Cerita Masa Postpartum: Trauma Menyusui

Bismillahirrahmanirrahim

"Aku sayang Hafshah, tapi aku kesakitan..."

Begitu kataku beberapa hari yang lalu kepada suami sambil menangis. Aku tidak pernah menyangka bahwa episode ini akan hadir kepada kami saat ini.

---

Dulu ketika temanku bercerita bahwa setelah melahirkan dia pernah sampai tidak ingin menyusui anaknya, aku tidak bisa relate. Bagaimana mungkin seorang ibu tidak mau memberi ASI kepada darah dagingnya? Memangnya apa yang terjadi pada si ibu hingga ia tak mau memberi ASI kepada bayinya? Pertanyaan-pertanyaan yang sungguh membuatku bingung.

Namun, aku mulai mengerti ketika mengalaminya sendiri. 

Alhamdulillah, aku tidak diuji dengan ASI yang seret. ASI ku tumpah ruah biidznillah. Bahkan aku sampai bingung bagaimana cara mengatasi ASI yang sering menetes ini. Ketika ada orang mengirim ASI booster kepadaku, aku jadi bingung harus bagaimana. 

Namun, ternyata ujianku ada pada hal lain. Ujianku adalah puting lecet. Yang mana sungguh hal ini membuatku berulang kali menangis kesakitan. Aku sampai trauma ketika mendengar Hafshah menangis minta nen. Aku trauma dengan rasa sakitnya. Aku trauma dengan lecetnya yang belum sembuh.

Pekan lalu ketika berusaha mencari solusi ke Klinik Laktasi RSIA Cempaka Putih Permata, aku sampai berpikir untuk menyusukan Hafshah ke kakak iparku yang juga sedang punya bayi. Iya, aku kesakitan. Sampai-sampai aku tidak bisa berpikir rasional.

Klinik Laktasi 

Aku tahu Hafshah sama sekali tidak boleh menjadi korban atas rasa sakit ini. Dan yang aku lakukan adalah tetap menyusui Hafshah dalam kondisi kesakitan. Walau kadang ketika aku sudah tidak sanggup dengan rasa sakitnya, aku memberi Hafshah ASIP lewat pipet. Maafkan ibu ya Nak :')

Aku juga bertanya pada banyak orang bagaimana posisi perlekatan yang benar. Harus aku akui bahwa ini memang kesalahanku yang terlalu menyepelekan proses menyusui. Selama ini, aku fokus belajar terkait kehamilan dan melahirkan. Aku belajar ini belajar anu agar bisa melahirkan normal dan minim trauma. Aku ikut kelas ini kelas anu tetapi aku tidak belajar menyusui secara serius. 

Alhamdulillah aku memang Allah izinkan melahirkan normal. Bahkan H+3 lahiran aku sudah bisa jalan biasa, jongkok, dan ndeprok kesana kemari. Dan Alhamdulillah aku memang sudah membaca buku dan menonton video terkait menyusui. Namun, persiapanku kurang. Aku tidak tahu bahwa proses menyusui yang salah bisa sampai setraumatis ini. Aku takut rasa sakit ini akan berlangsung selama dua tahun lamanya.

Rasanya, aku telah menyiapkan banyak hal yang berkaitan dengan pasca melahirkan secara serius selain menyusui. Aku menyiapkan clodi, baju bayi, bumbu masak untuk masa postpartum, daftar menu untuk recovery, bahkan menu MPASI yang sungguh masih jauh kedepan tetapi aku tidak memikirkan proses menyusui secara sungguh-sungguh.

Bahkan aku baru membuka pompa ASI beberapa hari setelah Hafshah lahir. Aku juga baru tahu bahwa payudara bisa begitu mengeras jika ASI nya tidak dikeluarkan ketika sudah kesakitan.

Maka sepertinya wajar saja jika ini semua terjadi. Akibat ulahku sendiri. Hingga pada akhirnya hari ini aku menangis di Klinik Laktasi karena merasa tidak bisa juga. Aku bingung harus bagaimana.

Apakah aku termasuk mengalami postpartum depression? Entahlah. Aku tidak tahu.


List keambisan yang ternyata kurang ambis


"Tolong bantu ingetin aku dong, ujian apa aja sih yang udah aku lewati?"

Di tengah rasa sakit yang melanda, aku hanya ingin diingatkan tentang ujian-ujian yang dulu hadir dan kini sudah tidak berarti apa-apa lagi. Iya, aku hanya ingin diingatkan bahwa rasa sakit ini hanya sementara saja. 

"Kamu udah melewati sinusitis, berobat ke dokter karena PCOS selama bertahun-tahun, punya atasan yang kurang baik di Bali, itu semua sudah terlewati..."

Ga ada ujian yang berlangsung selamanya kan? 

"This shall pass kan?"

Aku ingin momen menyusui Hafshah menjadi momen yang membahagiakan bagi kami berdua. Dan aku tidak ingin melihat Hafshah cepat besar karena aku ingin menikmati detik demi detik bersamanya. 

Iya, dialah bayi yang kami tunggu dan kami perjuangkan. Karena dia telah berjuang menyusu dengan baik, maka aku harus berjuang melewati masa sulit ini dengan rasional.

Kado dari Ummu Aisyah 💖


"Emang ibuk dulu ga kesakitan?" tanyaku pada ibuk.

"Ya awal-awal sakit, lama-lama ngga sakit lagi," jawab ibuk.

Aku rasa ini adalah soal jam terbang. Aku belum mahir perlekatan karena aku baru menjadi ibu. Aku belum pro posisi yang nyaman karena aku masih belajar.

Sama seperti dulu aku pernah menangis ketika awal kuliah di STAN karena tidak mengeri debit-kredit. Sebagai anak IPA, aku merasa Akuntansi sulit sekali. Namun, perlahan aku paham Akuntansi biidznillah. Dan bertahan dengan IP terbaik di kelas berturut-turut selama kuliah di STAN. Hadza min Fadhli Rabbi

Sama seperti dulu aku pernah takut menikah karena tidak bisa masak. Aku overthingking karena tiap kali masak rasanya ga enak dan aku tidak mau menghabiskannya. Namun, perlahan karena mencoba dan terus mencoba, aku sampai bisa memasak dengan enak walau tanpa micin dan gula biidznillah. Hal yang sungguh sangat mustahil bagiku dulu yang benar-benar ketakutan kalau disuruh masak.

Dan juga sama seperi aku dulu yang ga paham Nahwu-Sharaf. Udah belajar dan dihafal masih aja lupa kaidah. Namun, biidznillah karena sering diulang, Allah izinkan aku untuk paham perlahan-lahan. Hal yang rasanya dulu sulit terwujud bagi aku yang bukan anak pondok ini.

Pas lihat ini udh curiga ini buat aku. Ternyata bener hehe. Jazakillahu Khayran Mbak Vadila 💖


Kalau aku berhenti mencoba maka selamanya aku tidak akan bisa. Pilihannya adalah hadapi saja. Mau sakit kek, mau pedih kek, ya hadapi aja. Semoga menjadi sebab penggugur dosa dan pintu pahala kesabaran di salah satu Bulan Haram ini.

---

Selesai ditulis menjelang tidur
Bersiaplah untuk hari esok yang kita tidak tahu kejutan apa yang akan terjadi
7 Rajab 1445H

Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Parenting Delusion: Hal yang Dianggap Ilmu Parenting, padahal Bukan

02. Pendidikan Karakter Nabawiyah 0-7 Tahun