Berteman dengan Yang Lebih Tua: Belajar tentang Anak
Bismillahirrahmanirrahim
Aku pernah mendengar perkataan seseorang yang menyarankan kita berkumpul dengan orang-orang yang 10 tahun lebih tua dari kita. Mengapa? Untuk curi start. Kita mengambil langkah awal untuk memahami apa saja yang terjadi di usia itu untuk mempersiapkan diri kita saat ini. Bukankah kita 10 tahun lagi tak lepas dari keputusan yang kita ambil hari ini? Bukankah kita 10 tahun lagi juga tak lepas dari apa yang sudah kita perjuangkan hari ini?
---
Entahlah, aku merasa nasihat ini relate sekali. Setelah lepas dari dunia abdi negara, Alhamdulillah aku punya banyak kesempatan untuk berteman dengan berbagai kalangan. Termasuk mereka yang jauh lebih tua dari aku. Dari mereka aku belajar banyak hal.
Terima kasih Mbak, Mas, telah membersamai kami tumbuh |
---
Aku dan suami berteman dengan pasangan suami istri yang kini telah punya 6 orang anak. Anak pertama mereka berusia 12 tahun. Usia kami terpaut kurang lebih 10 tahun. Dari pasangan ini, kami belajar banyak hal tentang 'punya anak'. Bahwasanya keinginan untuk memiliki banyak keturunan tentu harus diiringi dengan persiapan yang matang. Kita tak mau generasi muslim hanya menang di jumlah bukan? Tentu kita ingin punya banyak anak yang berkualitas.
Namun, ternyata menghandle banyak anak bukan perkara yang ringan. Konsentrasi terbagi-bagi pada berbagai urusan. Pun juga waktu dan tenaga yang barangkali tak terpenuhi untuk setiap kebutuhan.
Iya. Punya banyak anak itu baik. Namun, harus diiringi dengan kesiapan. Dan kesiapan itu bukan hanya tentang finansial, tetapi juga tentang kasih sayang. Apakah kita telah mempersiapkan diri untuk tetap setia bersama anak-anak ketika dibutuhkan? Atau jangan-jangan hari ini bahkan kita belum melakukan persiapan. Benar bahwa berteman dengan mereka yang jauh lebih tua akan membuka wawasan. Wawasan yang akan mendorong kita untuk menentukan berbagai keputusan.
Pada kesempatan yang berbeda, kami pernah mendengar curhatan sang suami kepada salah satu ustadz tentang menyembuhkan luka pengasuhan yang sudah terlanjur diterima anaknya. Di sana aku bergumam dalam hati, "Perkara punya anak itu tidak mudah. Bahkan hal seperti ini yang belum terpikir olehku saja juga sangat mungkin terjadi pada setiap pengasuhan."
Maka jujur sungguh lucu orang-orang yang menjadikan punya anak sebagai ajang kompetisi. Bahwa yang paling cepat dialah yang menang. Yang tak kunjung punya anak dialah yang kalah.
Teringat nasihat salah satu guru kami hafidzahullah dalam kajian Riyadush Shalihin yang disiarkan tiap hari. Kurang lebih begini redaksinya,
"Jadi solusinya, tetap punya keinginan untuk tetap punya anak, tapi lakukan persiapan. Karena begitu Allah takdirkan, Anda (perempuan) akan ditanya. Adapun sekedar punya anak, itu bukan prestasi, bisa jadi boomerang bagi Anda."
#jleb
Benar. Hanya sekedar punya anak tanpa persiapan bukan merupakan prestasi. Betapa banyak anak yang membuat orang tuanya menangis? Betapa banyak anak yang tidak mendoakan orang tuanya? Betapa banyak anak yang tak mau mengikuti aturan agama dan membuat orang tuanya menderita?
Tempat untuk sujud |
---
Cerita ini berhubungan dengan kisah lain yang aku alami. Suatu hari aku duduk bersama banyak ibu-ibu yang anak-anaknya telah dewasa. Yang aku tahu, semua ibu-ibu ini menyekolahkan anaknya ke pesantren. Namun, ada hal yang membuatku tersadar bahwa ibu tak akan habis memikirkan anaknya.
