Parenting Delusion: Hal yang Dianggap Ilmu Parenting, padahal Bukan

Bismillahirrahmanirrahim

Dalam era keterbukaan informasi, seringkali kita tak kesulitan untuk mencari informasi yang kita inginkan. Namun, kita kesulitan menyaring informasi hingga membuat penuh pikiran.

Hal ini berlaku dalam segala hal. Parenting salah satunya.

Belajar parenting adalah bentuk pertanggungjawaban yang kita siapkan kepada Allah atas amanah yang barangkali tak lama lagi akan kita emban. Namun ternyata, di zaman ini, terlalu banyak informasi membuat kita juga sering hilang arah hingga tak terkoneksi kembali dengan diri kita yang seutuhnya. Kita sulit menetapkan batasan yang memang menjadi kebutuhan kita.

---

Berikut ini adalah penjelasan tengang Parenting Delusion dari Ustadz Abdul Kholiq hafidzahullah.

Ustadz Abdul Kholiq merupakan salah satu ustadz Ahlussunnah wal Jama'ah di Semarang. 

Beliau adalah seorang praktisi pendidikan yang saat ini mengampu di Sekolah Karakter Imam Syafi'i (SKIS) Semarang. Saat ini beliau menjadi pengisi kajian parenting di Radio Mutiara Qur'an.

Hal yang membuat kami yakin untuk belajar kepada beliau adalah selain karena pemahaman beliau Insyaa Allah sesuai dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama'ah, beliau juga sudah berkecimpung lama dalam dunia parenting. Anak-anak beliau sudah besar dan beliau mempraktekkan apa yang beliau sampaikan. Walk the talk.

So, here we go!

Catatan kajian parenting bersama Ustadz Abdul Kholiq tentang Parenting Delusion.

---

Sebelum membahas parenting delusion, kita akan membahas tentang ilmu terlebih dahulu. 

Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Sesuatu dinamai sebagai ilmu jika berkaitan dengan tanda-tanda. Ayat/tanda yang menjadi dasar bagi ilmu ada dua: 
  1. dari Al-Qur'an dan Sunnah
  2. dari alam semesta. 
Ilmu yang didasari dari tanda tersebut adalah sebuah kebenaran.

Banyak orang salah menafsirkan ilmu. Banyak yang menganggap sesuatu adalah ilmu padahal bukan ilmu. Sesuatu dianggap ilmu padahal hanya sebatas teori atau pendapat atau pengetahuan saja. 

Ilmu dan pengetahuan itu berbeda. Ilmu harus berdasarkan tanda-tanda kebenaran sedangkan pengetahuan belum berdasar tanda-tanda kebenaran. Oleh karena itu, apabila sesuatu dianggap ilmu tetapi tidak berdasar Al-Qur'an dan Sunnah atau tanda-tanda alam semesta, maka hal tersebut dikatakan sebagai science delusion.

---

Apa itu delusion? Yaitu meyakini sesuatu bahwa itu benar padahal itu sebenarnya tidak benar. 

Berbeda dengan halusinasi. Halusinasi itu melihat sesuatu yang tampak nyata padahal itu tidak nyata. Kita hendaklah berhati-hati dengan penelitian ini dan itu. Jika hal penelitian tidak berdasar pada dua dasar tadi maka itu sifatnya adalah delusi. Sifatnya masih pengetahuan, belum ilmu.

Demikian juga dengan parenting. Ilmu parenting adalah tanda-tanda kebenaran yang digunakan orang tua untuk mengasuh anaknya. 

Syarat sesuatu dinamakan sebagai ilmu adalah jika sifatnya abadi. Selamanya berlaku. Walaupun jika ilmu tersebut berasal dari tanda-tanda alam semesta. Syarat kedua agar dikatakan sebagai ilmu maka ia harus universal. Cocok untuk semua orang.

Oleh karena itu, dalam fase hyper parenting ini, jika syarat keilmuan, yaitu abadi dan menyeluruh tidak terpenuhi, maka inilah yang disebut parenting delusion. Menjadi penting bagi kita untuk mempelajari Al-Qur'an dan Sunnah lalu kita memperhatikan tanda-tanda alam. 


إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal." - QS. Ali Imran: 190


Orang yang berilmu adalah orang yang mampu memahami tanda-tanda dan ayat-ayat. 

Oleh karena itu, jika ada kabar yang sampai kepada kita, walau kita merasa cocok, itu belum tentu ilmu parenting. Bisa jadi itu adalah parenting delusion. Bisa jadi tidak universal dan bisa jadi tidak abadi. Bisa jadi adalah pengalaman pribadi yang tidak cocok untuk orang lain. 


