Anakku Filter Terbaikku

Bismillahirrahmanirrahim

Fokus adalah hal yang rasanya mulai hilang dari manusia zaman ini. Saking banyaknya informasi, tak jarang hidup kita penuh distraksi. Tanpa sadar pikiran kita bising informasi. Dan tak sadar, diri kita takut ketinggalan akan tren kehidupan terkini.

Banyaknya kajian dan kelas seringkali membuat kita tergiur untuk mengikuti semuanya. Seakan-akan semuanya kita butuhkan saat ini juga.

Namun, sadarkah bahwa hal itu tak baik untuk diri kita?

---

Dulu ketika awal menikah, tepatnya di tahun 2020, suamiku pernah menasihatiku untuk tidak ikut terlalu banyak kelas. Hal ini rasanya wajar ia lakukan karena saat itu aku mengikuti sekitar delapan kelas dalam waktu yang bersamaan.

Namun, rasanya sulit bagiku untuk melepas kelas-kelas itu. Terlebih, jiwa mengumpulkan ilmu masih sangat melekat pada diriku.

"Terlalu banyak kelas akan membuat lupa untuk menaruh perhatian pada kebersihan hati."

Dan memang benar demikian adanya. Terlalu banyak kelas akan membuat diri kita sibuk hingga lupa muhasabah. Apalagi jika kelasnya berupa kelas-kelas ilmu (konten) yang butuh pemahaman dan hafalan. Tanpa disertai hati yang bersih, biasanya ilmu-ilmu itu tidak akan bertahan lama atau bahkan kita jadi salah dalam bersikap.

Betapa banyak ikhwah pengajian yang kasar pada muslim lainnya? Betapa banyak yang ngaji bertahun-tahun tetapi suka merendahkan orang lain? Dan betapa banyak yang kajian kemana-mana tetapi tidak hikmah dalam bersikap?

Apakah salah kajiannya? Tentu tidak. Namun, salah kita sebagai penuntut ilmu yang tidak menaruh perhatian lebih pada kebersihan hati. Juga salah kita yang kurang bisa mengukur diri. Kalau pada akhirnya ilmu-ilmu itu hanya berakhir di catatan dan otak, bukankah akan menimbulkan sikap yang tidak bijak dalam hidup bermasyarakat?

"Kalau aku ga nikah sama kamu, kayaknya aku ga akan suka kajian tentang akhlak dan adab. Kayaknya aku akan terus-terusan ikut kajian ilmu (yang berupa pengetahuan) dan menyepelekan kajian tentang kebersihan hati."

---

Beberapa tahun terakhir, Alhamdulillah dengan izin Allah, aku mulai suka mengikuti kajian tentang adab dan akhlak seperti kajian Riyadush Shalihin - Ustadz Nuzul dan kajian Tadzkiratus Sami' - Ustadz Nuzul juga. Namun, tetap saja, jiwa mengumpulkan ilmuku sepertinya belum hilang 100%. Kalau ada kajian offline, rasanya ingin hadir semua, rasanya ingin ikut semua. Padahal sering kali catatannya tidak aku murajaah. Astaghfirullah, dasar aku.

Setelah melahirkan Hafshah, tentu saja aku tidak bisa bebas kajian kesana kemari lagi. Hafshah masih begitu terikat padaku. Dan aku tidak mungkin membawa Hafshah ke tempat kajian karena usianya belum tiga bulan.

Namun, jujur saja, yang aku rasakan adalah hati yang lebih tenang. Kalau ada info kajian, aku tidak bingung mau datang atau tidak karena ya aku belum bisa datang hehe. Bulan kemarin aku hanya datang satu kajian saja, yaitu kajian yang memang benar-benar aku prioritaskan untuk datang. Kajian Sirah Sahabat - Ustadz Fadlan di Masjid Al Hikmah Gayungsari Surabaya. Walhasil, rasanya otakku tidak terlalu penuh. Informasi yang aku butuhkan ada pada kadar yang pas. Yang mana hal ini membuat aku merasa jauh lebih baik.

Iya, anakku membuat aku memfilter mana kajian yang benar-benar aku prioritaskan dan mana yang bukan.

---

Hafshah -dengan izin Allah- juga membantu aku memfilter mana makanan yang baik untukku dan mana yang tidak. Tahukah kalian ujung dari drama BB Hafshah yang seret kemarin? Alhamdulillah aku menemukan akar masalahnya. Ternyata BB Hafshah sulit naik walau sudah nenen banyak adalah karena aku anemia. Tahu dari mana? Baca catatan kelas postpartum dari Wholistic Goodness.

Setelah aku coba minum suplementasi zat besi dan tetap makan ati, Alhamdulillah BB Hafshah naik banyak. Kehadiran Hafshah membuat aku tahu bahwa tubuhku kurang darah. Hal yang sama sekali tidak aku perhatikan selama ini.

