Laki-laki Juga Manusia
Bismillahirrahmanirrahim
Tepat sepekan yang lalu, ketika aku duduk menikmati makan siang di suatu tempat terbuka dengan suamiku, ada seorang laki-laki yang menghampiri kami. Dia terlihat begitu bahagia melihat keberadaan suamiku di sana. Dia mengatakan, "Wah, Lujo!! Bisa ketemu Lujo lagi..."
Usut punya usut dia adalah teman satu jurusan suamiku di ITS. Dari penampilannya, bisa ditebak dia anak gaul kekinian khas pergaulan anak milenial.
Aku pun mempersilahkannya duduk bersama kami. Dia terlihat begitu bahagia dipersilahkan duduk bersama sambil bercerita ini itu tentang kehidupannya saat ini.
Dia bercerita tentang pekerjaannya di Jakarta, tentang teman-temannya, dll. Honestly, aku merasa senang bahwa orang seperti 'kami' tidak dianggap eksklusif olehnya sehingga ia merasa nyaman menceritakan banyak hal kepada kami.
Obrolan terus mengalir hingga ia bercerita tentang suatu hal yang sangat pribadi...
"Aku bingung harus gimana lagi. Aku bingung harus ngapain lagi di hidup ini..." ungkapnya.
"Lujo, kamu kan orang alim, apakah menurutmu apa yang aku lakukan ini salah?"
Dari ceritanya, aku bisa menangkap kesedihan hati yang luar biasa pilu. Bagaimana tidak? Dia anak tunggal, ayahnya telah meninggal, disusul ibunya yang baru saja meninggal. Dan kini dia harus meninggalkan rumah dinas orang tuanya untuk meneruskan hidupnya seorang diri.
Di tengah kesendirian yang kini dia hadapi, dia pun dihadapkan oleh masalah pencarian pasangan hidup yang begitu rumit. Ia berkata, "Aku udah ga bisa cerita ke ibuku. Aku ga tahu harus cerita ke siapa..."
Sejujurnya, apa yang dia rasakan saat ini, sedikit banyak dulu pernah aku alami. Ketika aku dihadapkan situasi yang sangat sulit dan tak ada satupun manusia yang bisa menolongku keluar dari masalah yang datang bertubi.
Namun, dari sanalah pada akhirnya aku sadar, masalah ini adalah cara Allah mendidikku bahwa satu-satunya yang bisa menolongku hanya Allah semata. Sebanyak apapun aku meminta tolong pada manusia, jika Allah tak berkehendak menolongku maka tak akan ada hasilnya.
Sungguh, aku bisa mengerti mengapa ia sangat terpuruk seperti itu. Kondisi yang dia alami sangat berat. Dia dihadapkan suatu masalah serius tetapi tak ada ayah dan ibu yang bisa mendengarnya. Pun juga tak ada saudara kandung yang bisa menguatkannya.
---
Laki-laki. Bagaimanapun juga, mereka tetap manusia. Mereka yang sejak kecil dituntut tidak boleh menangis, mereka yang dituntut kuat, mereka yang dituntut selalu tegar, kadang kita lupa bahwa mereka juga manusia biasa yang bisa rapuh, jatuh, dan terpuruk.
Salah satu perpustakaan di Surabaya |
Tempat kami bertemu teman suami ini |
---
Pada kesempatan yang berbeda, aku mendapati suamiku ditelpon temannya selama sekitar satu jam lamanya. Belum selesai temannya bercerita, obrolan itu harus terhenti karena sudah masuk waktu shalat dhuhur.
"Tumben telponnya lama, siapa yang nelpon?" tanyaku pada suami.
"Itu, si X, dia lagi ada masalah. Butuh teman cerita, ibunya baru saja meninggal." kata suamiku.
Laki-laki. Mereka juga manusia. Mereka butuh bercerita. Terlebih ketika orang terdekat yang menjadi tempat mereka bercerita selama ini (contoh: ibunya) pergi selama-lamanya.
