Parenting di Era Digital: Mengelola HP & Game Tanpa Drama

Bismillahirrahmanirrahim

Hello everyone! Kemarin aku dan Hafshah ikut acara menarik yang diselenggarakan oleh Conversa. Acara ini offline sehingga kami duduk bersama dengan ibu dan anak lainnya. Ingin menuliskannya di sini agar bisa aku baca lagi suatu hari nanti. 

Jadi catatan ini adalah materi yang disampaikan kemarin yang bercampur dengan insight yang aku dapat di kelas lain atau pendapatku pribadi.

So, here we go!

Tiba-tiba naik sendiri di depan


Mendampingi anak dengan tepat
Anak kita lahir di era teknologi. Layar adalah hal yang biasa bagi mereka. Tidak seperti ketika kita lahir yang belum terpapar layar, anak kita melihat orang sekelilingnya menghadap layar setiap hari.

Tidak memaparkan anak sama sekali ke teknologi adalah hal yang bahaya karena cara kerja dunia ini saat ini tidak akan lepas dari teknologi. Sebenarnya hal ini sejalan dengan pendapat banyak pihak seperti Ustadz Abdul Khaliq hafidzahullah. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa jika tidak dipaparkan sama sekali, khawatir anak akan penasaran lalu mencarinya sendiri dan akan terpapar oleh hal yang tidak-tidak. Oleh karena itu, yang paling tepat adalah mendampingi, bukan melarang sama sekali.

Namun, menurutku yang perlu diperhatikan juga adalah usia anak ya. Sebagaimana kita tahu layar punya efek negatif bagi kesehatan, anak di bawah 2 tahun baiknya zero screen time. Pun juga anak balita, butuh sangat diperhatikan durasinya. Bahkan kalau di kelas parenting lain disebutkan bahwa jangan memberi HP ketika anak belum butuh itu. Hatta walau anak sudah masuk SD pun, jika memang belum butuh, maka tidak perlu diberi HP.

Mengapa sekarang rasanya mengurus anak lebih capek?
Anak tantrum ketika HP diambil. Orang tua yang lelah akhirnya menyerah pada keadaan dan menyerahkan HP ke anak agar anaknya tenang. Di sini ada konflik antara anak yang kecanduan dengan orang tua yang butuh tenang.

Anak tantrum bukan berarti nakal, tetapi mereka belum punya sistem regulasi yang matang. Anak belum bisa berhenti sendiri dari HP sehingga mereka butuh pendampingan, bukan pemaksaan.

Huh-hah


Apa itu self-regulation?
Self regulation adalah kemampuan anak untuk mengatur emosi, mengontorl perilaku, menunda keinginan, dan mengalihkan perhatian.

Fakta psikologinya adalah self-regulation ini tidak muncul otomatis, harus dibantu dan dilatih orang dewasa, baru akan matang penuh di usia remaja akhir - dewasa muda (17-25 & 20-40).

Tapi sejujurnya aku sedikit mempertanyakan fakata ini. Mengapa? Karena dalam Islam kan kalau sudah baligh ya berarti sudah dewasa. Sudah dibebani syariat dan dipandang dari sisi ini harusnya seseorang sudah bis amengatur emosinya. Apa mungkin Allah membebani seseorang menjadi mukallaf jika tidak Allah beri kemampuan untuk matang di usia baligh?

Aku rasa fakta psikologi ini tidak bisa dipukul rata ke semua orang. Di perkuliah Psikologi Islam pun aku juga mempertanyakan hal yang sama. Mengapa otak dianggap matang di usia 20-an padahal baligh rata-rata lebih cepat dari itu? Apakah itu hasil penelitian barat yang ditelan mentah-mentah? Padahal faktanya, hasil penelitian barat itu seringkali mengambil sampel yang tidak merata, yaitu sampel orang-orang mereka sendiri. 

Jika mereka-mereka sendiri yang diteliti, padahal kemungkinan besar mereka jauh dari nilai-nilai Islam, akan sangat wajar jika mereka menyimpulkan bahwa otak baru matang di usia 20-an. Dan sungguh tidak heran jika mereka membuat konsep remaja, yaitu seseorang yang sudah seperti orang dewasa tubuhnya (baligh) tetapi pemikirannya belum matang (belum aqil).

