Kemandirian yang Keliru

Bismillahirrahmanirrahim

Aku pernah menjadi seorang perempuan yang begitu mandiri. Dan aku rasa sejak kecil aku memang dibentuk untuk menjadi mandiri. 

Bagaimana tidak? Tidak adanya seorang laki-laki yang melindungiku ketika kecil membuat aku mau tidak mau harus bisa membela diriku sendiri. Ketika kecil, tak jarang aku lihat orang lain memperlakukan keluarga kami dengan tidak semestinya hanya karena tidak ada laki-laki dewasa di rumah kami.

Tumbuh berkembang


---

Aku beberapa tahun yang lalu adalah orang yang kesana kemari seorang diri.

Aku naik kereta sendiri, pergi dari satu bandara ke bandara lain pun juga sendiri, menjelajahi ibu kota sendiri, naik turun angkutan umum juga sendiri.

Bahkan hal yang paling aku sesalkan saat ini adalah dulu aku memperbolehkan diriku naik ojek kesana kemari untuk menunjang aktivitasku yang begitu padat di ibu kota dari satu tempat ke tempat yang lain.

---

Kalau aku pikir lagi, mungkin di mata banyak orang aku di saat itu memang sangat mandiri. Namun, dulu aku tidak menyadari bahwa kemandirianku tersebut adalah sebuah kemandirian yang keliru. 

Mengapa aku bisa berkata demikian? Karena aku membandingkan dengan diriku saat ini.

Saat ini, boro-boro naik pesawat sendiri, ke Malang naik bis atau kereta aja ngga diizinkan. Boro-boro menjelajah ibu kota, sekarang kemana-mana di dalam kota aja harus mendapat persetujuan.

Apakah ini berarti aku terkekang? Justru sebaliknya. Aku tidak dikekang, tapi aku dijaga.

Sebuah penjagaan yang dulu selama bertahun-tahun tidak aku dapatkan dari seorang laki-laki.

Maka kini aku katakan bahwa diriku yang dulu memang mandiri, tetapi kemandirianku sungguh keliru.

Kalau aku bayangkan lagi, diriku yang dulu benar-benar tidak terjaga. Naik turun KRL, lari-lari mengejar busway, bersaing menaiki angkutan umum ibu kota, naik ojek untuk memudahkan perjalanan adalah hal yang tidak sepatutnya seorang muslimah lakukan.

---

Sungguh benarlah ayat ini

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." - QS. Al-Ahzab: 33

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/9164-pahala-melimpah-bagi-muslimah-yang-tinggal-di-rumah.html

---

Jakarta adalah rumah kedua bagiku. Jakarta dan kajian-kajiannya akan selalu aku rindukan. Namun, jika dengan hidup di Jakarta artinya aku harus hidup dengan pola kemandirian seperti itu lagi, aku memilih tetap ada di sini. Di kota ini. Di tempat ini.

Karena di sini aku tak mudah tergiur keluar rumah. 

Semoga Allah memudahkan para muslimah seluruhnya untuk menjaga diri mereka masing-masing.

---

Here I'd like to tell you a short story about me several years ago 

...

Perempuan itu duduk termenung di dalam kamarnya. Hatinya rapuh. Pikirannya runtuh.
Bukan tanpa sebab, malam itu perempuan berusia 22 tahun ini bersedih dan memikirkan nasibnya selama ini. Ia sedih karena pernyataan seorang temannya di dalam grup. Tentu pernyataan ini tidak ditujukkan untuk menohoknya, tetapi, kalimat yang ia baca sungguh menusuk perasaannya.

"Aku ga bisa pulang, ga ada mahram..." kata temannya di dalam grup itu.

Grup ini adalah grup teman-teman SMA. Ia tentu kenal betul teman-teman yang telah ia kenal selama 8 tahun lamanya. Bahkan bukan hanya tentang temannya saja, ia juga tahu bagaimana kondisi keluarga mereka.
...

Pernyataan temannya sama sekali tidak ditujukan untuknya. Bahkan pernyataan itu adalah kalimat pengabaran bukan penghakiman. Namun, entah mengapa, malam itu, perempuan ini dibuat sedih dengan pernyataan ini. Ia pun duduk di kamar kosnya sambil menangisi keadaannya.

...

Di malam Ramadhan itu, ia bertanya dalam pikirannya, "Mengapa sejak kecil tidak ada laki-laki yang menjagaku? Mengapa aku tidak terjaga seperti perempuan lain di luar sana?"

Ia memandang dirinya begitu hina. Sudahlah jauh dari keluarga, tak punya sanak saudara pula di sana. Ia benar-benar tidak terjaga. 

Ia sedih mengapa ia dibiarkan kesana kemari seorang diri. Ia sedih mengapa teman-temannya memiliki laki-laki yang menjaga mereka sedangkan ia tidak. Ia sedih karena ia tidak tahu rasanya dijaga. Ia sedih dan memandang hina dirinya.

...

Namun, tak lama tangisnya terhenti. Ia sadar ia tak boleh mengutuk takdir. Ia kemudian mengingat sebuah ayat yang membuat tangisnya kembali deras mengalir.

أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

"Bukankah Allah adalah Hakim yang seadil-adilnya?" - QS. At-Tin: 8

Ayat ini tidak asing baginya. Namun, malam itu, ayat yang selama ini hanya ia baca saja benar-benar merasuk ke dalam jiwanya. Di tengah kesedihan yang tengah menghampirinya sebagai anak broken home, ia menyadari bahwa Allah adalah Hakim yang paling adil. Allah tidak mungkin menakdirkan sesuatu tanpa ada hikmah di baliknya.

Kalaulah penjagaan itu tak ia dapatkan dari seorang manusia, bukankah Allah selama ini telah menjaganya?

Dan bukankah Allah adalah Penjaga yang paling baik? Mengapa ia harus bersedih karena tidak adanya makhluk? Mengapa kebahagiaan harus ia sandarkan pada ada dan tidaknya seseorang?


Sebuah titik terang

Ia berhenti menangisi keadaannya. Malam Ramadhan yang tadinya begitu dingin itu telah menjadi hangat karena ayat ini. Ia yakin ia tidak dibiarkan sendiri. Ada Allah Ar-Rahman Ar Rahim. Allah Al Hafidz pasti menjaga tiap makhluk-Nya tak terkecuali dirinya.

---

Ditulis di Surabaya, 6 Muharram 1444H


Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!