Fitrah Belajar Yang Terluka
Bismillahirrahmanirrahim
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim) [HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907]
Sejak kecil aku memang suka belajar. Entah mengapa rasanya happy aja kalau berurusan sama buku. Sampai-sampai aku akan merasa bersalah jika dalam satu hari saja aku tidak belajar.
Memang belajar bisa dari banyak hal, tak melulu soal buku. Namun, yang aku maksudkan di sini adalah belajar dalam makna konservatif, yaitu belajar dengan buku dan kurikulum.
Walau zaman telah berubah, buku tetaplah jendela dunia |
Dari apa yang aku pelajari, setiap orang memang memiliki fitrah pembelajar. Buktinya seorang anak yang belum bisa jalan tidak menyerah untuk kembali bangkit walau terjatuh berulang-ulang. Tidak pernah aku dapati seorang anak yang malas belajar berjalan dengan alasan takut gagal.
Ya, kita semua pembelajar. Namun, mengapa ketika dewasa tidak semua dari kita pada akhirnya suka belajar?
Pertanyaan ini muncul dari bukti-bukti di lapangan. Banyak teman yang dulu ketika SD berprestasi, suka belajar, dll, menginjak SMA cenderung susah memahami pelajaran dan malas belajar.
Pun juga ketika kuliah. Beberapa teman aku dapati tidak semangat belajar di kelas dan malah lari ke organisasi dengan dalih 'belajar di kehidupan nyata lebih seru dari pada belajar di kelas'. Baiklah, alasan itu mungkin bisa diterima, tapi kalau pada akhirnya organisasi membuat kewajiban utama sebagai mahasiswa terbengkalai, ya ga bisa dibenarkan juga dong alasan 'belajar di kehidupan nyata lebih seru' ini.
Melalui renungan panjang, membaca banyak curhatan orang dan mendengarkan beberapa kajian, aku bisa sedikit menyimpulkan bahwa setidaknya banyak di antara kita yang terluka fitrah belajarnya.
---
Ketika kecil, di usia 0-7 tahun, masa yang seharusnya fitrah belajar dan fitrah keimanan ini ditumbuhkan, orang tua seringkali menjejali dengan berbagai macam keilmuan dengan dalih agar anaknya tidak ketinggalan zaman. Padahal sejujurnya ada ambisi pribadi orang tua yang ingin terlihat hebat karena berhasil mencetak anak yang mampu ini itu di usia dini.
Akibatnya ketika SMA atau mungkin kuliah, anak sudah lelah diajak berlari hingga bosan dan enggan belajar. Anak membenci aktivitas belajar karena sejak kecil belajar adalah hal yang dipaksakan oleh orang tua, bukan sesuatu yang muncul sebagai kecintaan untuk dilakukan dengan sadar.
Menumbuhkan fitrah belajar tu gimana sih? Ya melakukan hal-hal yang membuat anak suka dengan proses belajar itu sendiri. Anak belajar bukan karena paksaan, tapi karena memang suka dan butuh akan belajar. Dalam pikiran bawah sadar mereka, belajar adalah aktivitas yang menyenangkan sehingga tak perlu sampai diobrak-obrak untuk belajar.
Menatap langit dan merenungi konsep belajar selama ini |
Jadi kalau kamu sendiri ga ada fitrah belajar yang terluka dong Ma? Kan kamu sampai sekarang suka belajar.
Siapa bilang hehehe, aku merasa pernah mengalami fitrah belajar yang terluka, tetapi bentuknya berbeda. Aku tidak tahu apakah ini boleh disebut fitrah belajar yang terluka karena aku belum mengkaji sejauh itu, tetapi yang jelas aku merasa tidak seharusnya terjadi seperti itu.
Jadi begini, dulu aku SD di salah satu madrasah kecil di Karah, Surabaya. Madrasah ini sama sekali tidak terdengar gaungnya. Tidak dimuat di koran karena berbagai prestasinya. Pun juga tidak terkenal sebagaimana sekolah-sekolah Islam elit lainnya.
Mengapa dulu aku disekolahkan di situ? Orang tuaku dari kampung, mereka merasa di Surabaya ini anak harus punya landasan agama yang baik sejak kecil, maka pasti sekolah Islam pilihannya. Masalahnya, sekolah Islam yang bagus tentu mahal. Orang tuaku ga sanggup menyekolahkan di sekolah mahal, jadilah aku disekolahkan di SD itu.
Dan mungkin bentuk terluka antara satu orang dengan orang yang lain ini berbeda.
Dalam diriku sendiri, aku merasa ada bagian dari fitrah belajarku yang terluka.
Aku merasa ketika SD aku belajar tanpa tendensi nilai. Atau mungkin lebih tepatnya, nilai bukan prioritas tujuan aku belajar. Mengapa? Karena sungguh teman-temanku yang lain pun demikian. Tidak ada persaingan yang gimana gimana untuk menunjukkan siapa yang terbaik. Yaiyalah, SD nya aja ga terkenal, mau berprestasi ga berprestasi ya ga ada pengaruhnya. Toh juga rata-rata lulusannya masuk SMP Islam X yang deket SD juga. Nilai UN ga usah tinggi-tinggi juga ga masalah kok, tetep bisa sekolah.
Atas izin Allah nilai UN ku tinggi sekali saat itu. Aku yang awalnya tidak tahu tentang SMP yang bagus di Surabaya jadi tahu ada sekolah bagus dan sekolah kurang bagus karena mendapat kabar dari sana sini. Aku diarahkan mencoba mendaftar SMP Negeri di tengah kota Surabaya dengan alasan kualitasnya yang bagus.
