Patah Hati Akademik Part 2

Bismillahirrahmanirrahim

Sudah sepuluh tahun sejak kejadian itu. Kejadian ketika aku -dengan izin Allah- meraih rangking 1 paralel di SMA Negeri terbaik di Surabaya. Kejadian yang dengannya orang-orang mengatakan aku tak perlu susah payah tes tulis karena aku pasti diterima jalur undangan. Dan kejadian yang membuat aku jatuh tersungkur karena ternyata aku ditolak dari perhelatan besar yang bernama SNMPTN itu.

Entah apa yang terjadi. Sore ini aku merasakannya lagi. 

Aku menulis ini sambil menangis. Mengingat ternyata aku tidak ditakdirkan untuk kuliah di kampus yang aku inginkan. Iya, aku ditolak jalur undangan. Segala rapot, medali, penghargaan dan pengalaman organisasiku selama SMA tidak membuat aku lolos sehingga aku harus berjuang di jalur tulis kala itu.

Barangkali, kesalahan terbesarku saat itu adalah karena aku terlalu yakin akan lulus jalur undangan. Aku terlalu percaya diri bahwa aku tidak perlu belajar untuk tes tulis karena telah merasa aman. Namun, aku lupa. Ada kuasa Allah yang bisa mentakdirkan segalanya. Aku tidak mempersiapkan diri dengan penolakan itu. Aku tidak siap jatuh. Aku tidak siap menerima kenyataan bahwa perjuanganku tiga tahun di SMA kandas karena aku tidak lolos SNMPTN.

Aku kala itu kalut luar biasa. Aku tidak fokus belajar untuk tes tulis karena sakit hati. Aku kecewa melihat teman-temanku yang santai-santai di kelas dan suka mencontek diterima jalur undangan. Aku kala itu marah. Iya, aku marah. Namun, kepada siapa? Dan apakah kemarahanku itu wajar?

Aku kala itu tidak sanggup menjadi bahan omongan banyak orang. Seolah mereka bahagia atas ketidakberhasilanku.

Apa yang kamu tangisi?


Aku ingin merangkul diriku yang barangkali belum sembuh 100% sejak kejadian itu. Aku tahu ada bagian dari diriku yang masih kecewa karena tidak bisa masuk ITB. Padahal, apa yang aku cari di ITB? Entahlah, aku juga tidak tahu.

Dan padahal, bukankah aku telah diterima di UI dan UGM? Dua kampus yang tak kalah gengsi dengan ITB. Namun, mengapa masih ada rasa tak nyaman dalam hatiku ketika mengingat kejadian itu? Mengapa aku masih kecewa ketika tidak ditakdirkan menjadi bagian dari kampus gajah?

Apakah ini tentang luka di masa lalu? Yang membuat aku haus pengakuan dan membatasi keberhasilan jika hanya diterima ITB saja?

Jujur, aku tidak mengerti. Apa yang sebenarnnya aku tangisi. Dan apa yang sebenarnya membuat aku begitu terluka dengan kejadian-kejadian ini.

---

Padahal, di STAN aku mendapat banyak nikmat yang tidak aku minta sebelumnya. Nikmat belajar Bahasa Arab, nikmat mengenal Manhaj Salaf, nikmat duduk di kajian ustadz-ustadz kibar, nikmat punya kesempatan skill mengajar, nikmat langsung punya gaji sendiri setelah lulus kuliah, dan berbagai nikmat lain yang tidak pernah aku sangka sebelumnya.

Namun, apa yang membuat aku kurang bangga menjadi alumni STAN? Apa karena STAN diasosiasikan dengan pajak? Apa karena STAN adalah perguruan tinggi kedinasan? Atau apa karena aku tidak meraih gelar sarjana dari sana? Dan mungkin karena aku tidak lagi 'diakui' oleh alumni STAN lainnya?

Entahlah, aku tidak mengerti.

---

Jauh di dasar hatiku yang terdalam, aku masih menginginkan ITB. Walau aku tidak tahu, apa yang melatarbelakanginya. Sepuluh tahun berlalu dan ternyata luka itu masih di sana. Luka itu belum hilang, hanya tertutup dengan kejadian lain hingga ia kemudian terpendam.

Hari ini, luka itu muncul tanpa permisi. Menggerogoti jiwa yang sedang sensitif sekali. Ada rasa ingin bertannya tentang semua ini, apakah aku tidak cukup baik untuk menjadi salah satu mahasiswa di salah satu kampus terbaik negeri ini?

---

Aku tahu, bagi orang lain aku memang lebay sekali. Namun, kecintaanku pada sekolah memang menjadi-jadi. Bagi orang lain sekolah dimanapun sama. Namun, bagiku, ada rasa yang membuatnya berbeda.

Sekolah menjadi tempat yang begitu aku cintai karena aku merasa diterima di sana. Aku merasa sangat dihargai dengannya. Benar, aku memang suka lari dari kenyataan, dan hiburanku adalah sekolah. Sekolah dengan segala kerumitannya membuat aku sejenak lupa dengan ujian-ujian hidupku. 

Maka menjadi begitu wajar jika aku mencintai sekolah. Menjadi begitu bisa diterima logika ketika aku kecewa belum bisa S2. Karena aku belum menemukan legiatan lain yang menghargai aku sebagaimana sekolah. Aku belum menemukan aktivitas lain yang membuat aku merasa begitu nyaman sebagaimana sekolah.

---

Sore ini aku menangis. Menangisi hal yang ternyata belum selesai sepenuhnya. Aku sadar ujian orang berbeda-beda. Dan PR ku saat ini adalah membasuh segala luka yang terjadi untuk bisa sembuh seutuhnya.

---

Ditulis di hari ke-121
23 Muharram 1445H

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!