Mahabbah Pekan ke-10: Kinaayah
Bismillahirrahmanirrahim
Pekan ke-10 Mahabbah bersama Ustadz Nur Fajri Ramadhan hafidzahullah dari Yayasan BISA. Pekan ini adalah pekan terakhir pembahasan Ilmu Bayan, yaitu Kinaayah.
Dari tiga pembahasan Ilmu Bayan, Tasybiih & Kinaayah termasuk haqiiqah, bukan majaaz.
Kinayah adalah lafal yang dimaksudkan darinya konsekuensi dari maknanya disertai kemungkinan juga memaksudkan makanya itu sendiri.
🌸 Konsekuensi makna diistilahkan dengan "laazimul ma'na"
🌸 Kinaayah memiliki arti "menutupi" seolah seseorang menutupi maksud ucapannya dengan tidak mengungkapkannya secara tegas seperti normalnya
🌸 Kinaayah termasuk "haqiqah" bukan "majaaz" sebab makana haqiqinya tidak ditiadakan
Contoh kinaayah sederhana dalam Bahasa Arab:
زيدٌ كثيرُ الرماد
Ar-Ramaad artinya "Abu". Makna asal kalimat di atas ialah "Zaid banyak abunya". Namun, laazimul ma'naanya adalah "Zaid dermawan".
Dahulu dapur dipenuhi abu setelah memasak. Orang disebut "Katsirur Ramaad" (banyak abu) karena orang ini sering memasak makanan lebih dari kebutuhan keluarganya, sebab makanan tersebut dimasak untuk tetangga atau tamu.
Orang yang mengatakan kalimat di atas memang memaksudkan laazimul ma'naanya, tetapi tidak menutup kemungkinan memang benar-benar di dapur Zaid sangat banyak abu.
Contoh lain:
أمنةُ نَؤُوْمُ الضُحَى
Makna asal kalimat di atas adalah "Aminah sering tidur di waktu dhuha." Namun laazimul ma'naanya ialah "Aminah wanita kaya yang hidup santai."
Umunya wanita di waktu dhuha akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, atau malah mungkin bekerja di luar rumah. Namun, Aminah punya pembantu yang mengerjakan pekerjaan rumah serta suaminya sudah memberinya nafkah yang sangat cukup. Oleh karena itu, Aminah bisa menikmati waktu dhuha dengan tidur semata.
Orang yang mengatakan kalimat di atas memang memaksudkan laazimul ma'naanya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa Aminah benar-benar sering tidur di waktu dhuha.
Masjid Nabawi. Pict from instagram. |
Contoh di dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat ke-119
هَا أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ ۚ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
"Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata:"Kami beriman"; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ruas jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati."
"Menggigit ruas jari" adalah ungkapan kekesalan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa benar-benar menggigit ruas jari.
Contoh lain pada Surat Al-A'raf ayat ke-149
وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata: "Sungguh jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi."
Terjemahan leterleknya adalah "Dan ketika kepala dijatuhkan/ muka dijatuhkan ke tangan mereka...". Maksudnya adalah ungkapan penyesalan. Dan ayat ini memang maksudnya lebih ke makna ini. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa memang Bani Israil benar-benar menjatuhkan kepala ke tangan mereka.
Contoh lain pada HR. Muslim No. 1480
أما أبو جهمٍ فلا يِضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ
"...adapun Abu Jahm, maka ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya..."
Maksudnya adalah suka memukul.
Contoh lain pada HR. Al-Bukhaariyy No. 6474
من يَضْمَنْ لي ما بينَ لَحْيَيْهِ و ما بين رجليه أضمَنْ له الجنَّة
"Barangsiapa menjamin bagiku apa yang di antara dua tulang pipinya dan apa yang di antara kedua kakinya, maka aku akan menjamin baginya surga."
Maksudnya adalah mulut
---
Kinaayah memiliki beberapa keunggulan dibanding ungkapan biasa:
- Lebih indah
- Lebih memantik imajinasi
- Lebih kuat pesan yang tersampaikan
- Lebih sopan (terkait hal yang kurang nyaman disampaikan secara eksplisit/vulgar)
- Dapat menyampaikan dua informasi sekaligus
---
Sebuah catatan faidah setelah belajar balaghah sejauh ini:
Bukan Ilmu Balaghah yang salah ketika ia disalahgunakan oleh Non-Ahlussunnah wal Jamaa'ah.
