Kilas Balik Gagal SNMPTN 2013
Bismillahirrahmanirrahim
Judul asli: Hamba yang Lemah
Ditulis ketika masih menjadi mahasiswa, sebagai keikutsertaan dalam lomba menulis
---
Sebuah pengingat
"Kita terlihat hebat di hadapan manusia itu bukan karena diri kita,
kita terlihat hebat karena Allah memampukan diri kita mencapai berbagai prestasi."
---
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yang telah Dia berikan,
nikmat Islam, nikmat iman, nikmat kesehatan, nikmat untuk bisa mendengar, melihat, dan berbicara,
nikmat untuk bisa mengenal-Nya, nikmat untuk bersujud dihadapan-Nya, nikmat untuk merendah dihadapan-Nya, dan nikmat mengaku lemah hanya untuk-Nya.
Salawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wassalam, kepada sahabat beliau, istri-istri beliau, dan umat beliau hingga akhir zaman.
Tulisan ini adalah salah satu bentuk kasih sayang dan upaya saling mengingatkan kepada seluruh saudara muslim.
Semoga Allah selalu menjaga niat baik dan keikhlasan,
mengizinkan kita wafat dalam keadaan islam, iman dan ihsan,
dan mengizinkan kita berkumpul di dalam surga-Nya.
Aaamin.
Namaku Rahma. Aku lahir dan dibesarkan di Kota Pahlawan, Surabaya. Sejak kecil aku dididik untuk bisa mandiri.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak laki-lakiku saat ini bekerja di Poso, Sulawesi Tengah. Dia adalah alumni STAN angkatan 2009.
Saat ini, aku berada di semester 5 jurusan Akuntansi.
Sungguh luar biasa nikmat Allah yang telah mengizinkanku hingga detik ini berada di kampus ini. Kampus, yang awalnya aku tidak ingin berada disini.
Kampus, yang merupakan tempat pelarianku dari masa depan yang aku takutkan.
Dan kampus, yang telah banyak mengubah peranku sebagai seorang manusia.
Aku menganggap semua yang terjadi dalam hidupku adalah fase yang harus aku ambil hikmah dan pelajaran dari setiap yang terjadi. Semoga cerita ini selalu menjadi pengingat bagiku bahwa aku adalah hamba yang lemah.
Mari kita mulai cerita ini dengan kembali ke masa lalu di bulan Juli 2012. Saat itu aku berusia 16 tahun dan aku duduk di kelas 3 SMA.
Dengan izin Allah, aku adalah siswa di SMA Negeri 5 Surabaya saat itu, SMA Negeri terbaik di Surabaya kata banyak orang.
Bagaimana tidak? SMA-ku berhasil melahirkan para jagoan olimpiade dari berbagai bidang ilmu pengetahuan.
SMA-ku juga berhasil mengirim lulusannya ke perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ITS, UNAIR baik lewat jalur undangan ataupun jalur tulis. SMA-ku juga kerap mengirim lulusannya ke luar negeri.
Tetapi hal yang membuat aku semakin bangga akan SMA-ku adalah lingkungan keagamaan yang kondusif yang berhasil mencetak kader-kader pemuda muslim yang luar biasa,
contohnya kakak kelasku berhasil masuk ke King Saud University dan teman seangkatanku berhasil masuk ke Universitas Islam Madinah yang sebelumnya dia berkuliah di LIPIA, Jakarta.
Dari lingkungan yang aku ceritakan diatas, aku terbentuk menjadi pribadi yang kuat dari segi ilmu pengetahuan dan bisa dibilang, keagamaan.
Aku terbiasa untuk bersaing memperebutkan peringkat terbaik di kelas.
Aku biasa mengikuti olimpiade yang membuat namaku dipanggil ketika upacara bendera.
Saat itu, bagiku, selama aku berbuat baik, selama aku rajin shalat, rajin puasa, berusaha jujur, tidak mencontek, maka Allah akan baik pula denganku.
Aku memperlakukan Allah seperti mitra dagang yang selama aku berbuat kebaikan maka Allah harus membalasnya dengan kebaikan pula.
