Ayah, Ibu, Mengapa Harus Berpisah?
Bismillahirrahmanirrahim
Dulu, ketika masih kecil, aku pernah bertanya dalam hati mengapa bapak ibuku harus berpisah. Saat itu aku hanya punya jawaban bahwa mereka berdua tidak cocok lagi.
Tidak cocok lagi? Mengapa bisa demikian?
Kemudian aku tersadar bahwa di muka bumi ini bukan hanya orang tuaku yang berpisah. Banyak orang di luar sana juga mengalami hal yang serupa. Alasannya adalah tidak cocok lagi.
Ketika berada di persimpangan |
---
Sungguh aku baru mengerti hal ini setelah menikah. Pernikahan itu jalan yang sangat panjang. Benar-benar panjang.
Bukan sehari dua hari. Bukan sebulan dua bulan.
Kita akan bersama dengan seseorang yang kita nikahi seumur hidup. Dan seumur hidup itu lama.
Catat ini: seumur hidup itu lama.
Dan tahukah kamu apa yang membuat mempertahankan rumah tangga itu sulit?
Yaitu adalah memaklumi dan menerima kekurangan pasangan.
Ya, memaklumi dan menerima kekurangan pasangan adalah hal yang sangat sulit sekali.
---
Ketika akan menikah kita belum benar-benar mengenal calon pasangan kita. Yang terlihat darinya adalah yang baik-baik saja. Kalaupun tahu kekurangannya, paling hanya satu dua saja.
Kita baru benar-benar mengenal seseorang jika sudah hidup satu atap dengannya.
Kita baru mengenalnya dan mengetahui seluruh tabiatnya ketika sudah hidup dengannya.
Maka tak heran jika sudah menikah, banyak orang kecewa atau illfeel dengan pasangannya.
Pasangannya yang dulu ia puja-puja, yang ia perjuangkan dengan segala upaya, ternyata punya banyak kekurangan yang tak ia ketahui sebelumnya.
Yang lebih parah adalah alih-alih berusaha menerima kekurangan pasangan dan berusaha memperbaiki bersama, ia malah berandai-andai jika tidak menikah dengan pasangannya.
Ia mungkin teringat mantannya atau orang lain yang pernah ta'aruf dengannya. Ia membandingkan pasangannya dengan pria atau wanita lain yang sungguh belum ia ketahui kekurangannya.
Hal ini diperparah jika terjadi masalah antar keduanya. Ya, kesalahpahaman atau ketidaksepakatan di antara dua insan tentu saja ada. Hanya saja yang menjadi runyam adalah jika masalah kecil dibesar-besarkan sampai mengingat-ingat mantan atau orang lain yang menurutnya lebih baik dari pasangannya.
---
Ketahuilah wahai pembaca, tidak ada satupun manusia yang sempurna.
Dia yang menikah denganmu pasti punya kekurangan. Dia yang menikah denganmu pasti pernah tak sependapat. Dia yang menikah denganmu pasti pernah berbeda pandangan.
Namun ingatlah, dia yang menikah denganmu adalah orang yang masih mau menerima kekurangamu sampai saat ini.
Melangkah searah |
---
Aku tahu seumur hidup itu lama. Aku tahu menerima kekurangan pasangan itu tak mudah.
Namun, pria/wanita lain yang kau bayangkan lebih baik dari pasanganmu adalah orang yang belum kau ketahui kekurangannya saja.
Pasanganmu menjadi lebih buruk dari mereka hanya karena kau sudah tahu berbagai macam kekurangannya.
Apakah karena satu dua kekurangannya kau jadi melupakan begitu banyak kebaikannya?
---
Jikalau memang kau tak lagi searah dengannya, mengapa tak kau coba bicarakan berdua?
Bukankah pernikahan adalah perjanjian untuk selamanya? Tak bisa kau buat main-main seenak kata.
Bicarakanlah kembali visi misi keluargamu. Bangun kembali bonding di antara kalian. Ingatlah hal-hal berat yang telah kalian lalui bersama. Ingatlah air mata perjuangan yang pernah menetes bersama.
---
Kalau memang ada yang tak kau suka dari pasanganmu, mengapa tak kau coba ungkapkan kepadanya.
Alih-alih terpikat dengan yang baru, seharusnya kau berusaha memperbaiki kekurangannya.
Bukankah kau adalah pakaian baginya dan ia adalah pakaian bagimu?
Bukankah pernikahan adalah jalan untuk sama-sama memperbaiki keadaan? Bukan wadah untuk saling menuntut kesempurnaan.
---
Kalaupun kau menikah karena dijodohkan, tak ada pilihan lain atau terpaksa, apa kau pikir Allah main-main dalam membimbing langkahmu sampai menikah dengannya?
Apalagi bagimu yang memilihnya dengan kesadaran dan keyakinan hati, apa kau pikir Allah main-main dalam menuntunmu sampai menjadi pasangannya?
---
Ayah ibu, mengapa harus berpisah?
Tak kasihankah kau pada si kecil yang berhak mendapat kelurga yang utuh dan bahagia?
Aku beri tahu satu hal. Aku pernah ada di posisi sebagai anak yang melihat kedua orang tuanya tak lagi bersama, dan kau tahu bagaimana rasa sakit yang aku rasa?
Sungguh tak mampu aku ucapkan dengan kata-kata.
Luka anak broken home akan dia simpan sendiri selamanya. Dia tak mampu bercerita terlebih bersuara kepada kedua orang tuanya.
Dia tak mampu mencegah kedua orang tuanya berpisah karena jika demikian, dia akan merasa menjadi pihak yang paling egois untuk meminta ayah ibunya tetap bersama.
Dia tak bisa memilih keadaan dan harus menerima. Selama bertahun-tahun dia akan iri melihat teman-temannya yang punya keluarga utuh dan bahagia sedangkan dia harus membagi-bagi hari untuk bertemu dengan ayah dan ibunya.
Kalaulah boleh meminta, tak ada satupun anak yang ingin begitu kondisinya. Namun apa daya, ia hanya anak kecil yang tak didengar pendapatnya. Maka sungguh jangan salahkan ia jika tumbuh berbeda dengan anak-anak lainnya. Ada luka batin yang berusaha ia terima seberapa berat pun bentuknya.
---
Tulisan ini aku buat bagi mereka yang berada di ujung biduk rumah tangga.
Di masa pandemi ini, ketika kita dituntut di rumah saja, ada orang-orang yang tak menikmati hangatnya rumah dan keluarga karena sedang berada di titik ini.
Ayah, ibu, jika kesalahan pasanganmu bukan kesalahan yang fatal, mengapa harus kau ambil langkah ini?
Ayah, ibu, jika memang kesalahan pasanganmu fatal dan tak bisa kau terima lagi, aku harap kondisi batinmu dan anak-anakmu akan baik-baik saja untuk menerima jalan hidup yang tak akan mudah lagi.
Akan selalu ada stigma negatif bagi anak yang menyadang gelar anak broken home, maka sungguh aku berharap anak-anakmu bermental baja agar tak tenggelam dalam kalutnya dunia untuk anak seusianya.
---
Ditulis di Jambangan, Surabaya
12 Dzulhijjah 1442H
Comments
Post a Comment