarasan antara ilmu dan amal yang mendasar, seperti sudah benarkah shalat yang aku lakukan.
Dan tentu, aku diberi waktu untuk memperbaiki hal-hal mendasar dalam hidup, seperti belajar kembali tentang tauhid dan aqidah.
Dan juga, aku yakin, aku diberi waktu lebih lama untuk terus memohon dan bersabar.
Maka sekali lagi, apa yang harus aku khawatirkan? Apa yang harus aku takutkan?
Toh aku yakin,
sejatinya dalam hidup ini, tidak ada yang tertinggal dan yang mendahului. Karena kita hidup dalam waktu kita masing-masing.
Kita akan melangkah di saat yang tepat yang telah Dia ridhai. #ntms
Ditulis di Ciawi, Bogor
25 Dzulqo'dah 1439H / 6 Agustus 2018.
Comments
Post a Comment