Sampailah pada bulan Februari 2013, saat ketika rangking satu angkatan diumumkan.
Dan benar saja, dengan izin Allah aku meraih peringkat pertama paralel di angkatanku, di SMA Negeri 5 Surabaya, SMA Negeri terbaik di Surabaya.
Saat itu aku bersyukur dan berpikir bahwa hal itu sangat mungkin terjadi karena selama tiga tahun aku berusaha berbuat baik dan mengerjakan amal shalih, maka sangat mungkin jika Allah memilih aku sebagai pemenangnya.
Waktu terus bergulir hingga datanglah saat untuk mendaftar PTN lewat jalur undangan.
Saat itu sistem yang berlaku di lulusan SMA tahun 2013 adalah semua siswa berhak mengikuti seleksi lewat jalur undangan, tidak dibatasi oleh peringkat.
Aku berkeinginan keras untuk menjadi mahasiswa FMIPA jurusan Kimia di ITB karena selama di SMA, track record kimiaku bisa dibilang baik dan aku sering mengikuti olompiade kimia.
Mengapa harus ITB? Karena bagiku ITB telah mencetak ilmuwan-ilmuwan yang luar biasa dan aku ingin menjadi salah satu diantaranya.
Selain itu, bagiku menjadi mahasiswa di ITB adalah suatu prestise yang sangat membanggakan.
Keinginan itu tertentang oleh keinginan orang tuaku yang ingin melihat aku menjadi dokter, terlebih dengan peringkat satu paralelku,
seluruh elemen lingkunganku saat itu, keluarga, teman, tempat les, mendorongku untuk mendaftar kedokteran dengan alasan lebih baik masa depannya.
Aku mengakui, FMIPA memang masih dipandang sebelah mata di negeri ini. Menjadi ilmuwan bukan merupakan hal yang dapat dibanggakan oleh keluarga. Jauh berbeda dengan dokter.
Terjadilah diskusi panjang antara aku dengan keluargaku dan antara aku dengan diriku sendiri.
Sampailah aku pada suatu kesimpulan, aku ingin melihat orang tuaku bangga. Aku ingin melihat mereka bahagia walau itu harus mengorbankan keinginanku sendiri.
Aku memutuskan melupakan ITB dan mendaftar kedokteran di salah satu PTN. Dari SMA-ku, ada puluhan orang yang mendaftar kedokteran di PTN tersebut.
Saat itu banyak orang mengelu-elukan aku dengan mengatakan bahwa aku tidak perlu belajar untuk jalur tulis karena pasti jalur undangan diterima.
Wallahu’alam. Hati manusia memang lemah, lemah akan pujian, begitu juga lemah akan hinaan.
Seandainya setiap manusia menyadari bahwa semua yang ia miliki adalah titipan dari Allah maka tak ada satu pun hal yang dapat dibanggakan di depan manusia lainnya.
Sampailah aku pada suatu takdir yang menyatakan bahwa aku gagal lolos masuk PTN jalur undangan.
Semua orang terkejut, terlebih ketika kenyataan berbicara bahwa mereka yang lolos masuk jurusan kedokteran di PTN yang aku tuju adalah yang memiliki peringkat tengah, bukan peringkat atas.
Saat itu, rasanya dunia menjadi runtuh, apa yang telah aku perjuangkan selama tiga tahun serasa dihempas badai dalam waktu sekejap.
Rasa kecewa muncul ketika beberapa dari mereka yang lolos bukan orang yang diperhitungkan sebelumnya. Bahkan ada yang ketika di SMA dia mencontek, tidur-tiduran di kelas, tetapi dia lolos jalur undangan.
Ujian dari Allah memang unik. Manusia tidak akan pernah tahu kapan datangnya dan bagaimana bentuknya. Tetapi hal yang wajib diyakini adalah, Allah tidak mungkin menguji seseorang melebihi kemampuan orang tersebut.
Aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Berusaha meyakini bahwa takdir Allah itu berbeda untuk tiap-tiap hamba. Berusaha yakin bahwa Allah pasti akan memberikan aku satu tempat di PTN, entah itu dimana. Berusaha berpikir positif bahwa mungkin dengan jalan inilah aku bisa kembali meraih mimpiku, ITB.
Orang tuaku tidak kalah terkejut dan kelimpungan denganku. Akhirnya, di jalur tulis aku diizinkan untuk memilih ITB.
Aku masih ingat bagaimana pedihnya saat itu, melihat sebagian teman-temanku telah santai dan mempersiapkan daftar ulang sedangkan aku masih berteman baik dengan buku. Mereka yang dulu mengelu-elukan aku hanya bisa melihat kasihan.
Aku ingat sekali aku pernah berkata
“Ya Allah, Ya Rabb, aku tidak minta sesuatu yang berat, aku hanya minta FMIPA ITB ya Allah, aku tidak minta FTTM, aku tidak minta FTMD, FTI, SAPPK, atau STEI, tolong kabulkan ya Allah. Aku yakin Engkau Maha Baik.”
Dan memang Allah Maha Baik, aku lolos jalur tulis, pilihan ketiga, di Surabaya, iya, aku harus rela menelan kenyataan bahwa di tahun pertama aku lulus SMA, aku tidak berhasil masuk ITB.
Aku kembali berusaha berdamai dengan diriku sendiri, berusaha tidak membanding-bandingkan nikmat yang Allah beri kepadaku dengan yang diberikan kepada teman-temanku, walau pada akhirnya sulit.
Muncullah sifat dasar manusiaku yang mempertanyakan mengapa takdir Allah begini?
Mengapa aku tidak boleh masuk ITB? Aku hanya ingin FMIPA, tidak lebih.
Allah memang Maha Baik, lewat jalur tulis lain, SIMAK UI, Allah mengizinkan aku lolos di jurusan Kimia, jurusan yang sama yang aku tuju di ITB.
Namun, hatiku sangat remuk saat itu hingga aku tak bisa berpikir jernih. Aku berencana SBMPTN lagi tahun depan untuk FMIPA ITB.
Akhirnya, sehari setelah daftar ulang di UI, aku memutuskan untuk pulang ke Surabaya.
Hendaklah tiap manusia itu ingat bahwasanya siapa yang bersyukur maka Allah akan menambah nikmat kepadanya dan siapa yang kufur maka adzab Allah amat pedih.
Aku menjalani waktu dengan berkuliah di pilihan ketigaku di Surabaya hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan.
Waktu terasa begitu lambat bagiku.
Orangtuaku merasa iba dengan kondisiku saat itu. Mungkin akan lebih baik kondisinya jika aku mampu bersyukur dan menerima kenyataan.
Mampu untuk mengatakan pada diriku sendiri
“Allah berhak untuk memilihmu menjadi orang yang tak berhasil akan pilihan pertama kuliahnya sebagaimana Allah berhak untuk memilihmu menjadi peringkat pertama di SMA Negeri terbaik di Surabaya.”
Tentang takdir, rupanya aku perlu belajar banyak untuk menerima takdir.
Aku tahu hidup harus terus berjalan. Aku tidak bisa selamanya sedih yang pada akhirnya membuat keluargaku sedih. Aku sudah tidak peduli dengan jurusan kuliah.
Aku tidak peduli dengan dimasa depan aku mau menjadi apa, walau sejujurnya aku takut menghadapi masa depan. Aku tidak peduli lagi dengan gelar atau tempat kuliah.
Aku hanya peduli dengan satu hal,
melihat orang tuaku bahagia.
Dan aku tahu, walau aku gagal masuk kedokteran, aku bisa membuat orang tuaku bangga dengan jalan seperti kakakku. Masuk STAN.
Walau aku tahu akan berat bagi diriku sendiri karena aku harus banting setir, mulai belajar dari nol.
Singkat cerita di tahun kedua, 2014, aku lolos USM STAN dan memulai kehidupan baru di Bintaro.
