Kita Semua Pernah Kehilangan
Bismillahirrahmanirrahim
Teringat kejadian empat tahun yang lalu, di awal tahun 2017, ketika aku tengah menjalani libur semester di Surabaya.
Aku diminta mengisi salah satu acara oleh salah seorang pengurus rohis di SMA ku. Tak ada alasan untuk menolak, aku pun meng-iya-kan tawaran tersebut.
Selesai mengisi acara tersebut, ada seorang peserta yang masih bertahan di tempat itu. Dia adalah seorang siswa kelas X, usianya sekitar 15 tahun.
Aku tak mengerti mengapa dia masih bertahan di hadapanku ketika teman-temannya telah meninggalkan tempat itu. Tak kusangka, ternyata ia ingin mencurahkan isi hatinya.
Sesaat kemudian ia menangis. Ia mungkin bingung harus memulai ceritanya dari mana. Ia terisak. Sebagai seorang remaja belasan tahun, mungin ujian yang tengah ia hadapi begitu berat baginya.
Ia sedih karena orang tuanya berpisah. Ibunya kemudian menikah lagi dan memiliki anak dari pernikahan yang kedua. Ia merasa konsentrasi ibunya terfokus pada adik bayi dan ayah tirinya. Ia merasa tersingkirkan. Ia merasa tak lagi memiliki ruang di sana.
Aku tak mengerti mengapa ia bisa percaya padaku. Mengapa ia menceritakan kegelisahannya kepada orang yang baru pertama kali ia temui. Mungkinkah ia tahu bahwa aku pernah ada di posisinya? Mungkinkah ia tahu bahwa aku pernah merasakan luka yang sama?
Harus aku akui bahwa se-ngga kenapa-kenapanya anak broken home, kami tetap pernah kenapa-kenapa.
Ada rasa luka yang seringkali kami sembunyikan. Entah karena malu atau karena tak ingin menyakiti hati kedua orang tua kami.
Aku hanya bisa menghiburnya dengan mengatakan bahwa dia adalah gadis yang kuat maka dialah yang Allah pilih untuk menjalani ujian ini. Bagi mereka yang tak pernah ada di posisi ini mungkin akan merasa bahwa kami berlebihan, tetapi sungguh berada di posisi ini tidak mudah. Terlebih di usia ketika kita mulai bisa membandingkan kehidupan dengan teman sebaya.
---
Entahlah. Aku rasa kita semua pernah merasakan kehilangan. Aku yakin setiap manusia pernah merasakan luka itu.
Asam garam kehidupan selama 25 tahun aku hidup telah mengajarkanku bahwa ujian hidup yang kita hadapi hari ini bisa saja dihadapi orang lain di kemudian hari. Kita semua pasti diuji. Hanya waktu dan bentuknya yang berbeda.
Jikalau aku punya kesempatan untuk bertemu gadis itu lagi, mungkin aku akan mengatakan padanya...
"Dek, tenanglah, kamu tidak perlu iri dengan teman-temanmu yang memiliki keluarga yang utuh.
Setiap orang itu diuji. Ujian yang kita hadapi hari ini bisa jadi akan dihadapi orang lain di kemudian hari.
Kita semua diuji. Maka kita tidak perlu iri dengan kehidupan orang lain."
---
Ada orang yang beruntung bisa bersama kedua orang tuanya sejak kecil tetapi kehilangan kedua orang tuanya di usia 20-an tahun.
Dan ada orang yang mengalami pahitnya kehilangan keluarga yang utuh sejak kecil tetapi masih diberi kesempatan bertemu kedua orang tuanya di usia 20-an.
See? Setiap kita pasti diuji dan kita semua pernah kehilangan.
Kalaulah hari ini engkau iri dengan kehidupan orang lain yang bagimu ia jauh lebih beruntung, kau perlu tahu bahwa ada nikmat yang Allah ambil dari hidupnya yang kau tak tahu itu apa.
Apakah pantas kita iri dengan kehidupan orang lain?
Apakah pantas kita mengutuk takdir? Mengatakan bahwa Allah tak adil?
Sungguh kita semua diuji. Hanya mungkin waktu dan bentuknya yang berbeda.
---
Ditulis di Denpasar, Bali
5 Sya'ban 1442H
Comments
Post a Comment