Photo byrockwool on Unsplash


Banyak sekali hal yang merupakan delusi, contohnya Teori Darwin. Teori Darwin sifatnya tidak bersumber pada tanda-tanda kebenaran, maka siapapun boleh membantahnya. 

Demikian juga dalam ilmu parenting, jika orang mengklaim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan ini dan itu ketika mendidik anak, ternyata secara tanda-tanda alam maupun dalil tidak ada, itu bukan ilmu. Itu adalah parenting delusion

Jika kita terkena serangan parenting delusion, kita justru tidak akan bahagia dalam mendidik anak-anak kita, kita malah akan gelisah, galau, dan kesusahan dalam mendidik anak. Padahal mendidik anak adalah sebuah kebahagaiaan. Jika tidak bahagia, kemungkinan besar metode yang digunakan bukan berdasarkan ilmu, tetapi berdasarkan persangkaan.

Q & A


1. Bagaimana menuntaskan egosentris untuk anak usia 11 tahun yang masih sering bermain di waktu belajar?

Usia penuntasan egosentris harusnya adalah 0 - 7 tahun. Jika lebih dari itu belum tuntas, itu pertanda fase pendidikan sebelumnya belum berhasil. Ada tiga langkah untuk mengatasi hal tersebut:

(1) Empati 

Proses menyerap. Dekati anak tersebut, gali potensinya, tuntaskan egosentrisnya dengan kedekatan, coba tanya apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. 

Jika yang ingin dia lakukan tidak bertentangan dengan syari'at, maka perbolehkanlah. Namun, jika sebaliknya, kita jelaskan bahwa hal itu tidak baik. 

Terkait metode pendekatan yang tepat bagaimana, orang tua yang lebih tahu tentang anaknya. Anak diakui potensinya agar anak merasa dia memiliki kemampuan. Jika ia merasa orang tuanya sayang kepadanya, kemungkinan besar akan mudah diketahui potensinya (dgn dia bercerita kepada orang tuanya tanpa rasa malu atau takut). Jika sudah demikian, maka proses empati telah berhasil. 


(2) Imajinasi/idea

Proses mengolah. Membantu anak merumuskan cita-cita, membantu memilihkan jurusan, membantu anak ingin belajar apa. Jika anak sudah cocok, proses berikutnya adalah dengan menyajikannya atau proses solusi.


(3) Solusi

Jika sudah ketemu potensinya, proses belajarnya bisa dengan magang contohnya. 


Tentu saja metode ini berbeda untuk anak yang di bawah atau di atas 11 tahun.



2. Bagaimana agar terhindar dari parenting delusion?

(1) Harus belajar Al Qur'an dan As Sunnah karena ini adalah pondasi pokok. Bagaimana kita tahu bahwa itu adalah parenting delusion jika kita tidak tahu tanda-tanda dan tidak tahu dalil Al-Qur'an dan Sunnah?

(2) Mempelajari ilmu yang dasarnya berasal dari tanda-tanda alam semesta. Dengan mengetahui hal ini, kita punya filter. Tidak semua dari barat itu bertentangan dengan Islam. Walaupun ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh orang barat, jika sesuai dengan tanda-tanda alam, maka bisa kita ambil. Ini adalah ilmu karena berlaku di semua tempat dan berlaku selamanya.

Jika dua tanda ini kita kuasai, apapun yang datang ke kita, kita bisa mengetahui apakah itu ilmu parenting atau parenting delusion.



3. Bagaimana supaya ketika kita memberi hadiah kepada anak tidak terkesan seperti suap?

Pemberian hadiah akibat melakukan sesuatu, tiap umur ini berbeda-beda aturannya.

(1) 0 - 7 th

Tidak mengapa kita memberi hadiah pada anak yang ada dalam fase penumbuhan keimanan. Tujuannya untuk menumbuhkan imaji positif anak. Agar anak paham bahwa ternyata orang tua adalah orang yang baik, sayang kepada dia, itulah tujuan pemberian hadiah itu. 

Anak pada usia ini belum tamyiz. Dia belum paham bahwa dia diberi hadiah karena telah melakukan sesuatu. Yang dia tahu, pihak yang memberinya hadiah adalah orang yang baik.


(2) 7 - 10 th: 

Masa penumbuhan rukun ibadah, yaitu roja' (berharap). Anak hendaklah sudah diberi harapan tentang Surga, yaitu jika melakukan kebaikan maka dia akan masuk Surga, ini adalah masa-masa tamyiz. 

Maka pemberian hadiah harus selalu dikaitkan kepada Allah Ta'ala. Seandainya dia melakukan shalat lalu kita ingin memberi dia hadiah, maka kita kaitkan, "Nak, jika kamu shalat, semoga Allah menggerakkan hati ibu untuk memberi hadiah kepada kamu." 