Semakin kita jago dalam hal Balaghah dan jujur dengan keyakinan kita yang shahih maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa ternyata aqidah ahlussunnah wal jama'ah itu selaras dengan seluruh kaidah-kaidah kebahasaan.
Bagaimana tidak? Bukankah aqidah ahlussunnah wal jama'ah itu persis dengan aqidah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat dan generasi awal umat Islam? Bukankah Al-Qur'an diturunkan bilisanin arabiyyin mubin? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling fasih berbahasa Arab.
Maka orang yang berpaham ahlussunnah wal jama'ah sangat layak menjadi pakar-pakar bahasa. Harus ada ahlussunnah wal jama'ah yang menjadi pakar besar dalam setiap cabang ilmu, termasuk ilmu kebahasaan.
---
Namun, kenyataannya ada tokoh bahasa Arab yang harus kita akui bahwa ilmunya tinggi dan jasanya banyak tetapi menyimpang dalam hal aqidah, yaitu:
- Al-Faarisiyy (w. 377 H)
- Ibnu Jinniyy (w. 392 H)
- Az-Zamakhsyariyy (w. 538 H)
Al Haafidz As Suyuuthiyy mengatakan bahwa Ibnu Jinniyy dan Abu 'Aliyy Al Farisiyy sama-sama mu'tazilah.
Al Haafidz Adz Dzahabiyy mengatakan bahwa Az Zamakhsyariyy termasuk tokoh besar yang mendakwahkan ajaran mu'tazilah.
Di antara contoh bagaimana ketiga tokoh tadi menyalahkan kaidah bahasa Arab untuk mendukung pemahaman mereka adalah:
- Al Faarisiyy mengomentari hadits "Kalian akan melihat Rabb kalian" dengan perkataan "Kalian akan mengetahui Rabb kalian" atau "Kalian akan melihat ilmu tentang Rabb kalian".
- Ibnu Jinniyy mengatakan bahwa Allah menciptakan perbuatan kita secara majaaz bukan haqiqiy. Pun Allah memiliki ilmu secara majaaz, bukan haqiqiy.
- Pendapat beliau jika Allah menciptakan perbuatan kita secara haqiqiy bukan secara majaaz maka Allah menciptakan kekufuran dong? Ahlussunnah wa jama'ah mengimani bahwa betul Allah menciptakan perbuatan kekufuran itu tetapi Allah tidak meridhai kekufuran. Adapun konsep mu'tazilah, Allah tidak menciptakan kekufuran.
- Menurut mu'tazilah, Allah tidak memiliki sifat wajib berupa ilmu. Menurut mereka Allah mengetahui dengan Dzat-Nya bukan dengan ilmu-Nya. Bukan dengan sifat yang bernama ilmu.
- Az Zamakhasyariyy menjadikan sifat istawaa-Nya Allah di atas 'arsy
- Az Zamakhasyariyy meyakini pelaku dosa besar yang belum bertaubat sebelum wafat padahal masih muslim akan kekal di neraka
- Az Zamakhasyariyy menolak keyakinan Allah dapat dilihat di akhirat oleh mukminin
- Az Zamakhasyariyy juga meniadakan sifat yadain bagi Allah
- Al Imaam Bahaauddiin As Subkiyy mengatakan bahwa Az Zamakhasyariyy sering memanipulasi kaidah balaghah untuk membela akidahnya
- 'Abdul Jabbar (w. 415 H) mengatakan bahwa ayat yang sesuai dengan akidah mu'tazilah dibawa kepada dzahirnya sementara yang tidak sesuai dianggap majaaz
Sebagian kecil Ahlussunnah wal jama'ah ada yang melawan argumen Non-ahlussunnah wal jama'ah itu dengan menolak eksistensi majaaz sama sekali, baik dalam Al-Qur'an atau bahkan dalam bahasa Arab.
Namun, hampir semua Ahlussunnah wal jama'ah tetap mengakui eksistensi majaaz dalam Al-Qur'an apalagi dalam bahasa Arab. Mereka berhasil membuktikan bahwa sekalipun ayat/hadits mengandung majaaz, konsep majaaz tetap tidak boleh disalahgunakan sebagai argumen akidah menyimpang.