---
"Anak saya dulu dari SMP sudah di pondok. Di pondok dia bisa menghafal. Eh sekarang kok malah dia jadi mahasiswa di politeknik. Lingkungannya udah ga kondusif untuk mendukung dia. Saya sering mengingatkan dia untuk murajaah hafalannya. Saya bilang ke dia bahwa nanti di akhirat saya pasti akan ditanya tentang dia."
Mendengar kisah dari ibu ini, aku bisa menangkap bahwa beliau ingin anaknya kuliah di bidang agama seperti STDI Imam Syafi'i Jember. Namun, anaknya memilih masuk ranah kuliah umum.
Di sini, aku paham mengapa ibunya kecewa. Beliau telah berusaha menjaga anaknya sedemikian rupa dengan mengirimnya ke pondok, tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Namun kini, ketika anaknya dewasa, hafalan yang selama ini berusaha diperjuangkan menjadi sulit dipertahankan karena kesibukan perkuliahan. Bagaimana tidak? Tentu inilah konsekuensi ketika kuliah di ranah umum. Meneruskan keseharian kehidupan selama di pondok tentu menjadi tak mudah lagi untuk dilakukan.
---
Menjadi ibu artinya harus siap memikirkan anak bahkan sampai dewasa. Hampir semua ibu yang aku temui seperti ini. Selalu memikirkan nasib anaknya, bahkan ketika anaknya sudah dewasa. Ada seorang ibu yang pilu karena anaknya tak kunjung bertemu jodohnya. Ada ibu yang pilu karena anak laki-lakinya belum mendapat pekerjaan. Ada juga ibu yang pilu karena kehidupan anaknya yang kacau balau.
Dari sini tentu kita belajar, menjadi ibu tidak mudah bukan? Menjadi ibu adalah pekerjaan yang tak akan pernah pensiun hingga ajal menjemput. Ibu akan tetap memikirkan nasib anak-anaknya. Ibu akan tetap berusaha mendorong anaknya pada hal yang baik. Dan sudah siapkah engkau dengan peran itu? Peran yang akan membuat pikiranmu lelah untuk seumur hidupmu?
---
Sekali lagi. Sungguh aneh jika perkara punya anak dijadikan ajang kompetisi. Dijadikan ajang berbangga di hadapan mereka yang belum punya anak. Dijadikan ajang untuk menyanjung diri sendiri di hadapan mereka yang sedang berjuang punya anak.
Pertanyaannya sederhana, apakah dengan punya anak, mereka ini sudah pasti selamat dari adzab neraka? Tentu jawabannya tidak. Lalu mengapa hal seperti ini harus dijadikan ajang berbangga dan parameter keberhasilan sebuah pernikahan? Seolah-olah jika tidak punya anak maka keluarga itu tidak sempurna dan tidak bahagia. Padahal anak itu sama seperti harta. Sama-sama pemberian. Sama-sama titipan. Allah memberi kepada orang yang Dia kehendaki dan tidak memberinya kepada orang yang tidak Dia kehendaki.
Sesederhana itu sebenarnya.
Perbekalan |
---
Pada kesempatan yang lalu, ada teman suami yang sudah punya 4 anak berpesan kurang lebih seperti ini,
"Bersyukurlah karena kamu tahu teori parenting ini dan teori parenting itu sebelum punya anak. Tidak seperti saya yang baru tahu ini dan itu saat ini ketika anak pertama saya sudah SMP."
Iya. Bersyukur. Bersyukur atas semua keadaan yang Allah beri. Karena setiap takdir-Nya pasti mengandung hikmah. Ketika belum mengetahui hikmahnya, bukan berarti ia tidak ada. Kita hanya tinggal menjalani segala fase kehidupan ini dengan penuh penerimaan. Agar segala kejadian yang telah Allah tetapkan dapat kita maknai sebagai sebuah anugerah, bukan sebuah cobaan.
Lihatlah sisi positif dari setiap keadaan.
Pun nasihat untuk diriku sendiri.
---
Ditulis di Surabaya, di bawah lampu yang menghangatkan
2 Safar 1444H
Sungguh menajubkan perkara seorang muslim |
Comments
Post a Comment