Perbuatan Hati Tentu Akan Dibalas
Bismillahirrahmanirrahim
Siang ini, aku mencoba mendefinisikan apa yang ada di hati. Semoga ketika membacanya lagi di kemudian hari, bukan penyesalan yang akan aku temui.
Pasca dinyatakan lulus LIPIA Jakarta 5 bulan yang lalu, aku sengaja tidak mencari informasi daftar ulang karena memang tidak diperbolehkan suami untuk berangkat. Siapa sangka, beberapa waktu yang lalu aku dimasukkan gurp WA untuk daftar ulang di semester depan yang Insyaa Allah akan dimulai tanggal 15 Januari 2024.
Aku sengaja mendiamkan grup itu begitu lama. Tahukah kamu rasanya ingin menggapai suatu kesempatan yang sudah kamu perjuangkan tetapi di saat yang sama kamu tahu kamu tidak bisa mengambilnya? Tahukah kamu perasaan tersebut?
LIPIA Jakarta adalah mimpiku. LIPIA Jakarta adalah impianku. Dan kini, ketika kesempatan itu terbuka, aku harus merelakannya. Karena memang tidak semua kesempatan harus kita terima.
Berat. Sungguh berat rasanya. Jujur, rasa ini lebih berat daripada harus meninggalkan UI dan UGM 10 tahun yang lalu. Ketika aku yang bukan siapa-siapa ini Allah mudahkan untuk diterima di LIPIA Jakarta, tetapi sepertinya kesempatan ini adalah bentuk ujian bagiku untuk merelakan dan mengikhlaskan.
Ternyata, merelakan sesuatu tidak semudah yang aku pikirkan.
Entahlah, aku tidak tahu apakah aku memang pengecut atau kurang bisa melobi orang-orang di sekitarku. Namun, yang jelas, punya suami saja adalah nikmat yang luar biasa untukku. Untuk aku yang sejak kecil telah kehilangan keluarga yang utuh.
Apakah aku mau menorehkan masa kecil dengan kondisi orang tua yang terpencar-pencar untuk anakku? Padahal aku mampu memilih untuk tetap tinggal satu atap bersama suamiku.
Iya, aku baru tahu rasanya memilih antara cita-cita dan keluarga. Dan ternyata, itu tidak mudah.
Barangkali ini semua terjadi agar aku tahu apa itu menata hati. Bahwa selama ini mungkin aku terlalu meninggi hingga hatiku kotor akan pujian-pujian dan label duniawi. Bukankah semua perbuatan hati juga akan dibalas? Bukankah telah banyak contoh di sekitarku akan balasan yang tidak main-main itu?
Ada seorang nenek berusia hamir 80 tahun yang kini sakit tak berdaya. Dulu beliau adalah orang terpandang hingga mendapat penghargaan karena dianggap sebagai ibu teladan. Semua anak beliau sarjana. Suami beliau dihormati dimana-mana. Entah apa yang terjadi, jika aku tidak salah, kondisi ini membuat beliau semakin ingin diakui dan telihat di mata dunia.
Bertahun-tahun kemudian, masalah datang silih berganti. Beberapa anak beliau tidak akur. Ada anak beliau yang berulah hingga rumah terjual. Ada anak lainnya yang juga berulah hingga tak jelas arah hidupnya. Suami beliau pun meninggal dalam kondisi sakit hingga harus cuci darah. Sungguh kehidupan yang mungkin tak pernah beliau bayangkan ketika 'berjaya' dulu.
Perasaan ingin diakui dan terpandang seringkali akan membutakan mata hati. Perasaan ini akan mendorong kita memilih dan melakukan hal yang bahkan mungkin mengorbankan keluarga kita sendiri. Iya, barangkali inilah yang ingin Allah ajarkan kepadaku. Bahwa dengan merelakan kesempatan kuliah di LIPIA Jakarta, aku akan tercegah dari kemungkinan untuk semakin tinggi hati. Agar aku tidak mengesampingkan hal yang jauh lebih utama dibanding label-label duniawi.
Kalaulah benar niat utamaku adalah belajar, bukankah belajar bisa dimana saja? Tidak harus di LIPIA Jakarta kan? Tidak harus sampai berjauhan dengan suami bukan? Dan tentunya tidak harus mengesampingkan peranku sebagai ibu yang telah lama aku tunggu ini kan?
Hari ini mungkin aku hanya bisa menangis merelakan ini terjadi. Namun, Insyaa Allah akan ada saat aku menyukuri keputusan ini.
Kalaulah memang menurut Allah aku pantas, pasti Allah akan bukakan jalannya. Tidak perlu bagiku untuk mencari panggung di hadapan manusia. Jika memang jalanku, pasti akan Allah mudahkan. Kalau bukan bagian dari takdirku, pasti akan Allah luputkan.
Pena telah diangkat dan catatan telah mengering.
Semoga Allah pilihkan tempat belajar lain yang lebih baik bukan hanya untukku, tetapi juga untuk keluargaku. Tempat yang aku tetap bisa menimba ilmu tanpa harus mengesampingkan kewajiban dan peran utamaku.
---
al-faqirah ila maghfirati Rabbi
16 Jumadil Tsani 1445H
Comments
Post a Comment