Memilih Utuh Bersamamu Ketimbang Mengejar Impianku
Bismillahirrahmanirrahim
Lega. Itulah perasaanku setelah mempresentasikan hasil penelitianku yang berjudul "Peran Shalat Tahajud pada Emosi Negatif Ibu dalam Pengasuhan (Mom Rage)". Dari sekian banyak tulisan yang aku ikutkan dalam lomba, ternyata Allah pilih tulisan inilah yang muncul ke permukaan karena Alhamdulillah jadi salah satu juara. Dan aku sangat senang bisa mempresentasikannya di hadapan banyak orang karena memang tujuanku karya ini diketahui khalayak. Aku ingin ibu-ibu tahu bahwa ada lho hubungan antara shalat Tahajud dengan mom rage.
Walau ada sisi dalam diriku yang bahagia, aku tidak bisa menutupi bahwa ada juga sisi yang sebaliknya. Iya, tidak mudah merelakan mimpi terlebih ketika kamu tahu kamu punya potensinya.
Aku masih sering mellow ketika teringat bahwa pintu melanjutkan S2 LN sedang tertutup untukku. Iya, aku sedih. Aku tidak menutupi hal itu.
Aku kecewa karena di masa single sebelum menikah dulu, aku tidak punya kesempatan itu karena masih menjadi PNS yang tidak bisa seenak hati mau kuliah lagi. Dan kini ketika sudah tidak jadi PNS, sangat sulit bagiku memperjuangkan S2 LN karena anakku sedang di masa-masa sangat butuh perhatian ibunya dan suamiku sedang membangun karirnya.
Apa jadinya jika aku memaksakan diri kemudian anakku kurang kasih sayang dan suamiku terputus jalan karirnya? Maksudku, jika aku S2 LN sekarang, mungkin aku bisa memperjuangkannya secara kemampuan intelektual, tetapi, anakku butuh kehadiran ibunya dan jika suamiku ikut aku kuliah, dia harus memulai dari nol lagi ketika kembali ke Indonesia. Padahal, di antara aku dan suamiku, dialah yang paling utama untuk mengejar karir. Bukan aku.
Sekali lagi, bukan aku.
Berat ya Ma merelakan mimpi ketika kamu tahu kamu punya potensinya? Iya, berat sekali.
Maka baru ini sajalah hal yang bisa aku lakukan untuk menyalurkan potensi. Kuliah online, ikut lomba menulis ilmiah, dan membagikan hasil tulisanku ke orang lain agar aku merasa berguna.
Merasa berguna itu penting saudara-saudara. Merasa bahwa kita dibutuhkan adalah salah satu hal yang membuat seseorang alive.
Hmm baru-baru ini aku dikejutkan dengan berita perpisahan orang yang aku kenal dan usianya tidak jauh dariku. Berita perpisahan public figur juga semakin membuat aku berpikir ulang tentang rasa sedih tidak bisa lanjut S2 LN ini.
Aku husnudzon bahwa ini adalah bentuk penjagaan Allah kepadaku. Bahwasanya mungkin jika pintu itu semakin dibuka untukku saat ini, aku akan terus minta lagi, lagi, dan lagi. Kapan aku mau berhenti padahal suami dan anakku lebih berhak mendapat manfaat dari potensi yang Allah titipkan ke aku.
Sederhanannya begini, berita perpisahan yang aku dapat akhir-akhir ini menyadarkanku bahwa memang sebaik-baik tempat bagi perempuan ada di dalam rumahnya. Aku sudah ada di jalan yang benar dan itu seharusnya sudah cukup bagiku.
Apa aku mau, studiku melesat, karir sebagai peneliti atau apapun itu menanjak, tetapi keluargaku hancur? Apakah aku mau itu terjadi? Naudzubillah.
Bukankah suami punya hak mendapat suasana rumah yang nyaman ketika pulang? Dan bukankah hal itu terwujud salah satunya ketika istrinya tidak punya banyak tanggungan? Sudah berapa banyak kasus di muka bumi ini pertengkaran terjadi karena saling menuntut untuk dimengerti? Suaminya ingin dilayani tetapi istrinya lelah karena padatnya aktivitas yang ia miliki.
Dan bukankah anak punya hak dibersamai dan diisi tangki cintanya? Dan bukankah hal itu terwujud salah satunya jika ibunya tidak punya banyak peran di luar sana? Kurang banyakkah kejadian ketika anak tidak mau mendengar ibunya karena attachment dengan ibunya yang tidak terbangun dengan baik? Lalu kemudian ujung-ujungnya anak disalahkan? Bukankah hal itu semakin membuatnya benci pada ibunya dan memilih menjauh dari ibunya?
| Kalau Hafshah sudah besar dan tanya kenapa foto sama ibu dikit, jawabannya karena ibu yang motoin ya Nak hehe |
Merelakan mimpi itu berat ya Ma? Namun, mengganti hidupmu saat ini dengan mimpi yang kamu inginkan akan sangat jauh lebih berat konsekuensinya.
Maka ridhalah terhadap takdir Ma. Kamu punya potensi, iya. Namun, jalanmu bukan di situ untuk saat ini. Mungkin ini saatnya untuk mengesampingkan sisi maskulinitas yang selama ini terasah di bangku sekolah dan kuliah. Saatnya mengasah fitrah yang sesungguhnya untuk merasa cukup dengan berperan teguh di rumah.
Selamat enam tahun untuk kita
(Sengaja ngucapinnya ga pas di tanggal pernikahan)
Semoga Allah selalu menjaga keluarga kita dimanapun dan kapanpun
Comments
Post a Comment