Alhamdulillah, aku berhasil masuk SMPN 6 Surabaya yang kata orang-orang adalah SMP Negeri paling bagus kedua di Surabaya. Dan entahlah, aku rasa kehidupan belajarku di SMP ini jauh berbeda dengan di SD dulu.
Mulai ada tendensi lain berupa nilai bagus yang aku kejar. Mulai ada tendensi untuk membuktikan bahwa aku cukup diperhitungkan. Mengapa bisa demikian? Aku rasa karena lingkunganku juga begitu. Kami saling bersaing satu sama lain. Bahkan ada teman-temanku yang menghalalkan mencontek dengan dalih agar nilainya bagus sehingga tidak remidi. What? Lalu apa gunanya sekolah jika tujuan ujian hanya agar tidak remidi?
Sistem nilai minimal membuat para siswa berusaha memenuhi ekspektasi nilai itu supaya tidak remidi. Mengapa kami enggan remidi? Sederhana. Kami malas belajar untuk ujian lagi.
Dan yaa...parahnya hal ini aku bawa terus ketika SMA. Semakin ada tendensi nilai yang membuat aku semangat belajar karena lingkunganku yang juga demikian. Bahkan sampai les di dekat SMA agar nilai ujiannya bagus. Tidak heran jika bimbel di dekat sekolahku laris manis. Bahkan sampai ada temanku yang mengatakan, "Belajar itu di bimbel, di sekolah itu main sama ketemu temen aja."
Benar memang aku tidak pernah mencontek dan menconteki ketika SMA, tetapi tujuan belajarku jadi salah. Aku menghafal materi atau mengerjakan soal agar nilaiku di ujian bagus sehingga bisa rangking satu di sekolah.
Dan taraa...aku berhasil. Aku lulus dengan meraih rangking satu se-angkatan (total ada 10 kelas) dari SMA Negeri 5 Surabaya. SMA Negeri yang kata orang-orang adalah SMA Negeri paling bagus di Surabaya.
Tidak berhenti di situ. Aku berhasil menjuarai berbagai lomba. Sepertinya tendensinya tetap sama: Agar terlihat hebat dan diakui.
Tahu akibatnya apa?
Akibatnya pasca SMA dan sudah tidak belajar ilmu-ilmu itu lagi, pelajaran-pelajaran yang pernah sangat aku kuasai itu menguap. Ya, aku lupa sama sekali.
Dan aku rasa, bukan hanya aku yang mengalami hal ini. Seriously, most of my friends felt the same things. Dan aku yakin ada di antara pembaca sekalian yang merasakan hal yang sama.
Ada yang salah dengan sistem pendidikan kita yang sampai melukai fitrah belajar kita.
---
Wallahua'lam sampai hari ini, ketika sudah dewasa, aku perhatikan masih banyak yang fitrah belajarnya terluka. Hal ini terlihat dengan tendesi kuliah lagi harus di luar negeri. Wait, mengapa sih harus ke luar negeri?
Mereka mengatakan karena sistem pendidikannya yang lebih bagus dari sistem di Indonesia. Mereka ingin memperbaiki kondisi Indonesia. Baik, apakah betul hanya itu saja tendensinya? Nyatanya dari zaman Pak Habibie sampai sekarang ya buanyak banget anak Indonesia yang dikirim kuliah di luar negeri. Hasilnya gimana? Udah puluhan tahun lho ini.
I don't know, dari prespektifku, selama tendensinya masih salah maka perbaikan untuk Indonesia akan sulit dilakukan.
Selama tendensinya masih ada ingin terlihat keren, ingin merasakan musim semi dan musim dingin, ingin keliling dunia, ingin feed instagramnnya cantik dengan foto-foto latar negara-negara Eropa, aku rasa orang seperti ini akan susah berkorban untuk berkontribusi bagi negaranya.
Contohnya banyak banget. Coba ubek-ubek google dan cari cerita mereka yang pulang dari luar negeri. Yang dulunya katanya ke luar negeri mau melakukan ini dan itu. Pada akhirnya melupakan mimpinya dan memilih bekerja sebagai pegawai di perusahaan multinasional. Tujuannya? Jelas biar punya banyak uang.
Aku tidak mengatakan kuliah di luar negeri itu buruk. Namun, aku hanya mengkritisi tendesi kuliah ke luar negeri. Utamanya jika menggunakan uang beasiswa dari jerih payah keringat rakyat Indonesia.
Sekali lagi, selama tendensinya masih salah maka perbaikan untuk Indonesia akan sulit dilakukan. Yang ada adalah semakin berbebut dan berebut untuk kesejahteraannya masing-masing.
Dan secara jujur, belajar dari runtuhnya Khalifah Turki Utsmani, di antara sebab runtuhnya adalah karena banyaknya pemuda saat itu dikirim belajar ke negara-negara Eropa. Akibatnya mereka pulang dengan membawa pola pikir ala barat dan akhirnya menggulingkan kekhalifahan itu sendiri. Kekhalifahan yang belum bangkit kembali hingga hari ini.
Di Indonesia sendiri sudah terlihat kok bibit-bibit yang seperti ini. Terlalu lama tinggal di negara Barat hingga berpaham menyimpang dan menyerang agamanya sendiri. Katanya muslim, tapi nyatanya lebih memihak penjajah Palestina dari pada saudara seimannya sendiri karena lebih percaya data yang disajikan media barat.
See? Ngeri banget kan.
Tendensi dan tendensi.
Selama niat kita salah, tujuan dan hasil tidak akan baik.
Sungguh benarlah hadits berikut ini
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
PR kita banyak banget ya ternyata. Setidaknya kita mulai menyadari bahwa harus membenahi fitrah belajar yang pernah terluka ini. Membenahi setiap tendensi ketika melakukan sesuatu apa pun.
---
Ditulis di Surabaya, 17 Muharram 1443H
Comments
Post a Comment