Kesendirian Itu Berat

Bismillahirrahmanirrahim

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang laki-laki paruh baya yang terbaring tak berdaya di rumah sakit. Seingatku, saat itu ia belum mendapat kamar untuk rawat inap. Ia dan keluarganya terpaksa menunggu di lorong rumah sakit. 

Laki-laki ini beberapa kali memeluk istrinya yang setia mendampinginya. Ia mengatakan kepada istrinya untuk tidak meninggalkannya. Ia terlihat ketakutan. Ia ingin terus didampingi.

Sang istri tentu tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Sang istri pasti tidak tega meninggalkan suaminya sendiri dalam kondisi demikian. Tanpa diminta pun, ia akan terus mendampingi suaminya. Hanya saja, sang istri malu dipeluk di depan umum karena dilihat banyak pasang mata.

Siapa sangka, beberapa hari kemudian, laki-laki paruh baya itu meninggal dunia. Mungkin ketika ia memeluk istrinya, ia sedang ketakutan luar biasa. Ia takut hidup sendiri. Lebih tepatnya, ia takut menghadapi fase hidup berikutnya yang mau tidak mau akan memaksa manusia hidup seorang diri.

Dinanti tak dinanti kematian akan datang menghampiri


---

Di tempat lain, ada seorang wanita tua yang sudah bertahun-tahun hidup sendiri karena anak-anaknya merantau. Walau ia selalu berusaha menunjukkan ketegarannya, dari lubuk hati yang terdalam, ia ingin bersama anak-anaknya. 

Tanpa disangka, salah satu anaknya pindah ke kotanya dan tinggal bersamanya lagi. Tiap kali si anak menginap di luar rumah karena suatu urusan, wanita ini merasa waktu berdetak begitu lama. Ia ingin anaknya segera pulang. Ia tak mau sendirian.

Suatu ketika, si anak bercerita bahwa ada kemungkinan ia akan pindah ke luar kota karena desakan kondisi. Walau terlihat tegar, si ibu merasa tidak nyaman. Ia tak mau ditinggal sendirian.

---

Kesendirian itu berat. Utamanya bagi mereka yang telah berumur.

Entahlah, mungkin kita memang sulit memahami hal ini karena kita belum memasuki usia tua, tetapi bagiku sendiri, aku juga merasa bahwa kesendirian itu berat. Ada rasa yang tak nyaman jika jauh dari keluarga. Ada rasa sepi yang terus menyisir hati.

Mungkin inilah yang membuat aku menangis tak karu-karuan ketika akan pindah ke Bali. Aku merasa sendiri. Aku takut tak bertemu orang-orang yang dapat menerimaku. Walau setelah dijalani ternyata tak seburuk yang aku pikirkan, tetapi memang, kesendirian itu berat.

---

Ketika sendiri, kita akan mudah futur. Tak ada yang mengingatkan kita ketika kita berbuat salah. Tak ada yang menegur kita ketika kita berbuat kekeliruan. Tak ada yang bisa diajak bicara. Tak ada yang bisa diajak bertukar pikiran.

Itu yang kita rasakan di dunia, bagaimana dengan kesendirian hakiki yang akan kita rasakan nanti? Bukankah tidak ada satu pun manusia yang akan menemani kita di alam kubur? Bukankah hanya amal kebaikan yang dapat kita andalkan untuk menemani kita?

Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan
(Pict from unsplash.com)


---

Apa yang terjadi kepada kedua orang lanjut usia di atas membuat aku tersadar bahwa manusia memang tidak suka sendirian. Namun, mau tidak mau kita nanti akan sendirian. Dengan mengetahui konsep ini, setidaknya kita harus berusaha melatih diri berkhalwat dengan Allah Ta'ala. Kita menjauh sejenak dari hingar bingar kehidupan dunia untuk menyadari bahwa tak ada satu pun makhluk yang bisa kita andalkan untuk menemani kita. Tak ada makhluk yang bisa kita andalkan untuk mengingatkan kita. Terlebih lagi, tak ada makhluk yang bisa kita andalkan untuk membersamai kita di fase kehidupan berikutnya.

Kesendirian itu berat, tetapi ia adalah hal yang nyata akan terjadi. Sudahkah kita menyiapkan kehadirannya yang sewaktu-waktu menghampiri?

---

Ditulis di Surabaya, 22 Jumadil Tsani 1443H

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!