Pun juga demikian ketika aku pusiang sangat sekitar dua pekan yang lalu. Ternyata busui yang merasa sangat pusing adalah tanda kurang air. Padahal aku sudah minum air sangat banyak. Sekali lagi, kehadiran Hafshah membuat aku tahu bahwa tubuhku teriak-teriak minta air. 

Dan beberapa hari terakhir, jari-jariku terasa kaku. Ternyata gejala demikian itu adalah karena kurang kalsium. Tubuhku meronta minta kalsium tetapi aku tidak memperhatikannya selama ini. Baru aku ketahui ketika menjadi busui.

---

Ternyata benar apa yang Mbak Vidya katakan.

"Our children are our best guru, our best remedy."

"Jadi untuk alasan apapun misal kita harus menyesuaikan pola makan kita, misalnya saya,
'gara-gara saya nyusuin saya jadi nggak bisa makan nasi' karena anak saya nggak bisa
kalau saya makan nasi langsung malam bangunnya berkali-kali, langsung pupnya delay, jadi
di case saya harus menghindari nasi.

atau 'gara-gara hamil atau gara-gara saya breastfeeding saya jadinya nggak bisa pakai krim
muka yang biasanya saya pakai' atau 'gara-gara saya hamil dan breastfeeding saya jadi
nggak bisa nonton lama-lama karena saya harus istirahat tepat waktu, saya harus makan
tepat waktu'.

intinya apapun itu kalau kita harus adjusting our diet, our lifestyle atau kita harus
menghindari makanan tertentu untuk/gara-gara anak kita, tolong dipahami bun
sesungguhnya itu bukan kita, kita nggak pernah berkorban untuk mereka, bukan kita yang
berkorban untuk mereka.

Itu sesungguhnya mereka yang pasang badannya untuk kita, untuk menunjukkan kepada
kita how to heal our own body, mereka pasang badannya mereka untuk menunjukkan
bagaimana caranya supaya kita bisa menyembuhkan badan kita sendiri, jadi bukan kita
berkorban, nggak pernah Bun kita tuh berkorban, 'aku berkorban tidak makan nasi untuk
anakku'  itu nggak.

Kalau sampai anak kita nggak bisa nih makan nasi atau nggak bisa kita makan telur,
sebenarnya mereka cuma nunjukin yang duluan udah nggak bisa makan nasi itu diri kita
sendiri, pencernaan kita emang nggak bisa mencerna nasi, pencernaan kita nggak bisa
mencerna telor, pencernaan kita emang nggak bisa mencerna susu, makanya karena
pencernaan kita nggak bisa cerna makanan-makanan itu akhirnya makanan-makanan itu
partly digested, atau tidak dicerna dengan baik/undigested.

Dan ketika masuk ke dalam darah kita, ketika masuk ke dalam ASI kita, yang ketika partikel
dari jenis makanan tersebut tidak tercerna dengan baik, ketika masuk ke dalam darah dan
ASI kita, habis itu ASI kita masuk ke dalam badannya bayi kita, bayi kita yang
pencernaannya memang masih developing, memang masih belum rapat-rapat, belum intake
pencernaannya, dia kemasukan suatu partikel makanan yang partly digested atau yang
undigested well, dia akan menimbulkan gejala di badannya.

Karena kalau emang di badannya Bunda-Bunda semua itu makanan udah tercerna dengan
baik, tidaklah mungkin ketika masuk ke dalam badan anaknya itu jadi menimbulkan gejala,
jadi Bun untuk semua makanan yang anak mu tidak bisa cerna lewat ASImu, itu sebenarnya
dirimu yang tidak bisa cerna terlebih dahulu."


Anak akan menunjukkan hal apa saja yang perlu kita perbaiki. Dan jujur saja, sepertinya aku harus mencoba berhenti makan nasi karena BAB Hafshah terhambat beberapa hari. 

Apakah itu berarti sebenarnya aku tidak bisa makan nasi? Tentu saja. Namun, aku mengabaikan sinyal-sinyal tubuhku selama ini. Padahal jelas-jelas perutku kembung tiap kali makan nasi. 

---

Kehadiran Hafshah membuat aku tidak bisa lagi lama-lama buka instagram. Bahkan balas chat WA pun rasanya sulit. Iya, rasanya sulit sekali pegang HP. Hal yang semestinya sudah aku lakukan dari dulu tetapi baru benar-benar aku lakukan karena 'dipaksa' oleh keadaan.

---

Tulisan ini aku catat sebagai pengingat bahwa anakku adalah anugerah luar biasa. Kehadirannya membuat aku mengenal diriku lebih jauh lagi. Kehadirannya membuat aku tahu apa yang aku butuhkan dan apa yang tidak.

Ditulis di penghujung sore
7 Sya'ban 1445H



Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Parenting Delusion: Hal yang Dianggap Ilmu Parenting, padahal Bukan

02. Pendidikan Karakter Nabawiyah 0-7 Tahun