Hari berbilang hari, pekan berbilang pekan, bulan berbilang bulan, hingga detik ini, tak bisa dipungkiri ancaman Drop Out kerap kali menghantui.
Ancaman yang membuat aku mengerti akan satu hal,
betapa berharganya seorang teman.
PKN STAN, mengajarkan aku betapa sulitnya menjadi seseorang yang egois.
Karena siapapun bagian dari kampus ini pasti merasakan, kami tak ingin harus ada yang ‘pulang’ duluan.
Kami tak mungkin saling membantu ketika ujian, karena kampus ini mendidik kami untuk tangguh dan berintegritas.
Tak jarang kami sulit memahami apa yang disampaikan dosen di kelas, tetapi hal yang dapat kami lakukan adalah berbagi ilmu.
Berbagi ilmu.
Hal yang jarang aku lakukan dulu. Hal yang sulit aku lakukan dahulu karena aku terlalu sibuk memikirkan prestasiku sendiri.
Saat-saat menjelang ujian, saat itulah aku merasa dibutuhkan. Saat ketika aku bisa menolong orang lain dengan membantu membuatnya paham akan suatu mata kuliah tanpa harus membuat prestasiku turun.
Dan aku menyadari, mungkin inilah alasan mengapa dulu aku tak boleh lolos ke ITB.
Karena aku jauh dibutuhkan disini, di PKN STAN.
Aku dibutuhkan untuk menjelaskan perlahan-lahan materi kuliah yang belum dipahami teman-temanku.
Aku, jauh merasa menjadi orang yang lebih bermanfaat disini.
Dan setelah berbagai fase yang harus aku hadapi hingga saat ini, mungkin inilah cara Allah untuk mengubahku, untuk menjadi orang yang lebih peduli dengan orang lain.
Dan inilah cara Allah untuk menyadarkanku, bahwa aku adalah hamba yang lemah, yang setiap saat dapat Allah bolak-balik keadaannya.
“...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Q.S Al-Baqarah : 216]
Ditulis di Surabaya, Desember 2016
Judul asli: Hamba yang Lemah
Ditulis ketika masih menjadi mahasiswa, sebagai keikutsertaan dalam lomba menulis
---
Sebuah pengingat
"Kita terlihat hebat di hadapan manusia itu bukan karena diri kita,
kita terlihat hebat karena Allah memampukan diri kita mencapai berbagai prestasi."
---
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yang telah Dia berikan,
nikmat Islam, nikmat iman, nikmat kesehatan, nikmat untuk bisa mendengar, melihat, dan berbicara,
nikmat untuk bisa mengenal-Nya, nikmat untuk bersujud dihadapan-Nya, nikmat untuk merendah dihadapan-Nya, dan nikmat mengaku lemah hanya untuk-Nya.
Salawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wassalam, kepada sahabat beliau, istri-istri beliau, dan umat beliau hingga akhir zaman.
Tulisan ini adalah salah satu bentuk kasih sayang dan upaya saling mengingatkan kepada seluruh saudara muslim.
Semoga Allah selalu menjaga niat baik dan keikhlasan,
mengizinkan kita wafat dalam keadaan islam, iman dan ihsan,
dan mengizinkan kita berkumpul di dalam surga-Nya.
Aaamin.
Namaku Rahma. Aku lahir dan dibesarkan di Kota Pahlawan, Surabaya. Sejak kecil aku dididik untuk bisa mandiri.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakak laki-lakiku saat ini bekerja di Poso, Sulawesi Tengah. Dia adalah alumni STAN angkatan 2009.
Saat ini, aku berada di semester 5 jurusan Akuntansi.
Sungguh luar biasa nikmat Allah yang telah mengizinkanku hingga detik ini berada di kampus ini. Kampus, yang awalnya aku tidak ingin berada disini.
Kampus, yang merupakan tempat pelarianku dari masa depan yang aku takutkan.
Dan kampus, yang telah banyak mengubah peranku sebagai seorang manusia.
