"Kalau Sudah Besar Mau Jadi Apa?"
Bismillahirrahmanirrahim
Aku tertegun melihat manusia datang silih berganti dengan segala kisah yang mereka bawa. Semakin lama aku semakin memahami bahwa ketika beranjak dewasa kita semakin terjebak pada rasa takut.
Takut.
Entah sejak kapan kita menjadi orang yang penakut. Aku pribadi tidak tahu persis kapan tepatnya. Namun, satu hal yang aku ingat, ketika akan lulus SMP aku begitu takut untuk memilih SMAN 5 Surabaya karena takut ibuku akan kesulitan membiayai aku sekolah di sana.
Padahal, sejak kecil aku adalah anak yang pemberani.
Aku sering ditinggal sendiri di rumah karena ibuku dinas luar. Aku sering disuruh masuk sendiri ke toko sementara ibuku menunggu di parkiran. Aku sering naik odong-odong sendiri tanpa didampingi ibuku seperti anak-anak lainnya. Ya, aku sejak kecil adalah anak yang pemberani.
Keberanian itu membuatku (dan mungkin kita semua) berani bermimpi. Cita-citaku ketika kecil adalah menjadi suster yang kemudian berubah menjadi penjahit yang kemudian berubah lagi menjadi wartawan. Mengapa kubilang "berani"? Karena sungguh ketika kecil kita tak takut menjadi miskin dengan cita-cita yang kita inginkan.
Sebuah kenyataan yang terbantahkan ketika kita bertanya kepada anak kecil, "Kalau sudah besar mau jadi apa?" Mereka pun kemungkinan akan menjawab,
"Insinyur"
"Dokter"
"Penulis"
dan tak kutemukan mereka menjawab "PNS" atau "Pegawai BUMN".
Dulu kita berani bermimpi seluas samudera |
---
Tak bisa dipungkiri, semakin dewasa kita semakin banyak pertimbangan. Lingkungan dan cerita hidup orang yang tak bekerja di ranah formal membuat kita takut mengalami hal yang sama, kita takut tak punya uang, kita takut miskin.
Maka tak heran, banyak di antara kita memilih jalan yang aman, yaitu menjadi pegawai yang digaji tiap bulan.
Bukan. Aku bukan bermaksud menjelek-jelekkan bekerja sebagai PNS atau Pegawai BUMN atau pegawai lainnya, toh diriku saat ini masih berstatus PNS.
Namun, aku mencoba mengajak hati kita berbicara, adakah pekerjaan menjadi pegawai ini benar-benar kita inginkan? Adakah kita mengerjakannya dengan sepenuh hati karena kita bahagia menjadi pegawai? Adakah dari lubuk hati yang terdalam inilah yang kita ingin kerjakan? Atau selama ini kita datang ke kantor untuk menerima gaji dan sekedar menggugurkan kewajiban?
Let's wake up!!
Aku sendiri, jujur, merasa berat setiap kali akan berangkat ke kantor. Seolah hatiku berkata, "This is something that I don't want to do but I need money to survive."
Ya. Uang membuat kita bertahan. Uang membuat kita tetap di sana. Namun, hati dan pikiran entah kemana.
Untuk kasusku sendiri...
Hati tak sanggup berbohong. Hati kerap kali memberontak. Hati tak sanggup menjadi orang yang duduk di meja mengerjakan pekerjaan administratif sambil kebingungan harus melakukan apa jika tidak ada pekerjaan. Kemudian hati jadi merasa bersalah karena banyak waktu terbuang sia-sia. Hati pun merasa bersalah jika melakukan hal lain yang tak ada hubungannya dengan pekerjaan di waktu kosong. Hati semakin merasa bersalah mengingat pekerjaan ini merenggut sebagian besar waktu-waktu optimal untuk melayani keluarga.
Hati. Dialah yang paling jujur. Dialah yang tahu apa yang sebenarnya kita inginkan. Dia tahu hal apa yang membuat kita begitu gembira ketika mengerjakannya.
---
Pada tulisan ini, aku hanya ingin berpesan:
Jika kamu masih mau bertahan karena alasan yang mendesak (kita tahu pada asalnya perempuan kewajiban utamanya ada di rumah), maka bertahanlah dengan bahagia. Temukanlah alasan yang membuat kamu bahagia bekerja di sana. Agar apa? Agar kamu menjadi pegawai yang maksimal. Tidak asal-asalan dan hanya menggugurkan kewajiban. Sungguh kita semua tahu, sesuatu yang dikerjakan dengan bahagia karena keinginan sendiri akan beda hasilnya dengan sesuatu yang dilakukan karena terpaksa. Jangan sampai menjadi beban negara atau perusahaan
Namun...
Jika kamu tak bisa lagi membohongi hatimu. Lakukanlah hal yang membuatmu bahagia. Kejar mimpimu. Realisasikan angan-anganmu. Lakukan hal yang membuat kamu merasa begitu berguna. Walau dengan konsekuensi merelakan gaji bulanan yang selama ini kamu terima.
---
Life is choice isn't it?
Ditulis di Monang-maning, Denpasar, Bali
Counting days to leave Bali
19 Syawal 1442H.
Comments
Post a Comment