Catatan Menjelang Persalinan: Ekspektasi yang Ketinggian
Bismillahirrahmanirrahim
Terlalu banyak ekspektasi. Mungkin itu yang mewakili diriku saat ini. Aku pernah berharap anakku lahir di tanggal cantik. 23-12-23. Namun, tak ada tanda-tanda kontraksi di tanggal itu. Pun juga aku pernah berharap anakku lahir di tanggal 1 Januari agar mudah menghitung umurnya. Namun, sudah lewat dua hari dari tanggal 1, belum ada tanda-tanda kontraksi yang menghampiri.
Ekspektasiku bukan hanya terkait tanggal, tetapi juga terkait proses persiapan lahiran yang (tadinya) kupikir akan mudah jalannya. Jujur saja, akhir Desember lalu aku sempat kesal dengan keadaan. Aku kesal karena di zaman ini, mau lahiran normal saja effortnya besar sekali. Aku kesal karena nakes-nakes zaman ini banyak yang bermudah-mudahan SC sehingga bagi yang mau lahiran normal harus mencari provider yang pro dengan lahiran normal. Dan mungkin rasa kesalku itu bertambah karena saat kontrol kemarin, aku merasa lelah di perjalanan PP rumah dan Papilio yang memang jaraknya lumayan jauh untuk ukuran ibu hamil.
Aku ingin melahirkan dengan sedikit trauma, maka aku memilih Papilio dengan harapan agar saat proses lahiran nanti mereka bisa membantuku mewujudkan lahiran yang aku inginkan. Namun, tak bisa aku pungkiri, jarak Papilio yang sebenarnya tidak terlalu jauh bagi orang biasa menjadi sangat jauh bagi ibu hamil, kadang membuat aku berpikir "Gini banget ya mau lahiran normal." Ternyata perjuangan menjadi orang tua tidaklah mudah. Ternyata memasuki masa tidur miring kanan atau kiri sama-sama ga enak jugalah tidak mudah. Padahal ini baru awal. Padahal bayinya belum lahir. Apa kabar ibuku yang sudah menghadapi aku selama 27 tahun ke belakang? Jadi ngerti deh bahwa ga boleh sekali-kali berkata "Uh" kepada orang tua.
Aku hanya berpikir, "Kok orang dulu lahiran tinggal brujal brujul aja?" Ga ada yang namanya power walk, prenatal exercise, latihan nafas, optimalisasi posisi janin, induksi alami, pijat perineum, pijat oksitosin, latihan gymball, dll. Mengapa saat ini lahiran jadi hal yang sepertinya sulit sekali sampai segala detailnya perlu diperhatikan? Mengapa hal yang seharusnya adalah fitrah perempuan ini menjadi hal yang rumit?
Mengapa orang dulu lahiran di rumah dan baik-baik saja? Dan mengapa orang zaman sekarang mau lahiran di rumah ditakut-takuti? Entah dengan alasan peralatan di rumah yang tidak lengkap atau alasan lainnya.
Mengapaaaaa?
Entahlah. Barangkali memang belum saatnya aku mendapatkan jawabannya.
Aku tidak tahu ini benar atau tidak, tetapi rasanya ada korelasi antara jumlah anak dengan keribetan akan proses lahiran yang terjadi di zaman ini. Nenenkku punya lima anak dan melahirkan di rumah. Alhamdulillah, beliau baik-baik saja. Nenenknya Mbak Kamilah melahirkan 13 anak di rumah dan baik-baik saja. Namun sekarang? Untuk melahirkan satu anak saja harus aku akui printilan biayanya banyak. Yang menjadi pertanyaanku adalah "Apakah printilan ini dan itu memang perlu? Tidak bisakah kita seperti orang dulu yang tidak perlu banyak keribetan ini itu?"
Di satu sisi aku bingung tetapi di sisi lain aku takut. Iya, aku takut jika tidak ikut segala proses yang disarankan nakes di zaman ini maka proses lahiranku tidak akan berjalan lancar. Maklum, karena aku belum punya pengalaman.
Dan siang ini tadi aku menangis. Menangis karena pada akhirnya aku mengakui bahwa aku adalah manusia biasa yang lemah tak berdaya.
Sampai usia kandungan saat ini, bayiku belum optimal posisinya. Qadarullah bayiku ada di posisi occiput posterior (yo kan? opo maneh iki? jal googling en dewe). Dan yang membuat aku sedih adalah pernyataan salah satu bidan yang mengatakan bahwa jika bayi ada di posisi ini, bisa jadi tidak bisa lahiran normal alias harus SC.
Aku telah berusaha bergerak begini dan begitu agar bayiku optimal posisinya, tetapi qadarullah, Allah belum menghendaki keinginaku itu terwujud.
Sampai pada akhirnya aku menangis dan menyadari bahwa diberi kehamilan saja adalah nikmat yang luar biasa. Nikmat yang bisa jadi belum dirasakan oleh orang lain yang punya riwayat kesehatan yang sama denganku. Harusnya aku tidak banyak menuntut begini dan begitu.
Aku hanya bisa berusaha. Aku hanya bisa melakukan upaya terbaik. Aku hanya bisa mengoptimalkan yang bisa aku optimalkan. Aku hanya bisa berusaha mencari prenatal triner untuk membantuku mengoptimalkan posisi bayi. Aku hanya bisa berusaha bergerak sebagaimana yang disarankan agar keinginan ini terwujud. Namun, jika Allah berkehendak lain, aku bisa apa selain menerima?
Bukankah besarnya pahala tergantung pada besarnya kesulitan?
Barangkali prosesku yang tidak mudah ini (jika dibandingkan orang dulu) menjadi jalan pahala yang akan memperberat timbanganku nanti.
Hari ini aku jadi paham mengapa anakku tidak lahir di tanggal-tanggal yang aku inginkan tadi. Karena ternyata itu adalah untuk kebaikan kami sendiri. Jika dia lahir dalam kondisi yang tidak optimal, entah apa nanti yang akan terjadi. Ternyata aku masih diberi waktu untuk bersabar dan berjuang lebih baik lagi.
Semoga Allah mengampuni aku yang kemarin-kemarin masih jumawa. Masih berpikir bahwa proses lahiranku akan lancar karena aku sudah rutin olahraga dan makan makanan yang thayyib. Aku kembali disadarkan bahwa aku hanya manusia biasa. Yang bisa aku lakukan hanya doa dan usaha. Masalah berhasil tidaknya, hanya Allah yang tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Yaa Rabb, izinkan aku melahirkan tanpa merepotkan orang-orang terdekatku.
Ditulis di malam hari yang seharusnya adalah jadwal induksi
22 Jumadil Akhir 1445H
Comments
Post a Comment