Aku menganggap semua yang terjadi dalam hidupku adalah fase yang harus aku ambil hikmah dan pelajaran dari setiap yang terjadi. Semoga cerita ini selalu menjadi pengingat bagiku bahwa aku adalah hamba yang lemah.
Mari kita mulai cerita ini dengan kembali ke masa lalu di bulan Juli 2012. Saat itu aku berusia 16 tahun dan aku duduk di kelas 3 SMA.
Dengan izin Allah, aku adalah siswa di SMA Negeri 5 Surabaya saat itu, SMA Negeri terbaik di Surabaya kata banyak orang.
Bagaimana tidak? SMA-ku berhasil melahirkan para jagoan olimpiade dari berbagai bidang ilmu pengetahuan.
SMA-ku juga berhasil mengirim lulusannya ke perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ITS, UNAIR baik lewat jalur undangan ataupun jalur tulis. SMA-ku juga kerap mengirim lulusannya ke luar negeri.
Tetapi hal yang membuat aku semakin bangga akan SMA-ku adalah lingkungan keagamaan yang kondusif yang berhasil mencetak kader-kader pemuda muslim yang luar biasa,
contohnya kakak kelasku berhasil masuk ke King Saud University dan teman seangkatanku berhasil masuk ke Universitas Islam Madinah yang sebelumnya dia berkuliah di LIPIA, Jakarta.
Dari lingkungan yang aku ceritakan diatas, aku terbentuk menjadi pribadi yang kuat dari segi ilmu pengetahuan dan bisa dibilang, keagamaan.
Aku terbiasa untuk bersaing memperebutkan peringkat terbaik di kelas.
Aku biasa mengikuti olimpiade yang membuat namaku dipanggil ketika upacara bendera.
Saat itu, bagiku, selama aku berbuat baik, selama aku rajin shalat, rajin puasa, berusaha jujur, tidak mencontek, maka Allah akan baik pula denganku.
Aku memperlakukan Allah seperti mitra dagang yang selama aku berbuat kebaikan maka Allah harus membalasnya dengan kebaikan pula.
Gema Almamater |
Sampailah pada bulan Februari 2013, saat ketika rangking satu angkatan diumumkan.
Dan benar saja, dengan izin Allah aku meraih peringkat pertama paralel di angkatanku, di SMA Negeri 5 Surabaya, SMA Negeri terbaik di Surabaya.
Saat itu aku bersyukur dan berpikir bahwa hal itu sangat mungkin terjadi karena selama tiga tahun aku berusaha berbuat baik dan mengerjakan amal shalih, maka sangat mungkin jika Allah memilih aku sebagai pemenangnya.
Waktu terus bergulir hingga datanglah saat untuk mendaftar PTN lewat jalur undangan.
Saat itu sistem yang berlaku di lulusan SMA tahun 2013 adalah semua siswa berhak mengikuti seleksi lewat jalur undangan, tidak dibatasi oleh peringkat.
Aku berkeinginan keras untuk menjadi mahasiswa FMIPA jurusan Kimia di ITB karena selama di SMA, track record kimiaku bisa dibilang baik dan aku sering mengikuti olompiade kimia.
Mengapa harus ITB? Karena bagiku ITB telah mencetak ilmuwan-ilmuwan yang luar biasa dan aku ingin menjadi salah satu diantaranya.
Selain itu, bagiku menjadi mahasiswa di ITB adalah suatu prestise yang sangat membanggakan.
Keinginan itu tertentang oleh keinginan orang tuaku yang ingin melihat aku menjadi dokter, terlebih dengan peringkat satu paralelku,
seluruh elemen lingkunganku saat itu, keluarga, teman, tempat les, mendorongku untuk mendaftar kedokteran dengan alasan lebih baik masa depannya.
Aku mengakui, FMIPA memang masih dipandang sebelah mata di negeri ini. Menjadi ilmuwan bukan merupakan hal yang dapat dibanggakan oleh keluarga. Jauh berbeda dengan dokter.
Terjadilah diskusi panjang antara aku dengan keluargaku dan antara aku dengan diriku sendiri.