Jika benar bahwa hal ini muncul dari penelitian mereka sendiri, maka tidak layak jika kesimpulan ini juga diaminkan oleh umat Islam.

Dan lagi-lagi menurutku, ada effort lebih yang harus orang tua lakukan jika ingin anak bisa meregulasi emosi di usia baligh. Tentunya akan lelah untuk mengusahakan hal ini. Orang tua harus berani capek dengan berusaha meregulasi dirinya dulu. Misal orang tua di masa anak kecil harus siap lelah menghadapi emosi anak sambil mencontohkan regulasi emosi yang baik.

Berat ya Bun melakukan itu? Kita kan sering ke-trigger juga kalau anak nangis atau marah-marah. Padahal anak akan melihat bagaimana pola kita merespon sesuatu. Anak akan melihat bagaimana pola self-regulation kita. Dan itu beraaaat. Berat karena di masa kecil pun mayoritas kita tidak diajarkan cara self-regulation yang baik yang berakibat terbawa hingga saat ini.

This remind me to my old photo bringing microphone also



Apa yang terjadi di otak anak?
Ketika bermain game atau menonton video, hormon dopamine akan meningkat sehingga menimbulkan rasa senang instan. Padahal otak anak belum siap mengontrol impuls (dorongan spontan untuk melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang). Anak akan tetap berada di depan layar karena belum bisa mengontol impuls ini. Yang mereka tahu, mereka senang dengan kegiatan ini. Dan menurut Psikologi Barat, area kontrol diri pada otak (prefrontal cortex) belum matang hingga usia 20an. 

Kalimat terakhir perlu dikritisi dengan alasan yang sudah aku jelaskan di atas ya Bun. Kalaulah di anak memang belum matang, pertanyaannya adalah apakah benar matangnya di usia 20-an? Tidakkah ada kemungkinan lebih cepat karena baligh kan memang di usia belasan.

Lanjut ke materi. Impuls ini berasal dari sistem emosi otak, anak belum punya 'rem' yang kuat untuk itu. Anak bukan bandel, tetapi kontrol impulsnya yang belum berkembang. Anak bukan tidak mau berhenti, tetapi belum mampu berhenti sendiri.

Dampak HP dan game
Dampak positif: Stimulasi kognitif, koordinasi mata-tangan, media belajar & sosialisasi.
Damapk negatif: Sulit fokus, emosi meledak, ketergantungan dopamin instan.

Masalah penggunaan HP bukan pada durasi saja, tetapi pad akualitas dan pendampingan.

Mengapa anak marah ketika HP diambil?
1. HP menjadi sumber regulasi emosi anak
2. Saat diambil, anak kehilangan penenang
3. Anak belum punya alternatif coping skill

Coping skill adalah keterampilan sehat untuk menghadapi stres dan emosi (tarik nafas, bercerita, bergerak, olahraga, menggambar, dipeluk orang tua)

Kalau di kelas holistik, pernah disampaikan bahwa layar itu hanya boleh jika emosi anak stabil. Jangan sekali-kali menggunakan layar untuk menenangkan anak yang menangis karena lama-lama yang ia tahu cara menenangkan diri adalah dengan melihat layar. 

Dan setelah melihat layar pun, anak perlu distabilkan lagi dengan grounding. Jadi blue light pada layar memang seberbahaya itu dari sisi kesehatan holistik sehingga orang tua yang siap memaparkan layar ke anak harus siap capek bolak-balik ngajak anak grounding.

Long time ago, I used to meet a dentist

HP sering menjadi coping mechanism instan bagi anak
Karena sifatnya yang cepat menenangkan. Namun, anak tidak berlatih menenangkan emosinya dan anak jadi bergantung pada HP. Peran orang tua di sini adalah mengganti coping mechanism instant (HP) tersebut ddengan coping skill yang sehat.

Common mistakes
1. HP jadi pengasuh instan
2. Aturan orang tua yang tidak konsisten. Bilangnya sih dilarang di weekdays, tetapi kalau orang tua lelah, akhirnya HP nya dikasih ke anak
3. Orang tua mengambil HP tanpa persiapan. Misal tidak mengatakan bahwa lima menit lagi HP nya sudahan dulu dan langsung tiba-tiba mengambil HP dari anaknya
4. Orang tua fokus ke hukuman tanpa pembelajaran. Padahal jika anak dihukum, harusnya ia belajar sesuatu dari kejadian itu.

