Renungan tentang Ibu

Bismillahirrahmanirrahim

Ada nggak sih yang tiba-tiba terpikir tentang orang tuanya lalu merasa iba dan kemudian menangis? Entah mengapa aku akhir-akhir ini demikian. Mungkin pengaruh hamil sehingga aku jadi lebih sensitif. Atau bisa jadi karena aku menyadari orang tuaku sudah semakin tua dan aku tidak tahu sampai kapan bisa berjumpa.

Aku tiba-tiba merasa kasihan dengan ibuku. Pernah suatu hari aku melihat foto ibuku ketika masih muda. Mungkin sekitar usia 18 tahun. Di foto itu, ibuku pasti tidak akan pernah menyangka bahwa kehidupan beliau di masa depan begitu berliku. Di foto itu, ibuku juga mungkin tidak pernah menyangka akan bercerai di kemudian hari. Di foto itu, ibuku juga mungkin tidak pernah menyangka bahwa kehidupan sebagai orang tua tunggal begitu keras hingga membentuk karakter beliau saat ini.

My mother and I



Ibuku punya ayah ibu yang utuh. Ayah ibuku adalah seorang polisi. Sedangkan ibu dari ibuku adalah seorang guru. Kehidupan ibuku begitu normal untuk orang di masa itu.

Orang tua ibuku meninggal di tahun 1995. Menjelang aku lahir ke dunia. Kehidupan rumah tangga ibuku mulai terlihat retaknya sekitar tahun 1999. Ketika bahkan aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan kehidupan ini.

Aku pernah berpikir, jika orang tua ibuku masih hidup kala itu, akankah mereka mengizinkan ibuku berpisah? Akankah mereka rela melihat anak perempuannya beridiri di atas kaki sendiri membesarkan kedua orang anak? Entahlah. Aku tidak tahu. Namun, aku rasa, tidak ada orang tua yang rela melihat anak perempuannya berjuang seorang diri di kota besar seperti Surabaya.

Kakek dari ayahku saja juga sebenarnya sangat terpukul dengan perpisahan ini. Beliau adalah guru agama yang tentu mendapat tempat di mata masyarakat. Dan tentu kita tahu, di pandangan masyarakat Indonesia, perpisahan adalah sebuah aib. Kakekku jatuh sakit bertahun-tahun hingga harus cuci darah. Beban hidup beliau di akhir hayat memang begitu banyak kala itu, salah satunya ketika melihat bapak ibuku berpisah.

Di usiaku yang kini menginjak 27 tahun ini, aku mulai merasakan batu-batu kehidupan yang memang terjal. Aku mulai merasakan bahwa memang yang namanya ujian itu tidak terduga bentuknya. Bisa datang kapan saja dan dimana saja. Tidak peduli kita siap atau tidak.

Dan aku, jujur, mungkin tidak bisa sekuat ibuku. Benar ibuku begitu keras karakternya yang mana terkadang aku merasa terganggu dengan hal itu. Namun, di balik semua itu, ada berbagai hantaman kehidupan yang menghampiri ibuku hingga menjadikan beliau seperti saat ini. Dan seharusnya aku bisa memakluminya. Karena jika aku yang diuji seperti itu, belum tentu aku bisa melakukan yang lebih baik dari apa yang ibuku lakukan.

Kadang aku pun juga tidak mengerti. Mengapa ibuku bisa sampai punya rumah di Surabaya. Kalau dipikir-pikir, gaji ibuku tidak akan cukup untuk beli rumah di Surabaya. Teman-teman ibuku saja rumahnya di Sidoarjo atau Mojokerto karena mencari rumah dengan harga yang lebih murah. Apa mungkin ini adalah kemudahan dari Allah setelah begitu banyak ujian yang menghampiri ibuku? Yang aku tahu Allah memang Maha Penyayang kepada para hamba-Nya.

Aku tahu semua ujian yang menimpa kita di dunia pasti ada andil dosa kita di sana. Tak terkecuali denganku dan orang tuaku. Dulu ibuku memang tidak dekat dengan agama. Ibuku banyak tidak tahu hukum-hukum agama. Dan aku jujur merasa kasihan jika mengingat hal itu. Barangkali ketidaktahuan beliau ini mengantar beliau melakukan kesalahan satu ke kesalahan lain hingga Allah memberi ujian untuk menghapuskan kesalahan-kesalahan itu. Namun, aku jujur merasa kasihan jika di hari tua beliau seperti ini beliau masih diuji karena kesalahan-kesalahan di masa lalu itu. Aku memohon kepada Allah semoga Allah mengampuni ketidaktahuan ibuku di masa lalu dan tidak menimpakan bala' kepada beliau karena sebab itu.

Aku yakin Allah Maha Adil. Dan Allah pasti melihat usaha kami untuk berubah menjadi hamba yang lebih baik.

---

Semoga Allah merahmati kedua orang tuaku. Di balik semua kekurangan mereka, mereka tetaplah orang yang harus aku cari keridhaannya setelah keridhaan suamiku.

---

Selesai ditulis ketika Adzan Maghrib
28 Safar 1445H

Siapa naruh bawang di sini


Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Assalamu'alaikum Baby H!