Jika Allah Mengabulkan Doaku Seperti Yang Aku Minta

Bismillahirrahmanirrahim

Pukul setengah sembilan malam di sini dan aku ingin menulis di sini. Menumpahkan isi kepala yang ya... barangkali akan lebih lega jika disimpan di mari.

Aku ingat di usia 20-an awal aku ingin menikah muda. Aku berkespektasi menikah di usia 21 tahun yaitu tepat setelah lulus kuliah. Mengapa? Salah satunya karena aku sakit. Yang aku tahu kala itu, beberapa nakes menyarankan aku segera menikah agar sakit hormonal imbalance ini bisa diobati lebih jauh. Namun, apa yang terjadi? Segala gejolak kehidupan datang satu per satu hingga aku depresi. Mimpi menikah di usia 21 tahun itu pupus. Harapan itu sirna. Aku dihadapkan pada kenyataan (yang kala itu menurutku sangat pahit) bahwa aku harus meninggalkan Jakarta dan memulai hidup baru di Bali karena telah mentandatangani siap ditempatkan dimana saja.

Putriku yang senang ketika hujan turun


Long story short, Allah mengizinkan aku menikah di akhir usia 23 tahun dengan seorang teman sekolah yang telah lama tak aku ketahui kehidupannya. Yang mana kemudian setelah menikah aku jadi menyadari satu hal: "Jika Allah mengabulkan doaku seperti yang aku minta, apa jadinya aku nanti?"

Kesadaran ini muncul karena kala itu, sekitar 1,5 tahun setelah aku menikah, ada publik figur yang berpisah di usia muda. Iya, usia muda adalah usia yang barangkali susah mengelola emosi dan ego. Mungkinkah keduanya berpisah karena itu? Bisa jadi. Namun, yang jelas aku jadi menemukan jawaban mengapa Allah tidak mengizinkan aku menikah di usia 21 tahun. Ternyata, hal itu adalah untuk kebaikanku sendiri.

Jika aku menikah muda dan punya anak di usia muda, bisa jadi anakku akan aku kasih makan UPF


Jika aku ditanya adakah hal di masa lalu yang membuat aku sedih hingga saat ini? Jawabannya ada, yaitu tidak diterima di ITB. 

Aku ingat Rahma ketika SMA sangat ingin kuliah di ITB. Ia bercita-cita kuliah di sana karena baginya ITB adalah tempat yang akan membuka akses prestasi-prestasi akademik berikutnya. ITB sangat prestige baginya. Bandung adalah kota yang ia impikan untuk mengenyam bangku perkuliahan. Ia ingin punya jaringan orang-orang hebat sealmamater. Ia di masa itu punya mimpi melanjutkan kuliah ke Jepang. Kuliah ke luar negeri. Terlebih, belum ada di keluarganya yang mewujudkan mimpi tersebut.

Namun, apa yang terjadi? Hingga hari ini ia belum menjadi Rahma yang ia impikan dulu. 

Disimpan untuk disyukuri. Jika teman-teman sekolah menjadi orang hebat dan kamu tidak, setidaknya kamu pernah bersekolah dengan orang-orang hebat


Aku kehilangan kesempatan itu karena di masa single aku terikat aturan sebagai PNS dan kini ada keluarga yang harus aku urus. 

Tahukah kamu bagaimana rasanya ketika melihat teman sekolahmu yang dulu biasa saja ternyata mendapat beasiswa luar negeri? Ada perasaan "Jika dia bisa, seharusnya aku juga bisa karena Allah menitipkan potensi kecerdasan intelektual kepadaku."

Namun ternyata kuliah ke luar negeri bukan hanya perkara kecerdasan intelektual. Ada yang namanya takdir yang perlu aku imani terus dan terus agar aku paham mengapa impian ini begitu sulit terwujudkan.

Sebutlah aku butuh diakui. Sebut juga aku sebagai orang yang haus validasi. Yes, I Am. Karena aku besar pada pola demikian. Orang lain tidak akan tahu bagaimana rasanya jika tidak pernah merasakan.

Raising a true women. Semoga Hafshah tidak pernah merasakan perasaan yang muncul karena dunia kompetisi ini.


Berat. Ketika kamu terbiasa menjadi bintang dan juara kemudian kini kamu bukan siapa-siapa. 
Berat. Terlebih kamu tahu kamu punya potensinya.

Jujur, aku sering merasa sedih ketika melihat konten orang-orang yang kuliah di luar negeri. Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah unfol, mute, dan semisalnya agar konten-konten tersebut tidak hinggap di hati.

Ternyata pintar saja tidak cukup ya untuk bisa mewujudkan impian ini. Namun, jika Allah mengabulkan doaku seperti yang aku minta, apa jadinya aku nanti? Entahlah, tetapi yang jelas, pilihan Allah adalah yang terbaik.

Dan inilah yang menguatkan aku


Maka di penghujung hari ini, aku ingin menulis hal yang aku panjatkan ketika dulu tidak diterima di ITB:
Ya Allah, don't attach my heart to something that is not written to be mine.

Aku hanya seorang hamba yang lemah Ya Allah. Tolong bantu aku mengatasi perasaan ini.

Ditulis ketika hujan turun
30 Jumadil 'Ula 1447H

Dear Hafshah, mungkin selamanya kesempatan itu sudah tertutup untuk ibu. Namun, ibu akan tetap bersyukur akan kehadiran Hafshah di hidup ibu.


Comments

Popular posts from this blog

Resign untuk Kedua Kalinya

Alasan BB Hafshah Stuck Berbulan-bulan

Bukan Sekedar Pindah ke Kontrakan

Mendidik Tidak Mendadak - Ustadz Abdul Kholiq Hafidzahullah

Parents Live Talk: Regulasi Emosi Ibu bersama dr. Pinansia Fiska Poetri