Bakat Tidak Sama dengan Bidang

Bismillahirrahmanirrahim

Ada banyak hal menarik yang aku dapat dari sesi sharing Homeschooling beberapa waktu yang lalu. Salah satunya adalah bahwasanya bakat yang kita miliki bisa masuk ke berbagai bidang yang berbeda.

Hah? Maksudnya?

Iya. Selama ini kita mendefinisikan bakat sebagai sesuatu yang kaku dan sempit pada bidang tertentu. Misal orang yang bakatnya menggambar maka bidangnya adalah melukis. Padahal dunia ini berubah begitu cepat. Tidak semua kesempatan datang sesuai dengan 'bidang kita'.

Maka, fokus pada bakatnya. Bukan pada bidangnya.

Anakku yang sudah bisa pakai tas

Masih bingung ya dengan penjelasan di atas?
Sederhananya begini. Aku dari kecil suka berhitung. Aku suka Matematika. Kesukaan ini kemudian membawaku pada rasa suka ke Fisika dan Kimia. Dan tentu saja, aku tidak terlalu suka Biologi.

Ketika SMA, aku pikir bidangku adalah Kimia. Bagaimana tidak? Aku melahap buku-buku Kimia untuk Olimpiade bahkan aku ingin masuk FMIPA Jurusan Kimia karena ingin jadi peneliti.

You must be ngakak so hard guys.
Peneliti? Kamu ingin jadi peneliti Ma? Bidang yang kurang dihargai di negeri ini?

Long story short, pada akhirnya aku masuk jurusan Kimia. Namun, di tengah jalan aku jatuh cinta pada Kalkulus dan Statistik. Apakah bidangku berubah? Apakah minatku berganti? Entahlah. Yang aku rasa saat itu, aku sangat suka pada kedua mata kuliah ini.

Namun, takdirku ternyata di STAN. Belajar Akuntansi yang walau aku tidak suka, tetapi aku bisa -biidznillah-

Mengapa? Karena menghitung. 

Aktivitas fisik di JNE


Sampai sini pasti kalian paham maksudku. Bahwasanya bidang bisa berubah. Minat bisa berganti. Kesempatan tidak selalu sama. Namun, ketika kita menguatkan bakatnya, ketika terjun ke bidang manapun, selama ketemu dengan bakatnya, Insyaa Allah akan survive di sana.

Dulu aku pernah merasa mulai dari nol lagi ketika switch dari IPA ke IPS. Namun, ternyata tidak demikian. Kemampuan dan logika berhitung sangat digunakan di Akuntansi. Dan terbukti -biidznillah- aku melewati semester demi semester dengan baik.

Baca buku dulu sambil nungguin ibu shalat


Sepertinya, ini pula lah yang membuat aku jatuh cinta pada Nahwu. Aku lebih suka Nahwu daripada Sharaf. Aku bisa berapi-api ketika menjelaskan Nahwu tetapi biasa saja ketika membahas Sharaf.

Mengapa? Karena Nahwu menggunakan logika, sejalan dengan hitungan yang juga membutuhkan logika.

Adapun Sharaf butuh hafalan. Dan aku lebih passion kepada logika ketimbang menghafal. Itu pula sebab aku tidak terlalu suka Biologi sebagaimana aku sampaikan di atas. Dan jujur, mungkin itu pula sebab yang membuat aku kurang merasa 'klik' belajar di jurusan Psikologi.

Oke, aku suka ilmunya, aku merasa mendapat banyak hal baru yang bermanfaat, tetapi aku tidak se-berapi-api ketika belajar sesuatu yang membutuhkan logika.

Disimpan sebagai kenangan. Mumpung lewat JNE kala itu. Bantuan dari masyarakat untuk korban banjir.


Hal menarik lain yang aku dapat dari sesi tersebut adalah bahwasanya walau anak homeschooling sekalipun,  walau anak bakatnya menggambar misal, anak harus tetap punya kemampuan akademis. Memenuhi bare minimum akademis karena cara kerja dunia ini memang begini saat ini.