Yang salah bukan majaaznya, tetapi penyalahgunaannya & kesalahan memahaminya.
Yang salah bukan balaghahnya, tetapi penyalahgunaannya & kesalahan memahaminya.
Yang salah bukan sharf & nahwu, tetapi penyalahgunaannya & kesalahan memahaminya.
Al Imaam 'Utsmaan Ad Daarimiyy mengatakan bahwa Ahlussunnah wal jama'ah pun menguasai konsep majaaz hanya saja tidak menyalahgunakannya seperti non-Ahlussunnah wal jama'ah.
Al Imaam Ibnu Qutaibah menyatakan bahwa keliru dalam memahami majaaz membuahkan takwil yang keliru.
Al Imaam Az Zarkasyiyy (w. 749 H) & Al Imaam Ath Thurthuusyiyy (w. 520 H) menyatakan bahwa berluas-luas dalam majaaz secara semena-mena menjerumuskan kepada kesesatan.
Lima bantahan terhadap penyalahgunaan balaaghah oleh Non-Ahlussunnah wal jama'ah:
- Seluruh ulama ijmaa' bahwa hukum asal teks itu adalah haqiqah, tidak boleh dipahami sebagai majaaz kecuali mustahil dipahami sebagai haqiqah.
- Jika kita memberi kemudahan orang untuk mengatakan "Ini majaaz" maka akan terbuka ta'wil para filsuf yang mengatakan tentang urusan akhirat. Yaitu mereka mengatakan tentang firman Allah, "Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai..." bahwasanya di akhirat tidak ada pohon, tidak ada sungai, hal ini hanya perumpamaan saja.
- Jika ini dibiarkan tentu akan merusak agama
- Seluruh ulama berijma' bahwa sifat Allah adalah haqiqah, bukan majaaz.
- Ahlussunnah wal Jama'ah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang ada di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Bahwasanya itu adalah haqiqah dan bukan majaaz
- Ahli bid'ah mengatakan bahwa jika kita menetapkan sifat Allah secara haqiqah maka kita menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya
- Ayat dan hadits untuk sebuah sifat sangat banyak dan beragam variasinya beserta taukid dan pengulangan sehingga pastilah ia haqiqah, bukan majaaz
- Kata Imam As Subki, "Dan maksud kami membawakan banyak dalil adalah karena satu atau dua ayat masih mungkin ditakwil, tetapi jika banyak ayat maka yang dimaksud pasti secara dhahir dan dugaan-dugaannya tertolak"
- Terlebih As Salaf Ash Shalih sudah bersepakat untuk tidak melakukan takwil
- Imaamul Haramain (w. 478 H) mengatakan bahwa ijma' Shabat dan Tabi'in untuk tidak menakwil ayat/hadits sifat adalah dalil yang absolut bahwa maknya yang terkandung adalah makna haqiqi, bukan majaaz
- Contoh Ummu Salamah radhiyallahu 'anha tidak menakwil ayat istiwa-nya Allah di atas 'arsy
- Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma mengingkari orang yang kesal ketika hadits sifat dibacakan
- Lagipula ayat/hadits sifat berupa kinaayah. Hal ini diakui sendiri oleh Az Zamakhasyariyy. Kinaayah itu haqiqah, bukan majaaz.
