Ibu Ideal Versiku: Bisa Memasak
Bismillahirrahmanirrahim
Dulu sebelum menikah, ada hal yang cukup membuatku takut untuk menikah.
Hal tersebut adalah karena aku ga bisa masak.
Emang kalau dipikir-pikir absurd banget sih, ngapain juga takut nikah gara-gara hal itu.
Namun, setelah dipikir-pikir, ketakutan itu terbentuk dari pola pikir yang tertanam sejak aku kecil.
Bahwa perempuan harus bisa masak.
---
When I was a child, I used to see my mother cooked everyday.
I used to bring my lunch from home instead of buying at canteen.
I never shy to bring my own lunch whether a lot of my friends ate their lunch box from school catering.
I still brought my own lunch untill I became college student at Airlangga University.
I was so proud of my mom.
---
Ya, aku terbiasa makan makanan rumahan yang dimasak oleh ibuku.
Ibuku terbiasa bangun di pagi hari dan selesai masak sebelum jam 6 pagi.
Pagi banget? Iya bund, kami tinggal di Surabaya. Mobilitas tinggi, aku harus berangkat pagi-pagi ke sekolah karena jarak sekolahku di tengah kota yang cukup jauh dari rumah.
Dari kecil aku melihat bahwa sosok perempuan itu harus bisa memasak. Karena sungguh, aku sebagai anak merasa bangga memiliki ibu yang pandai memasak.
Aku pernah berkunjung ke salah satu rumah teman SMP ku di Ngagel. Saat itu kami mau mengerjakan tugas kelompok. Temanku ini anak orang kaya, rumahnya bagus.
Sesampainya di rumahnya, ibu temanku ini bertanya, "Kalian mau makan siang apa?"
Kami yang malu-malu kucing pun tak menjawab.
Kemudian ibu temanku berkata lagi, "Kalau tante beli Chinese Food mau ngga ya? Maaf ya tante ga bisa masak."
Sejak kejadian itu aku jadi paham bahwa tidak semua ibu bisa memasak.
Tetapi bagiku, ibu yang ideal adalah ibu yang bisa memasak.
Mengapa?
Sungguh, aku yakin. Siapapun di luar sana pasti rindu masakan ibunya ketika merantau.
Ngga ada makanan yang lebih lezat dari masakan ibu.
Even sampai sekarang.
Favoritku ketika pulang ke Surabaya adalah opor ayam masakan ibuku.
---
Masakan yang dibuat ibu bisa menjadi tali cinta bagi anggota keluarga.
Akan ada keterikatan batin lewat masakan ibu.
Selain itu, tentu kita tahu masakan rumah lebih sehat karena diolah sendiri. Tanpa micin atau penyedap rasa lainnya (kalau aku sih). Jadi rasa enaknya ori.
Dan juga ga kalah penting. Memasak jauh lebih hemat daripada beli. Haha tetep ya otaknya anak Akuntansi kudu hemat.
---
Aku punya tante seorang notaris. Beliau pintar, kaya raya dan bisa dibilang cukup sukses.
Suatu hari ketika aku masih mahasiswa aku dan ibuku berkunjung ke rumahnya untuk membantu persiapan acara keluarganya.
Ketika itu beliau menunjukkan cara memasak suatu makanan di hadapanku.
Sambil memasak, beliau mengatakan,
"Perempuan itu, sepintar apapun di luar sana, harus bisa masak."
Jleb. Sebuah tusukan bagiku waktu itu yang rangking 1 dimana-mana tapi ga paham urusan dapur.
---
Kini ketika menikah, entah mengapa rasa takut ngga bisa masak itu kalah dengan rasa penasaran untuk mencoba resep ini dan itu.
Ada perasaan bangga dan bahagia ketika bisa menyajikan makanan untuk suami dari hasil masak sendiri.
Ya, pelan tapi pasti, aku berusaha menjadi ibu ideal versiku.
Ternyata masak ngga sesusah di bayanganku manteman. Sungguh, masak itu kayak ngerjain Akuntansi. Semakin dilatih, semakin mahir.
Memang ada rasa lelah jika harus masak setiap hari. But, cobalah untuk melakukan versi terbaikmu. Jika mampunya tiga kali sepekan, lakukanlah. Jika mampunya dua kali sepekan, lakukanlah.
Memasakn bagi keluarga itu bernilai pahala. Apa kita mau menyia-nyiakan kesempatan emas memperoleh pahala dengan cara yang cukup sederhana ini?
---
Menu masakanku memang masih itu-itu saja. Rasanya pun masih jauh dari restoran bintang lima.
Namun, bukan menu atau rasa yang menjadi standar keberhasilanku. Standar keberhasilanku adalah jika bisa konsisten memasak untuk keluarga dan tidak tergiur untuk sering jajan di luar sana.
---
Ditulis di Denpasar, Bali
8 Syawal 1442H
Persiapan masak siang ini |
Sederhana but I'm sure my husband loved it |
Comments
Post a Comment