Maksudnya begini, sebagaimana sudah disebutkan di atas, kesempatan dan kondisi kedepan tidak ada yang tahu. Anak harus tetap punya ijazah karena aturan main di dunia ini memang demikian. Ingin melanjutkan kuliah misalnya, rata-rata kampus akan minta ijazah SMA atau yang setara.

Jadi orang tua tidak bisa hanya menuruti keinginan anak menggambar saja karena anak tidak punya pengalaman hidup sebagaimana orang tua. Jika ia hanya fokus pada satu hal saja dan tidak dipaparkan pada hal lain, bagaimana jika kesempatan yang ada di masa depan bukan dalam ranah menggambar? Atau bagaimana jika ranah menggambar tidak diapresiasi secara layak sehingga anak tidak bisa menafkahi keluarganya?

Persiapan TOAFL cuma sehari


Jujur, ini menjawab pertanyanku banget sih. Aku punya teman yang bagus sekali gambarnya dan dia kuliah di FSRD ITB lewat jalur undangan. Aku pikir dia akan sukses, tetapi hingga hari ini, ternyata dia belum demikian. 

Mengapa? Karena untuk menjadi sukses, selain skill yang mumpuni, kita juga butuh kesempatan. Dan sepertinya kesempatan itu belum hadir di hidup temanku ini.

Pun juga untuk menjadi sukses, kita butuh bukan hanya hard skill, melainkan juga soft skill seperti mudah berkomunikasi, beradab dengan baik, dll. Bayangkan jika dari kecil yang dilatih hanya hard skill saja dengan alasan memfasilitasi bakat anak, apa kabar dengan soft skill nya? Padahal dalam hidup ini soft skill akan sangat digunakan dalam berinteraksi dengan masyarakat dan dalam hal ini termasuk rekan kerja/atasan.

Habis TOAFL jadi menyadari bahwa butuh belajar Bahasa Arab lebih banyak lagi


Hal menarik lain yang aku dapat dari sesi tersebut adalah kita ga perlu pinter-pinter amat dalam berbagai hal akademis. Cukup Matematika dan English saja karena Matematika membantu logika kita terasah dengan baik dan English membantu kita menjadi global citizen.

Dan aku juga merasa setuju dengan hal ini sebagaimana sudah aku jelaskan kecintaanku pada Matematika di atas yang mengantaku pada berbagai hal, salah satunya bisa menjelaskan dengan lebih terkonsep ketika mengajar karena sering terpapar logika berpikir. Mungkin hal itu pula yang membuat penjelasan Ustadz Ammi dan Ustadz Firanda hafidzahumallah lebih mudah dipahami. Karena keduanya asalnya dari jurusan teknik.

Harus aku akui bahwa English sangat dibutuhkan dalam konteks dunia (ya apalagi Arabic -untuk konteks akhirat- ya kan?). Ingin memenuhi standar Internasional ya harus bisa English. Ingin punya kesempatan duniawi yang lebih baik ya modalnya juga English.

Bukan berarti sok kebarat-baratan ya, tetapi cara kerja dunia kita saat ini memang begitu. English menjadi hal yang dibutuhkan bahkan dalam ranah dakwah sekalipun karena inilah bahasa Internasional yang dengannya kita bisa berkomunikasi dengan mereka yang belum tersentuh Islam.

First attempt. Not too bad Alhamdulillah. Level B1 Biidznillah.


Jadi kesimpulan tulisan ini adalah?
Simpulkan sendiri ya ges ya, udah ga sanggup nulis lagi karena nulis di mari biar idenya ga ilang aja.

Selesai ditulis ketika hujan turun menjelang tidur
20 Jumadil Akhir 1447H




Comments

Popular posts from this blog

Resign untuk Kedua Kalinya

Alasan BB Hafshah Stuck Berbulan-bulan

Bukan Sekedar Pindah ke Kontrakan

Parents Live Talk: Regulasi Emosi Ibu bersama dr. Pinansia Fiska Poetri

Sistem Sekolah: Dulu Tidak Ada Yang Memberitahu Aku Tentang Ini