Rindu dan Sepenggal Kisah Kemerdekaan Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Don't judge the book by the title. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk memahami apa yang aku alami.
Sore ini, untuk pertama kalinya dengan penuh kesadaran dari lubuk hatiku yang terdalam, aku mendoakan para pahlawan. Pahlawan yang muslim tentunya karena kita tidak boleh mendoakan mereka yang meninggal dalam keadaan kafir.
Bukan tanpa sebab aku melakukan itu. Sejenak mundur kebelakang, aku terharu biru meneteskan air mata ketika selesai membaca sebuah novel yang berjudul "Rindu". Jika dilihat dari judulnya, sepertinya ini adalah novel galau khas pemuda yang dimabuk cinta. Namun, jauh dari yang aku duga sebelumnya. Novel ini menggetarkan jiwa kebangsaanku sebagai orang Indonesia. Terlebih, novel ini membuat aku bangga dengan agamaku yang nilai-nilainya digunakan untuk membebaskan Nusantara.
Terharu biru |
Benar, kita tidak bisa menilai sebuah buku dari judulnya saja. Aku telah mengetahui novel ini sejak duduk di bangku kuliah ketika Pak RSU sering meminjamkan novel kepada teman-teman yang lain. Namun, apalah kata, aku tidak tertarik karena kupikir apa faidahnya membaca novel percintaan berjudul "Rindu" itu. Aku terlalu cepat menghakimi tanpa berusaha mencari tahu topik yang ada pada novel tersebut.
Novel ini menceritakan kisah perjalanan haji menggunakan kapal Blitar Holland pada tahun 1938. Ada begitu banyak kisah sejarah kemerdekaan yang disisipkan dalam novel ini. Membacanya membuat aku seperti dibawa melihat apa yang tengah terjadi. Tentang semangat kemerdekaan, tentang pengorbanan, tentang cinta dan perasaan. Ya, cinta pada bangsa dan perasaan yang kuat untuk melihatnya merdeka.
Aku sungguh terharu dengan perjuangan para ahli ilmu yang menggerakkan santrinya untuk berjuang melawan penjajah. Kalau boleh aku berkomentar, ternyata dari dulu kondisinya sama saja. Tetap ada orang-orang yang tidak suka pada ajaran kebenaran. Belanda membubarkan dengan paksa berbagai bentuk keagamaan orang Islam. Persis seperti yang dilakukan oleh suatu kelompok yang merasa terusik dengan berkembanganya dakwah Islam yang murni di negeri ini.
Dan jika aku boleh berkomentar, aku sungguh terharu dengan keislaman orang Indonesia di masa-masa itu. Entahlah, membaca novel ini semakin menguatkan hipotesisku bahwa memang dulu telah banyak orang Indonesia yang memegang ajaran Islam secara murni. Maka tak heran jika ada buku di masa kita ini yang berjudul "Buya Hamka dan Manhaj Salaf". Sebuah sumber mengatakan bahwa Buya Hamka beraqidah dan beribadah dengan mengikuti manhaj salaf.
Lihat judul beritanya |
Aku tak sanggup menahan kesedihan ketika membaca pesantren diporak-porandakan. Aku juga tak mampu membayangkan betapa beraninya umat Islam di masa itu untuk membela tanah airnya. Maka sungguh, jejak Islam tak bisa dihapuskan dari Indonesia. Karena perjuangan melawan penjajah, dikorbarkan melalui pesantren-pesantren yang ada di Nusantara.
Iya, sore ini mendoakan para pahlawan. Mereka yang tidak aku kenal satu per satu tetapi karena perjuangan mereka, dengan izin Allah, aku hidup dalam kebebasan. Mereka mungkin tak sempat melihat kemerdekaan, tetapi jiwa perjuangan mereka layak dilestarikan.
Hal lain yang membuat aku terharu biru membaca novel ini adalah karena banyaknya nilai-nilai agama Islam yang diangkat di dalamnya. Novel ini berusaha menghadirkan berbagai solusi dari berbagai masalah hidup. Tentang masa lalu yang kelam, tentang sulit memaafkan, tentang berat mengikhlaskan, tentang makna kesabaran, dan tentang menjaga diri dari kemunafikan.
Aku yakin kita semua yang hidup di bumi pernah mengalami hal itu. Jika tidak semua, paling tidak kita pernah mengalami satu atau dua hal yang dibahas dalam novel itu. Salam takzim kepada Gurutta Ahmad Karaeng yang pada akhirnya berani memimpin pasukannya untuk melawan penjajah. Berat memang melihat banyak orang berkorban nyawa, tetapi perjuangan itu adalah untuk melihat Indonesia merdeka. Tidak bisa lari dari kenyataan, di pundak seorang ulama ada beban besar untuk menggetarkan hati para pejuang. Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa.
Tak kusangka Tere Liye menuliskan nilai-nilai keislaman dalam novelnya ini. Satu hal yang membuat aku sangat terkesan adalah ketika Tere Liye berusaha menjelaskan bahwa ikut serta dalam perayaan agama lain tidak dibenarkan dalam agama kita. Jangankan ikut serta, mengucapkan saja tidak boleh. Inilah yang membuat aku kagum bahwa masih ada penulis besar yang memahami hal ini.
Demikianlah kesan yang aku dapat dari membaca novel ini. Walau begitu banyak ibrah yang bisa diambil, tetapi tetap tidak ada gading yang tak retak. Semoga kita bisa memfilter hal-hal yang sekiranya belum sesuai dengan ajaran agama kita ya.
---
Selesai ditulis ketika masuk waktu Isya
Surabaya, 28 Rabiul Awwal 1444H.
Comments
Post a Comment