Tentang Donasi Dakwah dan Masalah Permurtadan di Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh orang yang shalih. Inilah kesimpulan yang akhirnya aku pahami dari perbincangan kemarin bersama suami.
Kemarin suami membaca buku sejarah. Di dalam buku itu dinyatakan bahwa di tahun penerbitan buku tersebut (sekitar tahun 1960-an), umat Islam di Indonesia ada di angka 90an%.
Miris, saat ini, presentase umat Islam tidak mencapai angka itu. Per tahun 2021 lalu, jumlah umat Islam di negara kita ada di angka 85%.
Mengetahui hal ini aku pun langsung nyeletuk, "Pinter banget ya emang orang-orang yang murtadin ini"
Suamiku menjawab, "Ya karena umat Islam sendiri tidak pintar."
Jujur, aku sudah sering mengetahui kenyataan ini. Bahwa ada orang-orang yang berbuat jahat pada agamaku dengan menarik suadara-saudara muslimku ke agama mereka. Aku yakin banyak orang Islam juga mengetahui hal ini.
Namun, selama ini aku dan mereka bisa apa?
Maksudku, betul kami telah menyadarinya, tetapi selama ini umat Islam sendiri mungkin belum berintegrasi untuk menyelesaikan masalah pelik ini.
---
"Kenapa sih hal kayak gini dilegalkan pemerintah?" tanyaku pada suami. Aku cukup geram. Mengapa aksi-aksi pemurtadan ini dibiarkan saja oleh pemerintah. Mengapa tidak ada undang-undang yang mengatur batasan-batasan berdakwah kepada umat di luar agamanya.
"Ya karena dari dulu kita memang bersaing dengan mereka. Lihat aja Piagam Jakarta, kalimat 'Ketuhanan dengan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya' diganti jadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa' kan?"
Mengsedih 💧💧💧
"Populasi muslim yang terus turun ini baru terasa jika kita ke desa-desa. Tempat di mana para da'i jarang duduk di sana," lanjut suamiku.
"Di negara-negara TKI yang bukan negara Islam (seperti Vietnam), selepas shalat, imam tetap duduk di tempatnya untuk menerima pertanyaan dan curhatan dari jama'ah. Hal ini tentu berbeda dengan di Indonesia. Kultur kita tidak seperti itu. Selesai shalat ya pulang dan kembali ke kehidupan masing-masing. Sering kali kita ga tahu beban yang sedang dihadapi saudara kita."
Mendengar hal ini, aku sedikit menyanggah, "Ya mungkin karena tidak ada yang memberi tahu para da'i itu sehingga mereka tidak kepikiran."
Maksudku mengatakan ini adalah bahwa masalah dakwah adalah masalah bersama. Tidak adil jika hanya kita bebankan pada para da'i saja. Bukankah mereka juga butuh penghidupan? Siapa tahu saking beratnya beban hidup para da'i untuk menafkahi keluarganya, sampai tidak terpikir untuk melakukan hal yang demikian.
---
Dakwah di pelosok memang menjadi masalah yang pelik. Aku yakin berat bagi para da'i, mengabdi di pelosok karena mereka juga butuh penghidupan.
Maka kesimpulan yang ada di otakku saat ini adalah, seharusnya memang ada orang-orang kaya yang menanggung kehidupan para da'i ini.
Dengan demikian para da'i tidak akan merasa berat tinggal di pelosok untuk fokus berdakwah. Fokus melindungi orang-orang yang menjadi sasaran pemurtadan.
Sebaik baik harta ada di tangan orang yang shalih. Aku baru benar-benar paham maksud kalimat ini.
Karena di tangan mereka, operasional dakwah akan sangat terbantu. Termasuk dalam masalah menanggulangi serangan orang-orang kafir.
---
Bagaimana dengan kita yang hidupnya pas-pasan ini?
Aku yakin kita tetap bisa membantu dengan berinfaq semampu kita.
Teman, aku sudah melihat kultur yang begitu bagus dengan adanya gerakan infaq setiap hari dan infaq di hari Jum'at. Namun, yang aku sayangkan adalah mengapa kita cenderung fokus untuk berinfaq di operasional dakwah yang memang sudah sukses?
Aku ambil contoh, di sekitaran UGM, Alhamdulillah bisa kita bilang dakwah telah berkembang dengan begitu baik. Dakwah telah diterima di hati banyak orang di sana.
Mengapa banyak di antara kita ketika infaq jum'at memprioritaskan harta kita ke sana?
Tidakkah kita ingat bahwa di tempat lain ada dakwah yang belum sukses dan butuh bantuan dana kita?
Tidakkah kita ingat bahwa ada saudara kita yang telilit hutang dan bisa menjadi sasaran empuk permurtadan?
Tidakkah kita ingat ada saudara kita yang kelaparan dan berpotensi menggadaikan agamanya?
Tidakkah kita juga ingat para da'i yang mengabdi di tempat-tempat terpencil juga butuh menafkahi keluarganya?
Let's wake up.
Masalah kita memang pelik. Namun, aku mencoba mengajak diri kita tidak menutup mata akan kenyataan ini.
---
Ayo berjuang!
Baik mempertahankan jumlah mayoritas umat Islam maupun memperbaiki kualitas umat Islam.
Karena tidak bisa kita pungkiri, salah satu hal yang membuat kita dengan mudah mendengar adzan, shalat di masjid, dan kemudahan-kemudahan lain dalam beribadah adalah karena kita mayoritas.
Aku bisa bilang begini karena aku pernah tinggal di Bali. Dimana menjalankan syari'at Islam tidak semudah di Jawa.
Ayo bangun teman. Ayo bersama-sama menyelesaikan masalah ini.
---
Ditulis di Surabaya
9 Dzulqodah 1443H
Comments
Post a Comment