The Unspoken - Tumbuh Tanpa Bapak

Bismillahirrahmanirrahim

Beberapa waktu yang lalu aku bertemu beberapa anak SD yang sedang olahraga di Taman Jangkar. They looked so excited to see Hafshah. Aku berbicara banyak hal dengan mereka, mulai dari apa pelajaran favorit mereka, jam berapa mereka ke sekolah, mereka sarapan atau tidak, dll. Sampai pada akhirnya aku bertanya, apakah bapak ibu mereka sama-sama bekerja atau hanya bapak mereka saja yang bekerja.

Di tengah perbincangan yang asyik itu, ada seorang gadis kecil yang mengatakan bahwa ia tidak punya bapak.

Aku menatapnya dalam-dalam. Ia mengatakan itu dengan wajah polos. Anak sekecil itu telah kehilangan bapaknya untuk selamanya. Dan seketika aku teringat bagaimana dulu aku tumbuh dan menjalani hidup tanpa sosok bapak.

Hafshah dan finger food favoritnya


Hari Sabtu lalu aku melakukan konsultasi online ke salah satu praktisi GAPS dan holistik. Tujuan konsultasi ini awalnya adalah untuk mencari tahu mengapa BB anakku susah naik. Aku merasa GAPS yang aku jalani mungkin ada yang keliru sehingga hasilnya belum sesuai ekspektasi. Namun, di sana lah satu per satu connected dots itu terungkap. Alih-alih banyak membahas soal kesehatan, aku justru mendapat jawaban atas berbagai gejolak psikis yang aku hadapi.

Unworthy. Itulah yang aku rasakan selama ini. 

Perasaan tidak berharga yang termanifestasi ke berbagai bentuk hingga tidak aku sadari. Perasaan ini tumbuh karena qadarullah aku tumbuh di keluarga yang tidak utuh yang mana dengan berbagai kejadian di dalamnya aku tumbuh dengan rasa tidak pantas yang menjadi-jadi. 

Hanya Allah yang tahu mengapa karya ini ada di muka bumi


Aku jadi tahu alasan mengapa dulu ketika kerja di Kemenkeu, aku sering merasa tidak pantas ketika diantar pakai sopir kantor. Merasa itu fasilitas yang berlebihan untukku. 

Aku jadi tahu mengapa aku mudah tersinggung ketika aku tidak dilibatkan alias diperlakukan berbeda oleh seseorang. Ternyata perasaan itu hadir karena rasa ketidakberhargaan saat tidak dilibatkan itu semakin meraung-raung. Ia meminta ruang untuk diselesaikan.

Dan aku juga jadi mengerti mengapa aku over achiever sejak kecil. Aku meraih ini meraih anu. Mendapat penghargaan ini penghargaan anu. Iya, karena jauh dari lubuk hatiku yang terdalam, rasa ketidakberhargaan itu bertengger di sana. Aku mencari penghargaan dan validasi manusia untuk menutupi itu semua.

Aku dengan segala yang terjadi ternyata berdampak besar pada masalah-masalah kesehatan yang hadir saat ini. Mind body soul. Karena sejatinya ketiga hal ini tidak bisa dipisahkan dan akan selalu saling berkaitan. Ketika terjadi sesuatu di satu hal, jangan heran jika hal lain pun akan mengalami gejala.

2024 adalah salah satu tahun terbaikku. Karena di sana lah aku menyandang status sebagai ibu


Kisah ini aku tulis bukan untuk menyesali hal yang telah terjadi. Namun, justru menyelesaikan hal yang butuh diselesaikan. Walaupun rumit. Walaupun berat. Dan walaupun tidak mudah.

Aku hari ini adalah seorang ibu dari seorang anak yang butuh dibesarkan oleh ibu yang baik-baik saja. Maka perjuanganku ini bukan untuk kebaikan diriku sendiri, tetapi untuk anakku, untuk suamiku, dan untuk keluarga besarku.

"Dan ketetapan Allah adalah hal yang pasti terjadi."

Yang terjadi biarlah terjadi. Yang telah berlalu akan menjadi pelajaran di kemudian hari. Namun hidupku hari ini dan besok perlu aku perjuangkan. Dan luka ini perlu aku selesaikan. Sebelum merembet kemana-mana. Sebelum masalah kesehatan ini menjadi-jadi.

Dan hanya kepada Allah sajalah aku adukan semua kisah yang tidak bisa aku tuliskan di sini. Semoga Allah menolongku untuk sembuh. Semoga Allah menjaga anakku dari segala keburukan yang bisa jadi muncul ketika aku belum selesai dengan segala gejolak ini.

---

Ditulis menjelang adzan Subuh
1 Rajab 1446H


Comments

Popular posts from this blog

Ikhtiar Persalinan Normal pada Anak Pertama

Doa Kami dalam Namamu

Mendidik Tidak Mendadak - Ustadz Abdul Kholiq Hafidzahullah