- Jelas pula bahwa kinaayah meskipun dimaksudkan laazimul ma'nanya, tetapi makna aslinya tetap dapat dimaksudkan sekaligus
- Imam As Subki merinci bahwa jika bisa dimaksudkan makna aslinya maka haqiqah, bukan majaaz
- Asy Syaikh Ibnu 'Utsaimin mengatakan "Kullu syai-in haalikun illaa wajhahu" selain memberi makna bahwa amal yang ikhlas akan kekal pahalanya, juga tidak bertentangan dengan penetapan sifat wajh bagi Allah
- Al Qadhi Abu Ya'la beberapa kali menyebutkan laazimul ma'na dari suatu nash sifat setelah juga menetapkan sifat Allah
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang "Bal yadaahu mabsuuthataani" juga bermakna "Allah Maha Pemurah". Ini kinaayahnya. Namun, juga bisa berupa makna asli yaitu tangan yang terbentang sesuai kebesaran Allah Ta'ala. Tidak sama dengan terbentangnya tangan makhluk-Nya
- Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan tentang "Fainnakan bi a'yuninaa" juga bermaksud "Karena engkau dalam pengawasan kami". Ini kinaayahnya. Namun, juga bisa berupa makna asli bahwa Allah punya mata sesuai kebesaran-Nya. Mata Allah tidak sama dengan mata makhluk-Nya
- Al Imam Abu Hanifah (w. 150 H) yang juga seorang tabi'in mengatakan bahwa jika pemaknaan ayat/hadits sifat berujung pada peniadaan sifat, maka itu tidak dibolehkan, bahkan itulah pendapatnya mu'tazilah
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Al Imam Al Khaththabiyy (w. 388 H), & Al Khatib Al Baghdadiyy (w. 463 H) mengatakan bahwa mahzab salaf ialah menetapkan adanya sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam ayat/hadits (isbatu wujuud) tanpa merinci, membagaimanakan, menyerupakan, ataupun menganggapnya sebagai anggota tubuh Allah
Jika ada yang bertanya, bagaimana mungkin ahlussunnah wal jama'ah menetapkan sifat Allah seperti yadain secara haqiqah tetapi juga menolak yadain disebut sebagai anggota tubuh bagi Allah?
Bukankah yadain makna haqiqahnya adalah anggota tubuh?
Hal ini dijawab oleh Prof. Muhammad Dasuqi (guru besar Balaghah di Al-Azhar) dalam kitab beliau "Qaraainul Lughah wan-Naqu wal-'Aqli 'alaa Hamli Shifatillahi 'alaa Dzhaahirihaa duunal Majaaz."
Yadain yang makna haqiqinya ialah "Anggota Tubuh" adalah yadain ketika diidhafahkan kepada manusia. Adapun ketika diidhafahkan kepada Allah, maka makna haqiqahnya berbeda.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: Generasi salaf dan para imam berpegang teguh mengimani nama & sifat Allah secara haqiqah meskipun tidak memahami haqiqahnya.
Al Imam Ibnu Balban (w. 1083 H) mengatakan bahwa sebagaimana Ahlussunnah wal Jama'ah mengimani dan menetapkan adanya Dzat Allah tanpa mengetahui haqiqah-Nya, begitu pula keimanan dan penetapan terhadap nama dan sifat Allah.
Al Hafidz Al Ashbahaaniyy (w. 535 H) mengatakan bahwa kita memang diperintah mengimani sejumlah hal yang tidak kita ketahui hakikatnya seperti malaikat, hari akhir, surga dan neraka.
Ibnu Jinniyy mengklaim bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah sesat akibat lemah dalam Bahasa Arab. Memang demikian, kelemahan dalam bahasa Arab lah yang dapat menjadi sebab terjatuh dalam kebid'ahan. Namun, bukan Ahlussunnah wal Jama'ah yang lemah bahasa Arabnya, tetapi justru Non-Ahlussunnah wal Jama'ah yang lemah atau sengaja melanggar kaidah demi membela kebathilan sehingga nampak seolah tak menguasai bahasa Arab.
Al Imam Asy Syafi'i juga mentakan bahwa kebodohan dan perselisihan merebak di tengah umat akibat meninggalkan Bahasa Arab.
Al Hasan Al Bashriyy rahimahullah mengatakan bahwa mempelajari ilmu-ilmu Bahasa Arab menjaga dari salah paham dalil sebab takwil yang dilakukan Non-Ahlussunnah wal Jama'ah terjadi karena mereka tidak menguasai Bahasa Arab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan tidak menakwil ayat/hadits sifat juga sudah benar menurut ulama yang melakukan takwil.tahrif. Jika begitu maka kebenaran mazhab salaf disepakati. Maka berarti dengan mengikuti akidah generasi salaf lah umat Islam bersatu, bukan dengan melakukan takwil/tahrif.
---
Catatan pribadi kami yang masih banyak kekurangan. Kami baru bisa mencatat semampu kami. Jika ingin mencari catatan balaghah lain, bisa klik tag/label di bawah yang bertulis "Balaghah".
---
Selesai dicatat di Surabaya, 17 Jumadil 'Ula 1444H
Comments
Post a Comment