Cerita Penyapihan Hari Ketiga: Mengakui Kesalahan sebagai Orang Tua
Bismillahirrahmanirrahim
Tidak dipahami itu tidak enak. Apalagi tidak dipahami oleh pihak yang kita harap dia bisa memahami kita. Orang tua misalnya.
Ketika usia 25 tahun, aku pernah menangis karena merasa disudutkan oleh orang tuaku. Aku akui bahwa salah satu sifat burukku adalah sensitif. Mudah ngambek atau tersinggung. Dan kala itu, yang aku tahu orang tuaku tidak suka sifatku itu.
Namun, yang membuat aku sedih adalah aku merasa disudutkan bahwasanya sifat tersebut ya tanggung jawabku seorang diri dan tidak ada campur tangan pola asuh yang membuat aku bersifat demikian. Padahal, kalau aku bisa berkata jujur di depan orang tuaku, aku kala itu ingin mengatakan bahwa sifat burukku juga disebabkan pola asuh. Bagaimana aku dibesarkan dan keadaan sekeliling tentu ikut berkontribusi terhadap sifat yang aku bawa hingga dewasa.
Bukan berarti aku ingin menyalahkan orang tuaku. Namun, aku kala itu hanya ingin dipahami untuk jangan menyalahkan aku seorang diri. Aku ingin orang tuaku mengakui bahwa pola asuh turut berkontribusi pada terbentuknya sifat burukku ini.
Baiklah, itu cerita di masa itu. Saat ini orang tuaku sudah mengakui dan menyadari bahwa ada kontribusi pola asuh yang membuat aku demikian. Dan jujur, pengakuan itu begitu berarti untukku. Aku merasa tidak disudutkan lagi. Biidznillah itu membantu aku untuk lebih mudah memperbaiki diri.
Dari sisi anak, setelah belajar di Psikologi Islam pun, aku jadi tahu bahwa kita tidak bisa beralasan memiliki akhlak buruk karena pola didikan orang tua. Mengapa demikian? Jika mau artikel lengkapnya, bisa baca di sini.
| Tadinya ke sini mau lihat angsa |
Kaitan bahasan di atas dengan proses penyapihan Hafshah adalah...
Hafshah begitu murung, cemberut, dan rewel di hari ketiga penyapihan ini. Ditawari ini itu tidak mau. Diajak ke sini dan kesitu tidak mau. Seolah apapun yang aku lakukan salah. Tatapannya mengungkapkan rasa tidak suka padaku. Dan tentu aku tidak suka dia seperti itu.
Namun, aku rasa tidak adil menghakimi Hafshah sebagai anak yang rewel atau pemarah tanpa intropeksi diri sebagai orang tua. Bisa jadi ini terjadi karena diri kami yang banyak melalaikannya.
Sudah berapa kejadian demi kejadian yang tidak kami sadari dan membuat Hafshah terluka? Sibuk scrolling di depannya misalnya. Atau tidak fokus kepadanya ketika sedang bersama.
Sudah berapa kejadian yang Hafshah coba maklumi padahal ia ingin kami hadir lebih utuh? Mungkin selama ini dia diam karena tidak bisa mengungkapkan, tetapi dia bisa jadi memahami bahwa dirinya tidak lebih penting dari urusan-urusan orang tuanya yang lain.
Bukankah pantas bagi Hafshah untuk marah? Ketika selama ini kehadiran orang tua ia harapkan tetapi mungkin kami hadir secara raga dan kurang secara jiwa. Ketika momen menyusui menjadi hal yang penting baginya dan ingin mendapat kasih sayang, tetapi kami ciderai dengan menyambi urusan lain yang membuat ia berpikir ia bukan prioritas orang tuanya.
Momen menjadi orang tua adalah momen yang tepat untuk memaafkan segala kesalahan orang tua kita. Bahwasanya semakin kesini semakin bisa memahami ternyata hadir utuh jiwa raga itu tidak mudah. Ternyata mengalahkan keegoisan diri sendiri ketika anak telah hadir itu sangat butuh pertolongan Allah Ta'ala.
Terlebih di zaman serba sibuk ini. Ketika kita diam sejenak dianggap tidak produktif. Ketika mengambil jeda sedikit dianggap membuang-buang waktu. Lagi-lagi, biasanya kebutuhan anak yang akan terkorbankan atas segala dinamika kehidupan orang tua. Dan dari satu kejadian ke kejadian lain, anak punya presepsi bahwa ia bukan hal krusial bagi orang tuanya yang punya banyak urusan.
Malam ini menjelang tidur Hafshah sempat menangis. Tidak seperti biasanya yang dia riang gembira untuk tidur dengan bapaknya walau tanpa aku. Aku kemudian menggendongnya sambil kurang lebih mengatakan,
"Hafshah, maafkan ibu ya Nak. Hafshah ga suka ya ga bisa nenen? Berat ya Nak? Tapi Alhamdulillah, Hafshah sangat pintar sekali karena sudah bisa taat pada aturan Allah.
Hafshah, ibu minta maaf ya. Ibu sering scrolling HP saat menyusui Hafshah ya Nak? Hafshah kecewa ya? Harusnya ibu bisa hadir lebih utuh untuk Hafshah.
Tolong doakan ibu supaya menjadi orang tua yang lebih baik ya Nak. Ibu masih berproses. Maafkan ibu Nak. Ibu sayang Hafshah. Besok Insyaa Allah kita main sama-sama lagi."
*tisu mana tisu*
| Tadinya dia duduk di sebelah ibu yang lagi shalat. Lama-lama ketiduran di lantai. Tentu setelah itu kami gotong ke tempat lain. |
Setelah menggendong Hafshah dan mengatakan hal tersebut, Hafshah pun lebih tenang dan mau tidur bersama bapaknya.
Pengakuan atas kesalahanku. Mungkin itu yang ingin ia dengar. Ia sudah sering kehilangan aku yang kurang hadir utuh secara jiwa ketika menyusui. Dan sekarang, ketika momen kedekatan secara fisik itu berakhir, akankah ia akan kehilangan aku juga secara raga?
Sangat bisa dimaklumi jika ia cemberut, ngambek, rewel, dan menatapku dengan pandangan marah. Aku pun jika di posisi Hafshah mungkin juga akan demikian. Dan sebagaimana aku ceritakan di atas, pengakuan kesalahan orang tuaku sangat berarti bagiku dan membuat aku biidznillah lebih mudah memperbaiki diri.
Hal yang sama aku lakukan malam ini. Mengakui kesalahan sebagai orang tua. Meminta maaf karena dengan demikian Hafshah setidaknya tahu bahwa aku tidak menyudutkannya atas kerewelannya di hari-hari ini.
Tidak semua orang tua mau mengakui kesalahan. Bersyukurlah jika Allah mudahkan dirimu bisa demikian.
---
Selesai ditulis dengan rasa haru
25 Jumadil Tsani 1447H
Comments
Post a Comment