Sampailah aku pada suatu kesimpulan, aku ingin melihat orang tuaku bangga. Aku ingin melihat mereka bahagia walau itu harus mengorbankan keinginanku sendiri.
Aku memutuskan melupakan ITB dan mendaftar kedokteran di salah satu PTN. Dari SMA-ku, ada puluhan orang yang mendaftar kedokteran di PTN tersebut.
Saat itu banyak orang mengelu-elukan aku dengan mengatakan bahwa aku tidak perlu belajar untuk jalur tulis karena pasti jalur undangan diterima.
Wallahu’alam. Hati manusia memang lemah, lemah akan pujian, begitu juga lemah akan hinaan.
Seandainya setiap manusia menyadari bahwa semua yang ia miliki adalah titipan dari Allah maka tak ada satu pun hal yang dapat dibanggakan di depan manusia lainnya.
Sampailah aku pada suatu takdir yang menyatakan bahwa aku gagal lolos masuk PTN jalur undangan.
Semua orang terkejut, terlebih ketika kenyataan berbicara bahwa mereka yang lolos masuk jurusan kedokteran di PTN yang aku tuju adalah yang memiliki peringkat tengah, bukan peringkat atas.
Saat itu, rasanya dunia menjadi runtuh, apa yang telah aku perjuangkan selama tiga tahun serasa dihempas badai dalam waktu sekejap.
Rasa kecewa muncul ketika beberapa dari mereka yang lolos bukan orang yang diperhitungkan sebelumnya. Bahkan ada yang ketika di SMA dia mencontek, tidur-tiduran di kelas, tetapi dia lolos jalur undangan.
Ujian dari Allah memang unik. Manusia tidak akan pernah tahu kapan datangnya dan bagaimana bentuknya. Tetapi hal yang wajib diyakini adalah, Allah tidak mungkin menguji seseorang melebihi kemampuan orang tersebut.
Aku berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Berusaha meyakini bahwa takdir Allah itu berbeda untuk tiap-tiap hamba. Berusaha yakin bahwa Allah pasti akan memberikan aku satu tempat di PTN, entah itu dimana. Berusaha berpikir positif bahwa mungkin dengan jalan inilah aku bisa kembali meraih mimpiku, ITB.
Orang tuaku tidak kalah terkejut dan kelimpungan denganku. Akhirnya, di jalur tulis aku diizinkan untuk memilih ITB.
Aku masih ingat bagaimana pedihnya saat itu, melihat sebagian teman-temanku telah santai dan mempersiapkan daftar ulang sedangkan aku masih berteman baik dengan buku. Mereka yang dulu mengelu-elukan aku hanya bisa melihat kasihan.
Aku ingat sekali aku pernah berkata
“Ya Allah, Ya Rabb, aku tidak minta sesuatu yang berat, aku hanya minta FMIPA ITB ya Allah, aku tidak minta FTTM, aku tidak minta FTMD, FTI, SAPPK, atau STEI, tolong kabulkan ya Allah. Aku yakin Engkau Maha Baik.”
Dan memang Allah Maha Baik, aku lolos jalur tulis, pilihan ketiga, di Surabaya, iya, aku harus rela menelan kenyataan bahwa di tahun pertama aku lulus SMA, aku tidak berhasil masuk ITB.
Aku kembali berusaha berdamai dengan diriku sendiri, berusaha tidak membanding-bandingkan nikmat yang Allah beri kepadaku dengan yang diberikan kepada teman-temanku, walau pada akhirnya sulit.
Muncullah sifat dasar manusiaku yang mempertanyakan mengapa takdir Allah begini?
Mengapa aku tidak boleh masuk ITB? Aku hanya ingin FMIPA, tidak lebih.
Allah memang Maha Baik, lewat jalur tulis lain, SIMAK UI, Allah mengizinkan aku lolos di jurusan Kimia, jurusan yang sama yang aku tuju di ITB.
Namun, hatiku sangat remuk saat itu hingga aku tak bisa berpikir jernih. Aku berencana SBMPTN lagi tahun depan untuk FMIPA ITB.