Orang tua tidak gagal, hanya belum dibekali ilmunya.

Prinsip Parenting Digital Sehat
  • Connection before correction (bangun kedekatan dengan anak dulu, baru memberi aturan)
  • Co-regulation > Self-regulation (orang tua membantu mengatur emsoi anak, bukan memaksa)
  • Predictabillity (aturan harus jelas dan konsisten)
Strategi praktis mengelola HP tanpa drama:
1. Mengawasi & mendampingi
2. Buat kesepakatan bersama
3. Gunakan transition warning
4. Parental control (bukan mata-mata, tetapi alat menjaga)
5. Ajarkan literasi digital sejak dini
6. Transparansi, no hidden screen
7. Ganti HP dengan aktivitas regulasi emosi (grounding, jalan bersama, cerita bersama, quality time, memasak, aktivitas fisik & sosial)

IMHO, yang susah itu adalah melawan rasa malas orang tua. Orang tua tu yang kadang pingin HP-an dan ga ingin diganggu sama anak. Dan anak tentu melihat itu. Ini mempelajari pola itu. Ia melihat bahwa menatap layar banyak-banyak adalah hal yang wajar karena orang di sekelilingnya begitu. Oleh karenanya, sangat butuh minta tolong kepada Allah untuk dihentikan dari aktivitas tidak bermanfaat termasuk HP-an tanpa batas.

Salah satu kebahagiaan yang sederhana: melihat anak mau duduk di kursinya


Parental control
Bagi orang tua yang anaknya sudah pegang HP sendiri, orang tua bisa menggunakan screen time/digital weel-being, fitur konten, batas waktu aplikasi, dan riwayat penggunaan (content history). Jelaskan pada anak bahwa "Ayah-Bunda memasang ini karena tugas kami menjaga kamu, bukan karena tidak percaya."

Literasi digital sejak dini
Meliputi apa saja?
  • Tidak semua yang ada di internet itu benar
  • Bahaya oversharing
  • Cara berkata "tidak" di dunia online
  • Apa yang harus dilakukan jika melihat konten yang tidak nyaman
  • Bahaya jejak digital & konsekuensi jangka panjang
Let's remember
Children see, children do. Kontrol diri kita dulu, maka mengontrol anak akan lebih mudah. Tujuan utama parenting digital bukan menjauhkan anak dari teknologi, tetapi membekali anak kontrol diri, mengajarkan relasi sehat dengan teknologi, dan menjaga kedekatan emosional orang tua - anak.

Karena betapa banyak anak yang 'dilepas' dengan teknologi yang berakibat anak tidak dekat dengan orang tuanya? Anak dibiarkan bersama HP dengan alasan orang tua sibuk dan tidak ingin anak rewel.

Karena kita tidak sedang membesarkan anak yang patuh untuk hari ii saja, tetapi anak yang mampu membuat keputusan sehat saat tidak ada orang tua. Oleh karena itu, orang tua perlu mindful dalam pengasuhan ini:
  • Hadir & penuh empati
  • Aware terhadap emosi diri dan anak
  • Mengatur emosi sebelum merespons
  • Menerima emosi anak, tetap tegas pada batas
  • Welas asih pada anak & diri sendiri
Nah, menurutku welas asih ini hal yang challenging buat ibu-ibu. Karena biasanya ibu-ibu punya sifat perfeksionis yang mungkin susah memberi pemakluman bagi orang lain, termasuk anak. Tapi ya sifat ini harus terus dilatih karena dalam proses membesarkan anak, anak pasti akan melakukan kesalahan.

----

Selesai ditulis setelah Shalat Subuh
4 Rajab 1447H

Jazakunnallahu Khayran Conversa!




Comments

Popular posts from this blog

Resign untuk Kedua Kalinya

Alasan BB Hafshah Stuck Berbulan-bulan

Bukan Sekedar Pindah ke Kontrakan

Parents Live Talk: Regulasi Emosi Ibu bersama dr. Pinansia Fiska Poetri

Sistem Sekolah: Dulu Tidak Ada Yang Memberitahu Aku Tentang Ini