---
Aku pernah bertanya pada teman sekantorku dulu. Pertanyaan ini berangkat dari penilaian pribadiku tentang kaum wanita yang jika sedih biasanya mudah terlihat kesedihannya. Berbeda dengan laki-laki yang seperti tanpa beban. Haha hihi setiap hari tanpa menunjukkan benturan hidup yang dihadapi.
"Ente kalau sedih sampai pingin nangis, berani nangis di depan orang lain ga?" tanyaku kepadanya.
"Ya ga ditunjukin ke orang lain lah, malu kali, kan aku laki-laki," jawabnya.
Malu. Hal yang menurutku sangat tidak logis untuk menahan diri sendiri agar tidak menangis.
Saat itu aku hanya berpikir, kalau sedih ya sedih aja. Kan kita manusia. Wajar lah sedih. Kalau mau nangis ya nangis aja. Biar lega.
Namun, sepertinya logikaku ini tidak berlaku pada pola pikir mayoritas laki-laki. Mereka merasa harga dirinya jatuh jika air matanya diketahui orang lain.
---
Beberapa hari yang lalu aku menghadiri pemakaman salah satu teman ibuku di Surabaya. Tante yang meninggal ini sudah seperti saudara sendiri karena sejak kecil berteman dengan ibuku.
Ketika sampai di kuburan, anak laki-lakinya diminta untuk menurunkan jenazah ibunya ke liang lahat.
Ketika selesai meletakkan jenazah ibunya di liang lahat, dia berkata tidak sanggup lagi meneruskan proses pemakaman. Dari raut wajahnya, ia mengalami kekalutan hati yang sangat. Ia naik dari liang lahat lalu dipeluk budhenya. Ia pasti mengalami kehilangan yang luar biasa.
---
Pada kesempatan yang lain, ada seorang tetangga perempuan seumuran ibuku meninggal dunia. Ia tinggal di kontrakan bersama satu putranya. Ia meninggal sendirian karena saat itu putranya sedang pergi.
Bayangkan bagaimana remuknya hati sang anak. Sampai rumah mendapati ibunya sudah tidak bernyawa. Ibu yang selama ini tinggal berdua bersamanya telah meninggal dunia.
Para tetangga dengan cepat mendatangi rumahnya. Sang anak pun ditanya bagaimana baiknya proses pemakaman untuk sang ibu mengingat mereka bukan warga asli tempat kami tinggal. Mungkin saja ada sanak saudara yang ingin ibunya dimakamkan di tempat asal mereka.
Sungguh sang anak terlihat bingung. Ia mendapati ibunya sudah tiada dengan tiba-tiba lalu ia dihadapkan masalah mengurus jenazah ibunya seorang diri karena sanak saudaranya saat itu jauh.
Walau demikian, ia berusaha tegar. Ia berusaha tidak menangis.
Melihat keluar jendela |
---
Laki-laki. Menangis atau tidak, mereka tetap manusia yang bisa merasakan kesedihan.
Tampaknya kita harus berhenti menuntut mereka selalu terlihat tegar dan kuat. Kita perlu mengingat bahwa mereka juga punya emosi kesedihan yang kadang tumpah ruah karena berbagai kesulitan hidup yang dihadapi.
Menumpahkan isi hati dan menangis bukan tanda bahwa mereka lemah. Keduanya adalah tanda bahwa mereka juga manusia yang kadang perlu didengar dan dikuatkan.
Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menangis ketika putra beliau yang bernama Ibrahim meninggal dunia? Beranikah kita mengatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang lemah hanya karena beliau menangis?
Maka jika ayah, kakak/adik laki-laki, suami, atau anak laki-laki sedih dan menumpahkan kesedihannya, let it be...
---
Selesai ditulis di Kramatan, Wonosobo
20 Rabi'ul Akhir 1443H
Comments
Post a Comment