Jangan katakan, "Jika kamu shalat, ibu akan memberi kamu hadiah." Dikhawatirkan dia akan melakukan sesuatu semata-mata karena mendapatkan hadiah. Padahal kita ingin mendidik anak agar melakukan sesuatu karena berharap pahala kepada Allah Ta'ala.


(3) Setelah 10 th - usia baligh

Di usia ini baiknya pemberian hadiah karena anak melakukan kebaikan sudah mulai dikurangi. Karena fase ini adalah fase penumbuhan khauf (takut). Menumbuhkan rasa takut kepada Allah. 

Hadiah hendaknya diberikan bukan karena prestasi ibadah, tetapi karena prestasi dari ilmu-ilmu umum. Misal dia bisa membuat proyek kecil-kecilan. Jika diberi hadiah karena ibadah, sangat membahayakan keikhlasan anak tersebut dalam beribadah.


(4) Baligh

Sudah bukan anak-anak. Hendaklah diperlakukan layaknya orang dewasa. Termasuk hadiah berupa pujian hendaknya tidak diberikan di hadapan banyak orang karena akan mempengaruhi keikhlasan. 



4. Apakah tepat jika anak perempuan usia 20 tahunan kuliah? Padahal lebih baik dia segera menikah agar terhindar dari fitnah

Jika kita maknai kuliah adalah menuntut ilmu, maka itu adalah kewajiban. Kuliah tidak harus keluar rumah. Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi orang Islam. Namun, jika dimaknai bahwa kuliah harus keluar kota, maka itu baiknya dihindarkan. Tempat yang terbaik bagi perempuan adalah rumah. Namun, menuntut ilmu adalah wajib.

Jika ada ibu yang ingin kuliah bagaimana? Tidak masalah. Apapun namanya, asal ilmu yang dipelajari bermanfaar, terjaga dari fitnah, maka itu dianjurkan. 

Adapun ibu yang meninggalkan anak-anaknya untuk kuliah, perlu diketahui bahwa Allah Ta'ala berfirman, "Wahai manusia jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." 

Tugas mendidik anak itu ada pada orang tua. Oleh karena itu, lebih baik ibu tersebut di rumah. Mendahulukan yang lebih penting daripada yang penting. Apalagi jika kuliahnya hanya untuk mencari gelar atau meninngkatkan karir, maka sebaiknya ditinggalkan.



5. Bagaimana jika ada anak usia 6 tahun yang suka dan ingin diceritakan terus tentang cerita hari hisab dan siksa neraka? Anak tersebut semakin semangat ibadahnya dan semakin baik akhlaknya dengan cerita-cerita tersebut. Apakah itu parenting delution?

Secara konsep yang dicontohkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 0 - 7 adalah penuntasan egosentris. Anak diberikan imaji-imaji positif seperti Surga. Hal-hal yang menimbulkan imaji negatif pada anak hendaklah dihindarkan pada usia 0 - 7 tahun. 

Namun, pembatasan usia ini adalah pembatasan standar. Ada yang lebih cepat dan lebih lambat. Bisa jadi ada anak yang akselerasi. Yang seharusnya 7 tahun baru tuntas egosentrisnya, ada yang mungkin usia 5 tahun sudah tuntas. Akhirnya nalarnya mulai tumbuh. Anaknya yang nalarnya sudah tumbuh, sudah saatnya untuk diberi informasi tentang neraka. 

Jika rajinnya ibadah anak tersebut karena ketakutan, sedangkan cintanya belum tumbuh, dikhawatirkan dia beribadah hanya dominan sisi khauf saja. Adapun roja' nya belum tumbuh. Yang seperti ini baiknya dihindari.

Adapun jika roja' nya sudah tumbuh, lalu diceritakan tentang neraka, hal seperti ini tidak mengapa. 


Kesimpulan:

Tentang parenting delusion ini memang harus dikembalikan kepada ayat. Ayat di sini maksudnya adalah tanda, baik itu Al-Qur'an & Sunnah maupun tanda-tanda dari alam. Apabila kebenaran hal tersebut berlaku abadi dan universal, maka hal tersebut dikatakan dengan ilmu.

Namun, walaupun banyak orang mengatakan itu ilmu, tetapi tanda-tanda di Al Qur'an dan As Sunnah tidak ada, dan tanda-tanda dari alam juga tidak kuat, maka itu dikatakan sebagai parenting delusion atau hoax. 


---

Jadi, itu tadi catatan kami  tentang parenting delusion. Dengan mengetahui hal ini, semakin membuat kami yakin untuk mengambil ilmu parenting dari narasumber-narasumber yang terpercaya saja. Yang sudah jelas bahwa beliau - beliau itu memiliki ilmu agama dengan pemahaman yang benar.

---

Selesai dirangkum dan dirapikan di Jambangan, Surabaya
21 Dzulhijjah 1444H

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!