Akhirnya, sehari setelah daftar ulang di UI, aku memutuskan untuk pulang ke Surabaya.
Hendaklah tiap manusia itu ingat bahwasanya siapa yang bersyukur maka Allah akan menambah nikmat kepadanya dan siapa yang kufur maka adzab Allah amat pedih.
Aku menjalani waktu dengan berkuliah di pilihan ketigaku di Surabaya hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan.
Waktu terasa begitu lambat bagiku.
Orangtuaku merasa iba dengan kondisiku saat itu. Mungkin akan lebih baik kondisinya jika aku mampu bersyukur dan menerima kenyataan.
Mampu untuk mengatakan pada diriku sendiri
“Allah berhak untuk memilihmu menjadi orang yang tak berhasil akan pilihan pertama kuliahnya sebagaimana Allah berhak untuk memilihmu menjadi peringkat pertama di SMA Negeri terbaik di Surabaya.”
Tentang takdir, rupanya aku perlu belajar banyak untuk menerima takdir.
Aku tahu hidup harus terus berjalan. Aku tidak bisa selamanya sedih yang pada akhirnya membuat keluargaku sedih. Aku sudah tidak peduli dengan jurusan kuliah.
Aku tidak peduli dengan dimasa depan aku mau menjadi apa, walau sejujurnya aku takut menghadapi masa depan. Aku tidak peduli lagi dengan gelar atau tempat kuliah.
Aku hanya peduli dengan satu hal,
melihat orang tuaku bahagia.
Dan aku tahu, walau aku gagal masuk kedokteran, aku bisa membuat orang tuaku bangga dengan jalan seperti kakakku. Masuk STAN.
Walau aku tahu akan berat bagi diriku sendiri karena aku harus banting setir, mulai belajar dari nol.
Singkat cerita di tahun kedua, 2014, aku lolos USM STAN dan memulai kehidupan baru di Bintaro.
Hari berbilang hari, pekan berbilang pekan, bulan berbilang bulan, hingga detik ini, tak bisa dipungkiri ancaman Drop Out kerap kali menghantui.
Ancaman yang membuat aku mengerti akan satu hal,
betapa berharganya seorang teman.
PKN STAN, mengajarkan aku betapa sulitnya menjadi seseorang yang egois.
Karena siapapun bagian dari kampus ini pasti merasakan, kami tak ingin harus ada yang ‘pulang’ duluan.
Kami tak mungkin saling membantu ketika ujian, karena kampus ini mendidik kami untuk tangguh dan berintegritas.
Tak jarang kami sulit memahami apa yang disampaikan dosen di kelas, tetapi hal yang dapat kami lakukan adalah berbagi ilmu.
Berbagi ilmu.
Hal yang jarang aku lakukan dulu. Hal yang sulit aku lakukan dahulu karena aku terlalu sibuk memikirkan prestasiku sendiri.
Saat-saat menjelang ujian, saat itulah aku merasa dibutuhkan. Saat ketika aku bisa menolong orang lain dengan membantu membuatnya paham akan suatu mata kuliah tanpa harus membuat prestasiku turun.
Dan aku menyadari, mungkin inilah alasan mengapa dulu aku tak boleh lolos ke ITB.
Karena aku jauh dibutuhkan disini, di PKN STAN.
Aku dibutuhkan untuk menjelaskan perlahan-lahan materi kuliah yang belum dipahami teman-temanku.
Aku, jauh merasa menjadi orang yang lebih bermanfaat disini.
Dan setelah berbagai fase yang harus aku hadapi hingga saat ini, mungkin inilah cara Allah untuk mengubahku, untuk menjadi orang yang lebih peduli dengan orang lain.
Dan inilah cara Allah untuk menyadarkanku, bahwa aku adalah hamba yang lemah, yang setiap saat dapat Allah bolak-balik keadaannya.
“...Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [Q.S Al-Baqarah : 216]
Ditulis di Surabaya, Desember 2016
Comments
Post a Comment